Hukum Syara'

Hukum Syara', bp.blogspot.com

Assalamu’alaikum. Wr.Wb
            Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen yang telah membimbing saya mengenai penyusunan makalah yang baik dan benar. Dan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu secara materiil (refrensi) hingga terselesainya makalah ini. Makalah yang berjudul “Hukum Syara” ini saya buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh. Dan saya berharap semoga hasil makalah ini dapat berguna bagi siapa pun yang membacanya.


Daftar Isi
Kata pengantar........................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan
Latar Belakang........................................................................................................... iii
Rumusan Masalah...................................................................................................... iii
Tujuan........................................................................................................................ iii
Bab II Pembahasan
Pengertian dan pembagian hukum Syara’.................................................................. 1
Hukum taklify dan pembagiannya............................................................................. 1
Hukum wadh’i dan jenisnya...................................................................................... 6
Perbedaan antara hukum taklify dan wadh’i............................................................. 8
Bab III Penutup
Kesimpulan................................................................................................................ 9
Saran.......................................................................................................................... 9


BAB I
PENDAHULUAN
  v  Latar belakang
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi mukallaf,  yaitu bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Aktivititas seorang muslim selalu terikat dengan hukum syara. hukum syara ini mengikat aktivitas kita, baik perkataan kita, perbuatan kita harus memiliki dasar hukum syara yang jelas, apakah terkategori wajib, mubah, mandub, makruh, dan haram. semua ini disebut dengan ahkmul khamsah. kenapa sih harus terikat? keterikatan kita kepada hukum syara lah yang menandakan bahwa kita adalah seorang muslim sejati, muslim sejati dilihat dari indeks ketaatannya kepada hukum syara atau dalam kata lain ketaqwaannya.
Oleh karena itu pemakalah mencoba membuat makalah sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, seperti hukum taklifi dan hukum wadh’i.

  v  Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dan berapa macam pembagiannya?
2.      Apa pengertian hukum taklify dan berapa macam pembagiaannya?
3.      Apa pengertian hukum wadh’i dan berapa macam pembagiannya?
4.      Apa perbedaan hukum taklify dengan huku wadh’i?

  v  Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1.      Untuk menambah wawasan baik penulis maupun pembaca tentang pengertian hukum syara’ dan pembagiannya serta cara menerapkannya.
2.      Untuk mentaati syari’at yang telah ditetapkan dalam nash Al-qur’an dengan mengetahui poin-poin dari hukum syara’.
3.      Untuk memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa (mengerjakan tugas).




BAB II
PEMBAHASAN

v  Pengertian dan Pembagian
Dalam ushul fiqih juga terdapat hukum syara’, hukum syara’merupakan acuan dalam tindakan manusia tentunya seorang mukallaf yang beragama islam yang di tugasi untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Swt sesuai dengan kitab Allah yaitu al-quran.Adanya perbedaan pendapat dalam pengertian hukum syara’antara ahli ushul fiqih dengan ahli fiqh tidak membuat kita bingung untuk menentukan suatu perbuatan yang dihukumi semestinya.Sebelumnya saya akan membahas pengertian hukum syara’dengan dua versi yang berbeda.Pertama pendapat ahli ushul fiqh dan kedua pendapat ahli fiqh dalam mengartikan hukum syara’.
Pertama,menurut Kalangan Ahli Ushul fiqh,hukum syara’ adalah“Khitab(titah) Allah yg menyangkut tindak tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan,pilihan berbuat atau tidak;atau dalam bentuk ketentuan ketentuan.”Contoh: “Kerjakanlah Shalat”,Janganlah kamu memakan harta orang lain secara bathil. ahli ushul memandang tentang pengetahuan kitab Allah yang menyangkut perbuatan manusia itulah definisi hukum syara’ menurut mereka.Mereka melihat dari sisi fungsinya  adalah menegeluarkan hukum dari dalil memandangnya dari segi nash syara’yang harus dirumuskan menjadi hukum yang terinci secara detail.Karenanya ia mengaggap hukum itu sebagai kitab Allahyang mengandung aturan tingkah laku tau perbuatan.
Kedua,menurut kalangan ahli fiqh ,pengertian hukum syara’ adalah “Sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yg timbul dari titah Allah terhadap orang mukallaf itu.”Dalam bentuk ini yang disebut hukum syara adalah  “wajibnya shalat” sebagai  pengaruh dari titah Allah yang menyuruh shalat atau haramnya memakan harta orang secara bathil sebagai akibat dari larangan Allah memakan harta orang secra bathil. Dalam memandang pengertian hukum syara’ ini kalangan ahli fiqh yang fungsinya menjelaskan hukum yang dirumuskan dari dalil  memandang dari segi ketentuan syara’ yang sudah terinci dan sudah baku menjadi suatu aturan tertentu.Karenanya ia menganggap hukum itu adalah wajib,sunah,munbah,haram dan lainnya yang melekat pada perbuatan mukallaf yang dikenai hukum itu. 
Dapat kita lihat dalam memandang perbedaan definisi tentang hukum syara nampaknya berbeda,jika ahli ushul fiqh bahwa kitab Allah secar langsung dilihat dari fungsinya hukum hukum nya belum terinci dan harus di jelaskan secara detail sedangkan ahli fiqih mendefinisikan hukum syara’,mereka menjelaskan hukum yang dirumuskan telah menjadi hukum yang sudah detail dan rinci.Adapun pembagian dari hukum syara’ sendiri dibagi menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
v  Hukum taklify dan pembagiaannya
Hukum taklify yaitu tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau untuk tidak berbuat atau memilih diantara keduanya . Perintah atau tuntutan untuk berbuat menghasilkan hukum ijab dan nadb. Jika perintah untuk berbuat tersebut tegas dan jelas, akan menghasilkan hukum ijab (wajib), tetapi jika perintah tersebut tidak tegas atau hanya berupa anjuran, maka hukum yang dihasilkan adalah nadh (sunnah).
Perintah untuk tidak berbuat (meninggalkan) menghasilkan hukum tahrim dan karahah. Jika larangan tersebut tegas dan jelas, hukum yang dihasilkan adalah tahrim (haram), tetapi jika larangan tersebut tidak tegas  atau hanya berupa himbauan saja, maka hukum yang dihasilkan adalah karahah (makruh). Hukum yang berupa pilihan, memili antara melakukan atau tidak melakukan, menghasilkan hukum ibahah (mubah).
Secara rinci jumhur ulama membagi hukum takfili menjadi lima jenis, dan hukum takfili tersebut:
      a.       Ijab
Ijab (mewajibkan) yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang mengharuskan untuk shalat. Atau dengan perkataan lain, Ijab adalah sesuatu yang berpahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan. Seperti yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 110:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4 $tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9Žöyz çnrßÅgrB yYÏã «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/ ÇÊÊÉÈ  
dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.

       Pembagian Ijab
     1.      Berdasarkan orang yang dibebani Ijab dibagi menjadi dua, yaitu:ain dan kifa’I (kifayah). Wajib aini (disebut juga fardhu ‘ain) adalah kewajiban yang dibebankan kepada tiap-tiap individu, seperti kewajiban menjalankan shalat fardhu, puasa ramadhan, zakat, dan haji adalah kewajiban setiap orang.
      2.      Berdasarkan kandungan perintahnya, ijab dibagi dua, yaitu: mu’ayyan dan mukhayyar. Mu’ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti shalat, puasa, kewajiban jenis ini sudah ditentukan oleh syari’. Mukhayyar adalah kewajiban tertentu yang dapat dipilih oleh mukallaf, seperti kewajiban membayar kafarat.
     3.      Berdasarkan waktu pelaksanaannya, ijab dibagi dua, yaitu: mutlaq dan mu’aqqat. Wajib mutlaq adalah sesuatu yang dituntut syari’ untuk dilaksanakan mukallaf tanpa ditentukan waktunya, artinya bisa dilakukan kapan saja. Contohnya: membayar kafarat karena melanggar sumpah. Mu’aqqat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan mukallaf pada waktu-waktu tertentu dan harus dilaksanakan pada waktunya.
     4.      Berdasarkan ukuran yang diwajibkan, ijab dibagi dua, yaitu: wajib muhaddad dan wajib ghairu muhaddad. Muhaddad artinya suatu kewajiban yang ukurannya ditentukan oleh syari’, seperti jumlah rakaat shalat. Ghairu muhadddad adalah kewajiban yang ukurannya tidak ditentukan oleh syari’, tetapi diserahkan kepada ulama, seperti: hukum ta’zir.


       b.      Nadb
              Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan perbuatan tetapi tidak secara pasti. Ketidakpastian tuntutan pelaksanaannya menjadi perintah tersebut tidak bernilai wajib, tetapi hanya bersifat anjuran, contoh perintah mencatat transaksi sebagaimana disebutkan dalam al-quran surat Al-Baqarah ayat 282:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
“Hai orang-orang yang beriman jika diantara kamu terjadi transaksi hutang piutang untuk jangka waktu tertentu, maka catatlah (transaksi tersebut)”.

Pembagian Nadb
1.      Muakkadah, yaitu tuntutan untuk melaksanakan, dimana orang yang meninggalkannnya tidak berdosa tetapi mendapat cela. Contoh: pelaksanaan sholat Id.
2.      Ghairu mukaddah, yaitu tuntutan untuk melaksanakan, dimana orang yang meninggalkannya tidak berdosa dan tidak mendapat cela. Contoh: shalat sunnah qobliyah dzuhur.
3.      Zaidah (zawaid), yaitu sunnah pelengkap, seperti kesopanan santun.
   
      c.       Ibahah
            Ibahah adalah tuntutan Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat. Hukum jenis ini memberikan keleluasaan kepada mukalllaf, apakah melaksanakan atau tidak melaksanakan tuntutan tersebut. Akibat dari tuntutannya disebut ibadah, sedangkan perbuatannya dinamakan mubah. Contohnya adalah hukum mencari rizki setelah selesai shalat jum’at seperti yang tercantum dalam surah jumuah ayat 10:
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ  
“apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”


Pembagian mubah:
1.      Mubah yang berfungsi menghantarkan sesuatu yang wajib misalnya makan dan minum agar kuat dalam menjalankan ibadah.
2.      Perbuatan mubah yang dilaksanakan sesekali, tetapi haram jika dilaksanakan setiap hari, seperti:melihat tv.
3.      Perbuatan mubah yang bersifat untuk memenuhi kebutuhan yang mubah juga, seperti membeli perabotan rumah.
  
      d.      Karahah
            Karahah adalah tuntutan untuk meninggalkan tetapi redaksinya tidak pasti. Akibat perbuatannya namanya karahah, sedangkan perbuatannya disebut makruh. Hukum kategori ini merupakan kebalikan dari hukum nadb. Meninggalkan perbuatan yang makruh, akan lebih mendatangkan kemaslahatan bagi mukallaf. Contohnya menanyakan sesuatu yang menyulitkan, sebagaimana disebut dalam al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 101:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& bÎ) yö6è? öNä3s9 öNä.÷sÝ¡n@ bÎ)ur (#qè=t«ó¡n@ $pk÷]tã tûüÏm ãA¨t\ムãb#uäöà)ø9$# yö7è? öNä3s9 $xÿtã ª!$# $pk÷]tã 3 ª!$#ur îqàÿxî ÒOŠÎ=ym ÇÊÉÊÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.



Pembagian karahah
1.      Karahah tanzin, yaitu sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan tetapi dengan dalil yang tidak pasti atau zany. Contoh adalah hukum memakai emas dan sutera bagi laki-laki, karena didasarkan pada hadits Ahad.
2.      Karahah tahrim, yaitu sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan tetapi dengan dalil yang pasti, tetapi kekuatannya zany.

      e.       Tahrim
            Tahrim adalah tuntutan secara pasti untuk tidak melaksanakan perbuatan. Perintah yang terkandung dalam hukum ini adalah meninggalkan perbuatan yang disebutkan. Prinsip tahrim berkebalikan dengan ijab. Contohnya larangan membunuh, seperti yang tercantum dalam surah An-Nisa’ ayat 93 yaitu:
`tBur ö@çFø)tƒ $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkŽÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJŠÏàtã ÇÒÌÈ  
“dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.

Pembagian Tahrim
1.      Tahrim lizatih, yaitu keharaman yang sejak semula ditetapkan oleh Syari’, seperti zina.
2.      Tahrim Ligairih, yaitu sesuatu yang asalnya tidak diharamkan, tetapi karena ada hal yang menyertainya sehingga menyebabkan keharamannya, seperti jual beli pada azan jum’at, karena bisa membuat orang melupakan shalat jum’at.[1]



v  Hukum Wadh’i dan pembagiannya
A.    Sabab
      Dalam artian lughawi, sabab berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada apa yang dimaksud. Sepotong tali atau suatu jalan dapat dinamakan “sabab” karena keduanya itu dapat membawa kita kepada apa yang dituju.
      Bila diperhatikan hubungan antara sebab dan musabab dari segi nyatanya keserasian hubungan, secara rasional terlihat ada dua macam hubungan. Pertama tidak dapat diketahui secara jelas oleh akal antara keserasian hubungan antara keduanya. Bentuk seperti ini disebut “sebab” seperti hubungan masuknya bulan ramadhan dengan datangnya kewajiban puasa. Kita tidak tahu kenapa demikian; dalam hal ini kita serahkan saja kepada kehendak Allah.

B.     Syarath
      Dari satu segi, syarat sama dengan sebab, yaitu “hukum tergantung kepada adanya”, sehingga bila ia tidak ada, maka pasti hukum pun tidak ada. Perbedaan keduanya terdapat pada adanya sebab atau syarat itu. Pada sebab, keberadaannya melazimkan adanya hukum, tetapi adanya syarat belum tentu adanya hukum.
      Contoh syarat umpamanya wali dalam perkawinan yang menurut jumhur ulama merupakan syarat. Dengan tidak adanya wali pasti nikah tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali belum tentu nikah itu sah karena masih ada syarat lain seperti saksi, akad, dan lainnya.
      Contoh sebab umpamanya masuknya waktu bagi datangnya kewajiban shalat. Belum masuknya waktu, pasti belum ada kewajiban shalat; dan dengan masuknya waktu pasti datang kewajiban shalat.[2]

C.     Mani’ (penghalang)
      Mani’ adalah sifat nyata yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum. Contohnya haiddl yang menjadi penghalang (mani’) bagi shalat. Keberadaan haidl menjadi penghalang  kewajiban melaksanakan shalat, sehingga perempuan yang terkena haid tidak terkena kewajiban melakukan shalat. Jika melakukan shalat maka shalatnya tidak sah, karena terdapat mani’.
D.    Sah dan Batal
      Sah adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ (terpenuhi sebab, syarat, dan tidak ada mani’), sedangkan batal adalah terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan. Sah dan batal adalah penilaian terhadap pelaksanaan hukum taklifi, apakah didukung oleh keberadaan hukum wad’iy atau tidak. Contohnya adalah sahnya shalat dzuhur ditentukan apabila terpenuhi sebab, syarat, dan tidak ada mani’.
      Shalat dzuhur tidak sah alias batal, apabila tidak terpenuhi sebab atau syaratnya, atau ada penghalang (mani’)nya. Oleh karena itu shalat dzuhur batal jika dilakukan sebelum matahari tergelincir, atau tidak dalam keadaan suci, atau sedang mengalami haid.

E.     Azimah dan Rukhsah
      Azima secara bahasa artinya tekad yang kuat, sedangkan menurut istilah ahli ushul fiqh, azimah adalah hukum yang telah ditetapkan Allah kepada seluruh hambanya sejak semula. Dengan demikian azimah adalah hukum yang ditetapkan oleh syari’ sejak awal, diberlakukan secara umum untuk semua mukallaf, dan berupa tuntutan untuk dilaksnakan dengan segenap kemampuan

      Rukhsah secara bahasa artinya kemudahan, kelapangan, dan kemurahan. Menurut arti istilahnya, rukhsah adalah hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil karena adanya uzur. Oleh karena itu, berlakunya rukhsah adalah ketika ada uzur yang menyebabkan, atau ketika hukum azimah dilaksanakan mendatangkan kesulitan bagi pelakunya.
      Menurut Al-Syafi'i-Syatibi, hukum rukhsah adalah mubah. Rukhsah adalah hukum tambahan, bukan hukum asli. Setiap mukallaf hendaknya memilih mana yang meringankannya dan dapat melepaskannya dari kesukaran dan kesulitan. Bentuk-bentuk hukum rukhsah antara lain:
1.      Rukhsah wajib, seperti memakan bangkai dalam keadaan darurat.
2.      Rukhsah mandub, seprti mengqasar shalat bagi musafir.
3.      Rukhsah mubah, seperti doktermelihat aurat orang lain ketika pengobatan.
4.      Rukhsah makruh, seperti terpaksa mengucap kufur, sedangkan hatinya menyatakan beriman.

v  Perbedaan antara hukum taklify dengan hukum wadh’i
           Melihat dari pembahasan tentang hukum taklify dengan hukum wad’iy, dapat disimpulkan bahwa kedua kategori hukum tersebut berhubungan satu sama lain. Dalam tataran implementasinya, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf harus didukung oleh aturan-aturan dalam hukum wad’iy. Keberadaan kedua hukum tersebut terintegrasi dalam hukum syara’, yang menjadi panduan mukallaf dalam menjalankan ajaran agama Islam.
           Pertama, dari aspek kandungannya hukum taklify berisi tuntutan untuk melaksanakan/meninggalkan dan pilihan, sedangkan hukum wad’iy mengandung penjelasan tentang sebab, syarat, dan mani’ yang terkait dengan pelaksanaan hukum taklify. Kedua, dari aspek bentuknya hukum taklify merupakan tuntutan langsung kepada mukallaf, sedangkan hukum wad’iy merupakan wahana atau kondisi untuk dapat dilaksanakannya hukum taklify. [3]


BAB III
PENUTUP

v  Kesimpulan
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
Hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. bentuk-bentuk hukum wadh’I ada yaitu sebab, syarat, mani (penghalang), rukhshah (keringanan) dan Azimah.
Ada perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’I.  Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung bagi mukallaf untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih. Hukum wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadh’i ditentukan syar’i agar dapat dilaksanakan hukum taklifi, misalnya zakat hukumnya wajib (hukum taklifi), tetapi kewajiban zakat ini tidak bisa dilaksanakan jika belum mencapai 1 nishab dan belum haul. Ukuran 1 nishab ini merupakan penyebab (hukum wadh’i). wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum wadh’i wajib zakat).
v  Saran
Penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kata “sempurna”. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun akan memperbaiki makalah ini, dengan senang hati dan terbuka saya menerima kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata penyusun makalah mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan refrensi khususnya di dalam menyikapi hukum-hukum aktivitas keseharian kita terutama dalam konteks ibadah.




[1] Ali sodiqin. “fiqh ushul fiqh” (Uin sunan kalijaga, 2014),h.99-106.
[2] Amir Syarifuddin. “ushul fiqh”(Jakarta:kencana,2008),h.114-119.
[3] Ali sodiqin. “ushul fiqh”(Uin sunan kalijaga), h.108-112.

0 komentar:

Post a Comment