Assalamu’alaikum. Wr.Wb
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmatnya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tak lupa saya
ucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen yang telah membimbing saya mengenai
penyusunan makalah yang baik dan benar. Dan terima kasih untuk semua pihak yang
telah membantu secara materiil (refrensi) hingga terselesainya makalah ini.
Makalah yang berjudul “Hukum Syara” ini saya buat untuk memenuhi tugas mata
kuliah Ushul Fiqh. Dan saya berharap semoga hasil makalah ini dapat berguna
bagi siapa pun yang membacanya.
Daftar Isi
Kata pengantar........................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan
Latar Belakang........................................................................................................... iii
Rumusan Masalah...................................................................................................... iii
Tujuan........................................................................................................................ iii
Bab II Pembahasan
Pengertian dan pembagian hukum Syara’.................................................................. 1
Hukum taklify dan pembagiannya............................................................................. 1
Hukum wadh’i dan jenisnya...................................................................................... 6
Perbedaan antara hukum taklify dan wadh’i............................................................. 8
Bab III Penutup
Kesimpulan................................................................................................................ 9
Saran.......................................................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
v Latar belakang
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari
terlebih lagi bagi mukallaf, yaitu bagi orang yang sudah baligh (dewasa)
dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat
bagi semua umat yang beragama Islam.
Aktivititas seorang muslim
selalu terikat dengan hukum syara. hukum syara ini
mengikat aktivitas kita, baik perkataan kita, perbuatan kita harus memiliki
dasar hukum syara yang jelas, apakah terkategori wajib, mubah,
mandub, makruh, dan haram. semua ini disebut dengan ahkmul khamsah. kenapa sih
harus terikat? keterikatan kita kepada hukum syara lah yang
menandakan bahwa kita adalah seorang muslim sejati, muslim sejati dilihat dari
indeks ketaatannya kepada hukum syara atau dalam kata lain
ketaqwaannya.
Oleh karena itu pemakalah mencoba membuat makalah sederhana untuk
membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang
terdapat di dalamnya, seperti hukum taklifi dan hukum wadh’i.
v Rumusan masalah
1.
Apa pengertian
dan berapa macam pembagiannya?
2.
Apa pengertian
hukum taklify dan berapa macam pembagiaannya?
3.
Apa pengertian
hukum wadh’i dan berapa macam pembagiannya?
4.
Apa perbedaan
hukum taklify dengan huku wadh’i?
v Tujuan
Adapun tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah:
1.
Untuk menambah
wawasan baik penulis maupun pembaca tentang pengertian hukum syara’ dan
pembagiannya serta cara menerapkannya.
2.
Untuk mentaati
syari’at yang telah ditetapkan dalam nash Al-qur’an dengan mengetahui poin-poin
dari hukum syara’.
3.
Untuk memenuhi
kewajiban sebagai mahasiswa (mengerjakan tugas).
BAB II
PEMBAHASAN
v Pengertian dan Pembagian
Dalam ushul fiqih juga terdapat hukum syara’, hukum syara’merupakan
acuan dalam tindakan manusia tentunya seorang mukallaf yang beragama islam yang
di tugasi untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Swt sesuai dengan kitab Allah
yaitu al-quran.Adanya perbedaan pendapat dalam pengertian hukum syara’antara
ahli ushul fiqih dengan ahli fiqh tidak membuat kita bingung untuk menentukan
suatu perbuatan yang dihukumi semestinya.Sebelumnya saya akan membahas
pengertian hukum syara’dengan dua versi yang berbeda.Pertama pendapat ahli
ushul fiqh dan kedua pendapat ahli fiqh dalam mengartikan hukum syara’.
Pertama,menurut Kalangan Ahli Ushul fiqh,hukum syara’ adalah“Khitab(titah)
Allah yg menyangkut tindak tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan,pilihan
berbuat atau tidak;atau dalam bentuk ketentuan ketentuan.”Contoh: “Kerjakanlah
Shalat”,Janganlah kamu memakan harta orang lain secara bathil. ahli ushul
memandang tentang pengetahuan kitab Allah yang menyangkut perbuatan manusia
itulah definisi hukum syara’ menurut mereka.Mereka melihat dari sisi
fungsinya adalah menegeluarkan hukum dari dalil memandangnya dari segi
nash syara’yang harus dirumuskan menjadi hukum yang terinci secara
detail.Karenanya ia mengaggap hukum itu sebagai kitab Allahyang mengandung
aturan tingkah laku tau perbuatan.
Kedua,menurut kalangan ahli fiqh ,pengertian hukum syara’ adalah
“Sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yg timbul dari titah Allah terhadap
orang mukallaf itu.”Dalam bentuk ini yang disebut hukum syara adalah
“wajibnya shalat” sebagai pengaruh dari titah Allah yang menyuruh shalat
atau haramnya memakan harta orang secara bathil sebagai akibat dari larangan
Allah memakan harta orang secra bathil. Dalam memandang pengertian hukum syara’
ini kalangan ahli fiqh yang fungsinya menjelaskan hukum yang dirumuskan dari
dalil memandang dari segi ketentuan syara’ yang sudah terinci dan sudah
baku menjadi suatu aturan tertentu.Karenanya ia menganggap hukum itu adalah
wajib,sunah,munbah,haram dan lainnya yang melekat pada perbuatan mukallaf yang
dikenai hukum itu.
Dapat kita lihat dalam memandang perbedaan definisi tentang hukum
syara nampaknya berbeda,jika ahli ushul fiqh bahwa kitab Allah secar langsung
dilihat dari fungsinya hukum hukum nya belum terinci dan harus di jelaskan
secara detail sedangkan ahli fiqih mendefinisikan hukum syara’,mereka
menjelaskan hukum yang dirumuskan telah menjadi hukum yang sudah detail dan rinci.Adapun
pembagian dari hukum syara’ sendiri dibagi menjadi dua yaitu hukum taklifi dan
hukum wadh’i.
v Hukum taklify dan pembagiaannya
Hukum taklify yaitu tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah
untuk berbuat atau untuk tidak berbuat atau memilih diantara keduanya .
Perintah atau tuntutan untuk berbuat menghasilkan hukum ijab dan nadb. Jika
perintah untuk berbuat tersebut tegas dan jelas, akan menghasilkan hukum ijab
(wajib), tetapi jika perintah tersebut tidak tegas atau hanya berupa anjuran,
maka hukum yang dihasilkan adalah nadh (sunnah).
Perintah untuk tidak berbuat (meninggalkan) menghasilkan hukum
tahrim dan karahah. Jika larangan tersebut tegas dan jelas, hukum yang
dihasilkan adalah tahrim (haram), tetapi jika larangan tersebut tidak
tegas atau hanya berupa himbauan saja,
maka hukum yang dihasilkan adalah karahah (makruh). Hukum yang berupa pilihan,
memili antara melakukan atau tidak melakukan, menghasilkan hukum ibahah
(mubah).
Secara rinci jumhur ulama membagi hukum takfili menjadi lima jenis,
dan hukum takfili tersebut:
a.
Ijab
Ijab (mewajibkan) yaitu ayat atau
hadits dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan.
Misalnya, ayat yang mengharuskan untuk shalat. Atau dengan perkataan lain, Ijab
adalah sesuatu yang berpahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan.
Seperti yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 110:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4q2¨9$# 4
$tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9öyz çnrßÅgrB yYÏã «!$# 3
¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ×ÅÁt/ ÇÊÊÉÈ
dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu
kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat
apa-apa yang kamu kerjakan.
Pembagian Ijab
1.
Berdasarkan orang
yang dibebani Ijab dibagi menjadi dua, yaitu:ain dan kifa’I (kifayah). Wajib
aini (disebut juga fardhu ‘ain) adalah kewajiban yang dibebankan kepada
tiap-tiap individu, seperti kewajiban menjalankan shalat fardhu, puasa
ramadhan, zakat, dan haji adalah kewajiban setiap orang.
2.
Berdasarkan
kandungan perintahnya, ijab dibagi dua, yaitu: mu’ayyan dan mukhayyar. Mu’ayyan
adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti
shalat, puasa, kewajiban jenis ini sudah ditentukan oleh syari’. Mukhayyar
adalah kewajiban tertentu yang dapat dipilih oleh mukallaf, seperti kewajiban
membayar kafarat.
3.
Berdasarkan
waktu pelaksanaannya, ijab dibagi dua, yaitu: mutlaq dan mu’aqqat. Wajib mutlaq
adalah sesuatu yang dituntut syari’ untuk dilaksanakan mukallaf tanpa
ditentukan waktunya, artinya bisa dilakukan kapan saja. Contohnya: membayar
kafarat karena melanggar sumpah. Mu’aqqat adalah kewajiban yang harus
dilaksanakan mukallaf pada waktu-waktu tertentu dan harus dilaksanakan pada
waktunya.
4.
Berdasarkan
ukuran yang diwajibkan, ijab dibagi dua, yaitu: wajib muhaddad dan wajib ghairu
muhaddad. Muhaddad artinya suatu kewajiban yang ukurannya ditentukan oleh
syari’, seperti jumlah rakaat shalat. Ghairu muhadddad adalah kewajiban yang
ukurannya tidak ditentukan oleh syari’, tetapi diserahkan kepada ulama,
seperti: hukum ta’zir.
b.
Nadb
Nadb
adalah tuntutan untuk melaksanakan perbuatan tetapi tidak secara pasti.
Ketidakpastian tuntutan pelaksanaannya menjadi perintah tersebut tidak bernilai
wajib, tetapi hanya bersifat anjuran, contoh perintah mencatat transaksi
sebagaimana disebutkan dalam al-quran surat Al-Baqarah ayat 282:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
“Hai
orang-orang yang beriman jika diantara kamu terjadi transaksi hutang piutang
untuk jangka waktu tertentu, maka catatlah (transaksi tersebut)”.
Pembagian
Nadb
1.
Muakkadah,
yaitu tuntutan untuk melaksanakan, dimana orang yang meninggalkannnya tidak
berdosa tetapi mendapat cela. Contoh: pelaksanaan sholat Id.
2.
Ghairu
mukaddah, yaitu tuntutan untuk melaksanakan, dimana orang yang meninggalkannya
tidak berdosa dan tidak mendapat cela. Contoh: shalat sunnah qobliyah dzuhur.
3.
Zaidah
(zawaid), yaitu sunnah pelengkap, seperti kesopanan santun.
c.
Ibahah
Ibahah
adalah tuntutan Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak
berbuat. Hukum jenis ini memberikan keleluasaan kepada mukalllaf, apakah
melaksanakan atau tidak melaksanakan tuntutan tersebut. Akibat dari tuntutannya
disebut ibadah, sedangkan perbuatannya dinamakan mubah. Contohnya adalah hukum
mencari rizki setelah selesai shalat jum’at seperti yang tercantum dalam surah
jumuah ayat 10:
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
“apabila telah ditunaikan
shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”
Pembagian mubah:
1.
Mubah yang
berfungsi menghantarkan sesuatu yang wajib misalnya makan dan minum agar kuat
dalam menjalankan ibadah.
2.
Perbuatan mubah
yang dilaksanakan sesekali, tetapi haram jika dilaksanakan setiap hari,
seperti:melihat tv.
3.
Perbuatan mubah
yang bersifat untuk memenuhi kebutuhan yang mubah juga, seperti membeli
perabotan rumah.
d.
Karahah
Karahah
adalah tuntutan untuk meninggalkan tetapi redaksinya tidak pasti. Akibat
perbuatannya namanya karahah, sedangkan perbuatannya disebut makruh. Hukum
kategori ini merupakan kebalikan dari hukum nadb. Meninggalkan perbuatan yang
makruh, akan lebih mendatangkan kemaslahatan bagi mukallaf. Contohnya
menanyakan sesuatu yang menyulitkan, sebagaimana disebut dalam al-Qur’an surah
Al-Maidah ayat 101:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& bÎ) yö6è? öNä3s9 öNä.÷sÝ¡n@ bÎ)ur (#qè=t«ó¡n@ $pk÷]tã tûüÏm ãA¨t\ã ãb#uäöà)ø9$# yö7è? öNä3s9 $xÿtã ª!$# $pk÷]tã 3
ª!$#ur îqàÿxî ÒOÎ=ym ÇÊÉÊÈ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al
Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu)
tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.
Pembagian karahah
1.
Karahah tanzin,
yaitu sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan tetapi dengan dalil yang tidak
pasti atau zany. Contoh adalah hukum memakai emas dan sutera bagi laki-laki,
karena didasarkan pada hadits Ahad.
2.
Karahah tahrim,
yaitu sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan tetapi dengan dalil yang pasti,
tetapi kekuatannya zany.
e.
Tahrim
Tahrim
adalah tuntutan secara pasti untuk tidak melaksanakan perbuatan. Perintah yang
terkandung dalam hukum ini adalah meninggalkan perbuatan yang disebutkan.
Prinsip tahrim berkebalikan dengan ijab. Contohnya larangan membunuh, seperti
yang tercantum dalam surah An-Nisa’ ayat 93 yaitu:
`tBur ö@çFø)t $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJÏàtã ÇÒÌÈ
“dan Barangsiapa yang
membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia
di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab
yang besar baginya”.
Pembagian Tahrim
1.
Tahrim lizatih,
yaitu keharaman yang sejak semula ditetapkan oleh Syari’, seperti zina.
2.
Tahrim
Ligairih, yaitu sesuatu yang asalnya tidak diharamkan, tetapi karena ada hal
yang menyertainya sehingga menyebabkan keharamannya, seperti jual beli pada
azan jum’at, karena bisa membuat orang melupakan shalat jum’at.[1]
v Hukum Wadh’i dan pembagiannya
A.
Sabab
Dalam artian lughawi,
sabab berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada apa yang dimaksud.
Sepotong tali atau suatu jalan dapat dinamakan “sabab” karena keduanya itu
dapat membawa kita kepada apa yang dituju.
Bila diperhatikan
hubungan antara sebab dan musabab dari segi nyatanya keserasian hubungan,
secara rasional terlihat ada dua macam hubungan. Pertama tidak dapat diketahui
secara jelas oleh akal antara keserasian hubungan antara keduanya. Bentuk
seperti ini disebut “sebab” seperti hubungan masuknya bulan ramadhan dengan
datangnya kewajiban puasa. Kita tidak tahu kenapa demikian; dalam hal ini kita
serahkan saja kepada kehendak Allah.
B.
Syarath
Dari satu segi, syarat
sama dengan sebab, yaitu “hukum tergantung kepada adanya”, sehingga bila ia
tidak ada, maka pasti hukum pun tidak ada. Perbedaan keduanya terdapat pada
adanya sebab atau syarat itu. Pada sebab, keberadaannya melazimkan adanya
hukum, tetapi adanya syarat belum tentu adanya hukum.
Contoh syarat umpamanya
wali dalam perkawinan yang menurut jumhur ulama merupakan syarat. Dengan tidak
adanya wali pasti nikah tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali belum tentu
nikah itu sah karena masih ada syarat lain seperti saksi, akad, dan lainnya.
Contoh sebab umpamanya
masuknya waktu bagi datangnya kewajiban shalat. Belum masuknya waktu, pasti
belum ada kewajiban shalat; dan dengan masuknya waktu pasti datang kewajiban
shalat.[2]
C.
Mani’
(penghalang)
Mani’ adalah sifat nyata
yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum. Contohnya haiddl yang
menjadi penghalang (mani’) bagi shalat. Keberadaan haidl menjadi
penghalang kewajiban melaksanakan
shalat, sehingga perempuan yang terkena haid tidak terkena kewajiban melakukan
shalat. Jika melakukan shalat maka shalatnya tidak sah, karena terdapat mani’.
D.
Sah dan Batal
Sah adalah suatu hukum
yang sesuai dengan tuntutan syara’ (terpenuhi sebab, syarat, dan tidak ada
mani’), sedangkan batal adalah terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang
ditetapkan. Sah dan batal adalah penilaian terhadap pelaksanaan hukum taklifi,
apakah didukung oleh keberadaan hukum wad’iy atau tidak. Contohnya adalah
sahnya shalat dzuhur ditentukan apabila terpenuhi sebab, syarat, dan tidak ada
mani’.
Shalat dzuhur tidak sah
alias batal, apabila tidak terpenuhi sebab atau syaratnya, atau ada penghalang
(mani’)nya. Oleh karena itu shalat dzuhur batal jika dilakukan sebelum matahari
tergelincir, atau tidak dalam keadaan suci, atau sedang mengalami haid.
E.
Azimah dan Rukhsah
Azima secara bahasa
artinya tekad yang kuat, sedangkan menurut istilah ahli ushul fiqh, azimah
adalah hukum yang telah ditetapkan Allah kepada seluruh hambanya sejak semula.
Dengan demikian azimah adalah hukum yang ditetapkan oleh syari’ sejak awal,
diberlakukan secara umum untuk semua mukallaf, dan berupa tuntutan untuk
dilaksnakan dengan segenap kemampuan
Rukhsah secara bahasa
artinya kemudahan, kelapangan, dan kemurahan. Menurut arti istilahnya, rukhsah
adalah hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil karena adanya uzur. Oleh
karena itu, berlakunya rukhsah adalah ketika ada uzur yang menyebabkan, atau
ketika hukum azimah dilaksanakan mendatangkan kesulitan bagi pelakunya.
Menurut
Al-Syafi'i-Syatibi, hukum rukhsah adalah mubah. Rukhsah adalah hukum tambahan,
bukan hukum asli. Setiap mukallaf hendaknya memilih mana yang meringankannya
dan dapat melepaskannya dari kesukaran dan kesulitan. Bentuk-bentuk hukum
rukhsah antara lain:
1.
Rukhsah wajib,
seperti memakan bangkai dalam keadaan darurat.
2.
Rukhsah mandub,
seprti mengqasar shalat bagi musafir.
3.
Rukhsah mubah,
seperti doktermelihat aurat orang lain ketika pengobatan.
4.
Rukhsah makruh,
seperti terpaksa mengucap kufur, sedangkan hatinya menyatakan beriman.
v Perbedaan antara hukum taklify dengan hukum wadh’i
Melihat dari
pembahasan tentang hukum taklify dengan hukum wad’iy, dapat disimpulkan bahwa
kedua kategori hukum tersebut berhubungan satu sama lain. Dalam tataran
implementasinya, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf harus
didukung oleh aturan-aturan dalam hukum wad’iy. Keberadaan kedua hukum tersebut
terintegrasi dalam hukum syara’, yang menjadi panduan mukallaf dalam
menjalankan ajaran agama Islam.
Pertama, dari aspek
kandungannya hukum taklify berisi tuntutan untuk melaksanakan/meninggalkan dan
pilihan, sedangkan hukum wad’iy mengandung penjelasan tentang sebab, syarat,
dan mani’ yang terkait dengan pelaksanaan hukum taklify. Kedua, dari aspek bentuknya
hukum taklify merupakan tuntutan langsung kepada mukallaf, sedangkan hukum
wad’iy merupakan wahana atau kondisi untuk dapat dilaksanakannya hukum taklify.
[3]
BAB III
PENUTUP
v Kesimpulan
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan
Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta
mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Hukum syara terbagi menjadi dua
macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut
jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah,
karahah dan tahrim.
Hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari
mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara
melakukan dan meninggalkannya. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama
ushul fiqh/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan
tahrim.
Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk
menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
bentuk-bentuk hukum wadh’I ada yaitu sebab, syarat, mani (penghalang), rukhshah
(keringanan) dan Azimah.
Ada perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’I. Hukum
taklifi merupakan tuntutan langsung bagi mukallaf untuk melaksanakan, meninggalkan
atau memilih. Hukum wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf.
Hukum wadh’i ditentukan syar’i agar dapat dilaksanakan hukum taklifi, misalnya
zakat hukumnya wajib (hukum taklifi), tetapi kewajiban zakat ini tidak bisa
dilaksanakan jika belum mencapai 1 nishab dan belum haul. Ukuran 1 nishab ini
merupakan penyebab (hukum wadh’i). wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum
wadh’i wajib zakat).
v
Saran
Penyusun
menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kata “sempurna”. Oleh karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun akan memperbaiki makalah ini,
dengan senang hati dan terbuka saya menerima kritik dan saran dari pembaca.
Akhir kata penyusun makalah mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat dan
menjadi bahan refrensi khususnya di dalam menyikapi hukum-hukum aktivitas
keseharian kita terutama dalam konteks ibadah.
Baca Juga: Kumpulan Makalah Lainnya
[1]
Ali sodiqin. “fiqh ushul fiqh” (Uin sunan kalijaga, 2014),h.99-106.
[2]
Amir Syarifuddin. “ushul fiqh”(Jakarta:kencana,2008),h.114-119.
[3]
Ali sodiqin. “ushul fiqh”(Uin sunan kalijaga), h.108-112.
0 komentar:
Post a Comment