Hukum Yang Berlaku Bagi Masyarakat Muslim Pada Zaman Negara Kekhalifahan Demokratis


Hukum Yang Berlaku Bagi Masyarakat Muslim Pada Zaman Negara Kekhalifahan Demokratis, krjogja.com

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah yang telah diberikan, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Hukum  Yang Berlaku Bagi Masyarakat Muslim Pada Zaman Negara Kekhalifahan Demokratis. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas akademik mata kuliah SKI dan Budaya Lokal dengan dosen pengampu Dr. H. Hamim Ilyas, M.Ag. Diharapkan makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekaligus bagi kami selaku penyusun makalah ini. Tidak ada yang sempurna pada sebuah karya. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah yang kami susun. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

                                                                        Yogyakarta, 19 Maret 2018
                                                                                       Penyusun




KATA PENGANTAR.. i
DAFTAR ISI. ii
A.   Faktor Terjadinya Sejarah. 1
B.    Sumber Hukum.. 2
C.    Otoritas Pembuat Hukum.. 6
D.   Tujuan Hukum.. 10
E.    Fungsi Hukum.. 10
KESIMPULAN.. 11
DAFTAR PUSTAKA.. 12



PEMBAHASAN

Masa legislasi sahabat dimulai sejak Rasulullah saw wafat, yaitu sejak tahun sebelas hijriyah dan berakhir sampai akhir abad pertama hjriyah. Berikut ini adalah rekonstruksi sejarah sumber hukum, otoritas pembuat hukum, fungsi hukum, tujuan hukum yang berlaku bagi masyarakat pada zaman negara kekhalifahan demokratis, serta faktor penyebab terjadinya sejarah.

Masa legislasi pertama ialah masa hidup Rasulullah saw. Masa legislasi pertama inilah yang mewariskan undang-undang yang terdiri dari nash-nash (teks-teks) hukum dalam Kitabullah dan Sunnaturrasul saw, dan tidaklah setiap orang Islam itu dapat menguasai semua materi undang-undang dasar ini (Kitabullah dan Sunnaturrasul saw) untuk mengembalikan hukum suatu kejadian kepadanya dan memahamkan nash-nash hukum suatu kejadian umpamanya, karena di kalangan ummat islam sendiri banyak sekali orang awamnya yang tidak bisa sampai fikiran mereka memahami teks-teks hukum tanpa pengantar dari seseorang yang mampu untuk memahaminya. Faktor kedua yang membuat setiap orang tidak dapat menguasai semua materi undang-undang tersebut, karena materi undang-undang tersebut tidak tersebar merata kepada seluruh ummat islam sehingga dapat diambil oleh masing-masing umat islam. Hal tersebut dikarenakan teks-teks hukum Al-Quran di masa permulaan legislasi ini, masih dikodifikasikan (dibukukan) di lembaran-lembaran khusus yang tersimpan di rumah Rasulullah saw dan rumah-rumah sebagian sahabat beliau, sedang Sunnaturrasul pada saat itu belum dikodifikasikan secara resmi. Faktor ketiga yang membuat orang-orang tidak dapat menguasai materi undang-undang, karena materi undang-undang itu sendiri hanya membahas hukum untuk kasus-kasus dan eksekusi yang terjadi pada masa legislasinya, bukan membahas kasus-kasus yang merupakan spekulasi atau bersifat mungkin akan terjadi. Sedangkan pada saat setelah Rasulullah wafat, banyak terjadi kasus-kasus dan ekskusi yang di masa Rasulullah belum pernah terjadi , maka menuntut untuk adanya legislasi, padahal dalam teks-teks hukum yang diwariskan oleh badan legislatif di masa Rasulullah saw tidak ada yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Sehingga di awal periode ini, yaitu masa di pemerintahan Abu Bakar dan awal pemerintahan Umar bin Khattba ra, cara mereka untuk melakukan legislasi kasus yang tidak bernash, ialah membuat suatu dewan yang terdiri dari semua tokoh – tokoh sahabat di masa itu untuk memusyawarahkan kasus yang tidak bernash, dan memusyawarahkan hukum –hukum yang timbul dari mereka sendiri yang disesuaikan dengan kemaslahatan rakyat  masing – masing tokoh di daerahnya.

Sumber hukum pada zaman kekhalifahan demokratis ada 3 yaitu : Al-Quran, sunnah, dan ijtihad sahabat dengan urutan-urutan tersebut. Oleh karena itu apabila terjadi suatu peristiwa atau suatu sengketa, maka sahabat-sahabat yang berhak memberikan fatwa mencari dulu ketentuan peristiwa tersebut dalam Al-Quran, jika didapatkan maka mereka melaksanakan ketentuan tersebut. Jika tidak mereka dapatkan, maka harus mencari di dalam sunnah, dan dilaksanakan apa yang didapatkannya. Jika dalam sunnah tidak mereka dapatkan, maka mereka melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum peristiwa tersebut dengan jalan qiyas (mempersamakan antara peristiwa yang terjadi dengan peristiwa yang sudah ada ketentuannya) atau dengan berpedoman pada jiwa syariat dan maslahat orang banyak.
            Alasan untuk memegangi Al-Qur’an dan sunnah ialah suruhan untuk mentaati Allah dan Rasulnya seperti yang sering disebut dalam Al-Qur’an dan untuk mengembalikan apa yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul, serta menerima apa yang diputuskan oleh keduanya.
            Alasan  untuk memegangi ijtihad adalah tindakan-tindakan Rasul sendiri, dimana apabila beliau tidak menerima wahyu yang bersangkutan dengan masalah yang dihadapinya, maka beliau melakukan ijtihad sendiri. Juga mereka mengetahui hadits yang menjelaskan bahwa sewaktu Rasulullah memerintahkan Muadz bin Jabal ke Yaman, maka beliau bertanya kepadanya : “Bagaimana cara kamu mencari vonis hukum?”. Jawabnya : “Saya vonis dengan Kitabullah”. Tanya beliau : “Kalau kamu tidak mendapatkannya?”. Jawab Muadz : “Saya vonis dengan sunnah Rasulullah saw”. Tanya beliau : “Kalau kamu tidak mendapatkannya?”. Jawab  Muadz : “Saya berusaha mencari hukumnya dengan mengambil dari pendapat saya sendiri”. Hal ini Rasulullah saw membenarkannya dan memuji Allah atas taufik yang diberikan kepada Muadz. Alasan lain ialah adanya penyebutan alasan ilat pada beberapa ketentuan hukum islam dalam Al-Qur’an dan hadist, yang dapat difahamkan daripadanya bahwa maksud dari penetapan hukum itu adalah untuk mewujudkan kemaslahatan orang banyak, dan apabila diperlukan kemaslahatan tersebut maka kaum muslim harus berusaha mewujudkannya.
Di masa sahabat inilah sumber pertama legislasi, yaitu ayat-ayat hukum kitabullah mulai mendapatkan perhatian yang lebih istimewa dari perhatian sebelumnya. Keadaan yang membekas hingga saat ini, ialah ayat-ayat Al-Qur’an dikodifikasikan dalam bentuk Al-Qur’an ini kemudian didistribusikan/disebarluaskan kepada umat islam dengan memakai suatu sistem peraturan resmi yang dapat mempermudah semua umat islam menghafalkannya dan mengetahui teks-teks hukumnya tanpa ada perselisihan, baik dalam bentuk perorangan atau kelompok.
            Di masa hidup Rasulullah SAW, beliau mengangkat beberapa yang sekretaris untuk mencatat wahyu Allah ayat Al-Qur’an. Maka apabila satu atau beberapa ayat Al-Qur’an datang, beliau membaca bacaanya kepada orang-orang islam, lalu ditulislah oleh sekretaris beliau yang khusus hadir waktu itu. Demikian pula sahabat-sahabat lain yang mempunyai keinginan besar untuk mencatatnya sebagai dokumentasi pribadi, dan banyak pula sahabat-sahabat yang menghafalnya, sehingga Rasulullah SAW wafat sedang ayat-ayat Al-Qur’an tersebut sudah dicatat penuh dan dihafal oleh banyak sahabat yang berjumlah besar itu, dan ada juga yang hafal keseluruannya dan ada pula yang hanya sebagian saja. Tetapi pengkodifikasian ayat- ayat Al-Qur’an di masa Rasululla SAW ini hanya tertulis di atas daun- daun ada pula yang tertulis di atas pelepah pohon kurma, dan masing – masing sekretatis wahyu ini mempunyai koleksi catatannya dan ada pua sebagian sahabat lain yang memilikinya, ada pula yang disimpan di rumah Rasulullah SAW Dan semua wahyu yang di kodifikasikan ini belum terhimpun dalam satu koleksi.
            Setelah peperangan melawan kaum murtad di masa Abu Bakar Shiddiq ra bergejolak, dan di masa itu banyak sahabat yang harus menjadi sasaran untuk gugur di medan pertempuran maka semua pemimpin Negara waktu itu khawatir lembaran- lembaran Al-Qur’an yang disimpan di rumah- rumah mereka itu bisa hilang. Karena itu mereka bermusyawarah dengan Abu Bakar ra agar semua ayat –ayat suci Al-Qur’an yang dikodifikasikan itu dihimpun semua dan dikumpulkan satu persatu, sehingga yang pada mulanya berada di beberapa tempat dan berantakan, lalu menjadi terhimpun dan menjadi satu koleksi. Maka di terimalah usul yang demikian itu oleh Abu Bakar ra. Kemudian ia mempercayakan tugas suci ini kepada Zaid bin Tsabit dari antara sekretaris wahyu yang paling tenar dan paling hafal Al Qur’an di kalangan sahabat Rasulullah SAW. Lalu di mulailah tugas ini oleh Zaid dengan menghimpun semua catatan wahyu itu dengan cara memperbandingkan catatan –catatan semua sekretaris wahyu ini dengan semua caatan sahabat lain yang mereka catat untuk dirinya sendiri, kemudian diperbandingkan lagi wahyu – wahyu yang di pelihara di atas lembaran ( tulisan ) itu dengan semua wahyu yang di pelihara di dalam dada – dada sahabat ( di hafalkannya ), sehingga penghimpunan wahyu ini dengan penyusunannya selesai dan sempurna dengan teratur dan rapi serta cocok dengan semua catatan yang terdapat di kalangan sahabat Anshar dan Muhajirin, dan koleksi ini disimpan di rumah Abu Bakar ra selaku Khalifah. Setelah wafatnya maka koleksi ini disimpan Khalifah berikutnya yaitu Umar bin Khatab ra kemudian setelah wafat Umar, koleksi ini disimpan di rumah puteri Umar ra, yaitu Hafshah Ummul Mu’minin ra.
            Setelah Usman bin Affan ra memegang jabatan sebagai Khalifah, yaitu pada tahun 20 ( dua puluh ) H, maka diambillah koleksi ini oleh Usman dari Hafshah ra, lalu dipercayakan kepada Zaid bin Tsabit dan sebagian sahabat lainnya untuk menuliskan wahyu – wahyu ini menjadi beberapa lembaran untuk disebarluaskan dan di bagi- bagikan kepada semua Negara islam sehingga setiap orang Islam mudah berpedoman kepada Al-Qu’an dan tidak mudah berlainan aksen dan dialek dalam mengucapkan kata dan kalimat Al-Qur’an di kalangan umat Islam. Semua sekretaris wahyu ini menulis sebanyak enam buah naskah yang sudah di teliti dan di hafal oleh Usman sendiri dengan menyimpannya sebuah naskah sebagai arsip untuk dirinya sendiri, sedang lainnya disebarluaskan ke daerah - daerah, yaitu daerah Makkah, Kufah, Madinah, Bashrah dan Damaskus. Lalu semua naskah itu di letakkan di masjid Raya sehingga menjadi pedoman semua muslim untuk dihafalkan dan di pelihara, dan mereka meng copy-nya dengan teliti tanpa ada perubahan dan penggantian sedikitpun. Pengkodifikasian wahyu ini mempunyai peninggalan yang kekal terhadap legislasi selanjutnya, karena ayat – ayat yang mengandung hukum di dalam Al-Qur’an dapat di copy dengan mudah baik berupa tulisan ataupun dengan cara copy lisan sehingga semua itu datang dengan pasti dan benar, tidak mendapatkan kesulitan bagi setiap musim untuk mendapatkan riwayatnya dan sanad – sanad perawinya itu sendiri tanpa ada benturan-benturan perselisihan.
            Sumber legislasi kedua di masa tersebut yaitu nash – nash hukum dari sunnah Rasulullah masih belum dikodifikasikan sebagaimana sunnah-sunnah Rasulullah saw yang lain yang bukan merupakan nash juga belum di kodifikasikan. Sebab tidak dikodifikasikannya Sunnah di masa ini, Khalifah kedua Umar bin Khattab ra walaupun mempunyai inisiatif untuk mengkodifikasikannya tapi setelah diadakan musyawarah dan pemikiran yang matang dia khawatir kalau pengkodifikasian ini menyebabkan bercampur baurnya Sunnah Rasulullah SAW degan Al-Qur’an sehingga keduanya ada yang serupa lalu membingungkan mana yang Sunnah dan mana yang Al-Qur’an, karena itu, maka Umar bin Khattab ra tidak merealisasikan inisiatifnya itu, sehingga pada abad pertama hijriyah ini Sunnah Rasulullah saw belum dikodikasikan, selain Sunah-sunnah yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Ash karena dia memang mencatat semua hadits yang didengar sendiri dari Rasulullah saw untuk arsip pribadi nya dalam sebuah lembaran yang di beri nama “ Ash Shadiqah “. Tapi kalaupun sahabat di masa itu tidak mengkodifikasikan hadits ( Sunnah Rasulullah saw) mereka sangat berhati –hati untuk menerima Sunnah kecuali setelah benar- benar menerimanya dari orang yang mereka anggap sudah kuat dan benar – benar dapat di percaya dan menyelidiki perawi – perawinya yang membawa Sunnah tersebut. Maka dari itu, Abu Bakar tidak suka menerima hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang saja, tanpa diperkuat oleh seorang saksi, bahwa hadits itu benar- benar dari Rasulullah saw. Demikian pula Umar bin Khattab ra, biasanya selalu menuntut agar perawi hadits itu mendatangkan bukti, bahwa selalu menuntut agar perawi hadits nya itu mendatangkan bukti, bahwa dia benar – benar meriwayatkannya dari Rasulullah saw. Ali bin Abi Thalib, biasanya tidak suka menerima hadits kalau perawinya itu tidak mau angkat sumpah. Akan tetapi cara yang demikian itu belum dapat memadai kedudukan kewaspadaan dan keberhati-hatian yang sebenarnya dan belum cukup untuk menduduki kekuatan kedudukan pengkodifikasian.
            Sebab Sunnah Rasulullah SAW tidak dikodifikasikan, maka hal itu menimbulkan dua macam efek kepada periode sesudahnya :
Pertama        : Ulama’ terpaksa harus mengerahkan tenaga dan fikiran untuk meneliti perawi hadits dan tingkatan kejujuran dan kebenaran mereka. Karena itu kalau ditinjau dari segi perawinya maka hadits ini dapat di bagi menjadi Hadits yang datangnya dari Rasulullah sw dengan pasti dan hadits yang datangnya dari Rasulullah saw dengan tidak pasti, Maka yang tidak pasti ini ada tiga bagian lagi, yaitu : Ternyata Shahih ( benar – benar ) dari Rasulullah saw setelah di adakan penelitian ; Kedua hadis itu bagus artinya di bawah tingkatan hadits shahih, dan yang ketiga ternyata hadits itu Dha’if ( lemah ), diperkirakan tidak pasti benar dari Rasulullah saw karena beberapa hal dari sifat perawinya yang dapat meragukan. Karena itu, maka diciptakanlah suatu ilmu yang  mempelajari  tentang hadits dari segi riwayat-riwayatnya, dan tersusunlah banyak kitab tentang ini.
Kedua           : Karena Sunnah tidak dikodifikasikan maka efeknya juga orang – orang Islam tidak bersatu untuk membuat Sunnah Rasulullah saw dalam satu koleksi sebagaimana mereka menghimpun Al-Qur’an. Karena itu maka lapangan seseorang untuk merubah, menambah dan mengurangi teks- teks aslinya lebih luas, baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja. Sehingga dengan demikian maka setelah periode itu timbullah suatu perselisihan yang mempersoalkan : “Apakah Sunnah ini tergolong kepada Hujjah hukum juga menjadi sumber legislasi sebagaimana Kitabullah ataukah tidak tergolong kepada itu? Juga hal ini menimbulkan perselisihan : “Apakah execusi dari orang –orang yang memakai hujjah Sunnah yang kuat itu juga dapat dipakai hujjah juga oleh orang sesudahnya?”.   
            Sumber legislasi ketiga di masa ini ialah : Ijtihad sebagian sahabat ahli fatwa. Dimasa ini fatwa – fatwa  sahabat yang berupa dasar juga belum dikodifikasikan, karena anggapan mereka, bahwa fatwa – fatwa tersebut hanya merupakan pendapat – pendapat perseorangan : karena itu kata mereka : “Kalau fatwa itu benar, maka datangnya dari Allah, tapi kalau keliru, datangya dari diri mereka sendiri”. Maka masing- masing dari mereka tidak bertanggungjawab terhadap sahabat yang lain, atau bertanggungjawab terhadap seorang muslim dengan fatwanya : Karena itu Umar bin Khattab ra seringkali tidak sependapat dengan Abu Bakar ra, dan Zaid bin Tsabit seringkali bergantian hujjah dengan Abdullah bin Abbas ra. Maka hukum kasus – kasus di kalangan shahabat ini banyak sekali yang berbeda – beda yang mana dalil – dalilnya menunjukkan kepada puncak kemerdekaan mereka dalam membahasnya dan penelitian mereka terhadap hukum itu berdasarkan pada kemaslahatan dan membuang hal – hal yang menimbulkan kerusakan.

Titik awal periode peranan para sahabat dalam pembentukan dan pembinaan hukum adalah setelah berpulang Rasulullah saw ke rahmatullah awal abad pertama hijriyah sampai akhir. Periode ini ditandai dengan mengadakan interpretasi (penafsiran) dan disertai hukumnya dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi. Lahirlah apa yang dinamai fatwa-fatwa sahabat. Dalam hal ini, ketentuan siapa yang berhak mengemukakan fatwa atau menginterpretasi dari Al-Qur’an dan hadist bukanlah dipegang oleh para khalifah atau dipilih masyarakat, tapi syarat, ketentuan yang mutlak adalah dilihat dari beberapa segi, anatar lain :
1.    Sampai sejauh mana keahlian mereka dalam soal hukum.
2.    Berapa lama mereka bergaul dan berdampingan dengan Rasulullah saw semasa beliau masih hidup.
3.    Seberapa jauh pengetahuan mereka terhadap Al-Qur’an (asbabun nuzul) maupun hadis (asbabul wurud). Di samping itu juga, hafalan mereka terhadap Al-Qur’an dan Hadis juga turut dipertimbangkan.
4.    Apakah semasa Rasulullah saw mereka diminta beliau untuk berijtihad, ataupun diminta pendapat untuk pertimbangan hukum (ketiaka tidak ada ayat yang turun) sebagai bahan pertimbangan, sebelum beliau memutuskan suatu hukum.
Orang-orang yang berhak melakukan legislasi di masa ini sebagai badan legislasi ialah orang-orang yang meneruskan tugas dan kewajiban Rasulullah saw dalam bidang ini, sebagai titik tumpu pemulihan hukum umat tanpa lamaran dari mereka sendiri untuk menjadi dewan legislatif baik melalui pemilihan dari Khilafah pada waktu itu, ataupun melalui pemilihan umum, melainkan mereka menduduki badan ini sebagai anggota Badan Legislatif karena sifat-sifat keistimewaannya yang khusus yang memang mereka miliki, antara lain karena mereka lama bergaul bersama Rasulullah saw sehingga ahli dan banyak hafal Al-Qur’anul Karim dan Sunnah Rasulullah saw, juga di antaranya karena mereka seringkali diajak Rasulullah saw  untuk bermusyawarah sewaktu beliau berijtihad, yang dalam kata lain, sudah memang menjadi anggota dewan legislastif di masa Rasululllah saw. Karena keistimewaan yang mereka miliki inilah, maka mereka sudah memang ahlinya untuk menjelaskan teks-teks hukum dan berijtihad dalam suatu hukum yang tidak bernash. Dan ahlinya pula untuk menjadi titik tumpu pemulihan umat Islam yang mana penjelasan hukumnya dan fatwa-fatwanya menjadi pegangan mereka yang kuat.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat disebutkan para ahli hukum yang banyak memberi fatwa kepada umat islam antara lain:
Di Madinah     : Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali ra), Zaid bin Tsabit,
                          Ubay bin Ka’b, Abdullah bin Umar, dan Aisyah, Abu Hurairah ra.
Di Makkah      : Abdullah bin Abbas ra.
Di Kuffah       : Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud ra.
Di Bashrah      : Anas bin Malik dan Abu Musa Al-Asy’ari ra.
Di Syam          : Mu’adz bin Jabal dan Ubadah bin Shamit ra
Di Mesir          : Abdullah bin Amr Ash ra.
Pada mulanya, mayoritas tokoh sahabat ahli fatwa ini berdomisili di Madinah pada awal periode mereka, tapi setelah banyak negara-negara yang menjadi negara Islam, mereka pindah terpencar ke berbagai penjuru untuk melebarkan sayap Islam dan ajaran Allah dan Rasulullah saw.  Karena itulah, maka di awal periode mereka ini ijtihad mereka dilaksanankan dengan cara ‘Jamaah-berdewan’, setelah itu mereka terpencar luas, maka ijtihad mereka berubah menjadi dengan cara ‘Afraad-perorangan’.
Langkah legislasi yang di pakai tokoh – tokoh sahabat sebagai badan legislative pada waktu ini, kalau kita tinjau dari segi sumber – sumber legislasinya ialah : “ Apabila badan legislative di masa ini sudah mendapatkan nash hukum yang terjadi pada suatu kasus dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw, maka mereka pegang nash dari antara kedua sumber itu serta berusaha untuk memahaminya dengan antara kedua sumber itu serta berusaha untuk memahaminya dengan antara kedua sumber itu serta beusaha untuk memahaminya dengan positif mencocokkan peristiwanya dengan tujuan nash dan hubungannya, apakah kasus itu cocok dengan maksud dalil yang ada. Begituah sistim bagan legislative di masa ini, selagi ada nash dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw, maka mereka tidak melampauinya pasti berpegang kepada salah satu keduanya atau kepada kedua – dunya. Baru kala mereka tidak mendapatkan nash dari Kitabullah atau Sunnah Rsululla saw yang menunjukka kepada hukum kasus yang terjadi di masa itu mereka melakukan ijtihad untuk mengambil kesimpulan hukumnya, Sedang ijtihad mereka disandarkan kepada kebiasaan yang telah didapat dari Rasulullah saw sewaktu beliau menarik menjadi anggota legislative, ada yang didapatkan dari pengalaman mereka sewaktu interview dengan beliau, ada juga yang mereka dapatkan sewaktu beliau melakukan execusi, ada juga yang mereka dapatkan sewaktu beliau melakukan ijtihad, ada pula yang mereka dapatkan seaktu mereka mendapatkan pengertian yang mantap terhadap rahasia – rahasia yang terkandung di dalam legislasi dan peraturan –peraturan pokok yang umum ( General principle ). Maka cara legislasi mereka, kadang – kadang dengan cara memperbandingkan hukum yang tidak ada nashnya dengan hukum yang sudah ada nashnya; kadang – kadang pula ada dengan cara memperhatikan kemaslahatan umat; kadang-kadang ada pula dengan cara untuk membuang hal yang membuat kerusakan umat tanpa ada ikatan dari kemaslahatan yang harus dijaganya. Karena itu, maka ijtihad mereka untuk mendapatkan hukum yang tidak bernash ini membuat lapangan ijtihad yang luas untuk keperluan dan kemaslahatan manusia yang luas juga. Sebab pada waktu itu, banyak bangsa yang berlainan dan banyak negara yang berjauhan dari negara ke negara, sudah berada dalam wadah Islam, dan luasnya arena dan lapangan ijtihad ini menjamin semua perundangan dan legislasi kepada mereka dalam bermu’amalah dalam segala keperluan mereka.
            Suatu hal yang bisa menyebabkan terjadinya perselisihan pedapat dalam hukum Islam, karena beberapa faktor, yaitu
Pertama : Nash – nash yang ada dalam Al- Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw,   mayoritasnya bukan nash qath’I, artinya tidak menunjukkan maksud suatu hukum dengan pasti. Tapi banyak sekali nash – nash itu hanya berupa nash tidak pasti ( nash yang maksudnya dengan cara hypotese ). Sehingga dalam menentukan maksud nash itu bisa kita ambil suatu maksud, sedang lain kita mengambil maksudnya yang lain pula. Hal yang demikian ini bisa terjadi karena suatu kata yang mempunyai dua arti atau lebih ( kata Homonim ); atau faktor lain, yaitu kadang – kadang ada kalimat yang ungkapannya umum tapi dapat memungkinkan bermaksud kepada hal – hal yang tertentu; ada pula kalimat yang ugkapannya mutlak ( tidak terikat ), tetapi dapat memungkinkan bermaksud kepada hal – hal yang terikat ( tidak mutlak ).
                       Maka setiap ahli hukum, akan menentukan suatu hukum sesuai dengan pemahaman nash itu terdapat hubungan – hubungan kalimatnya (context–nya). Dan banyak sekali seluk- beluk yang mereka perselisihkan itu, berdasarkan perselisihan mereka dalam memahami nash hukumnya.
Kedua :          Sunnah Rasululah saw belum dikodifikasi, dan kata – katanya belum terhimpun dalam satu koleksi, padahal sedang disebarluaskan kepada semua ummat Islam untuk menjadi pedoman mereka secara merata, dengan cara pemindahan dari mulut ke mulut melalui riwayat dan penghafalan. Karena itu bisa saja terjadi, ahli fatwa yang di Mesir mengetahui Sunnah yang tidak diketahui oleh ahli fatwa yang di Damaskus atau sebaliknya. Maka seringkali terjadi ahli fatwa yang lain yang sebelum berfatwa dia belum mengetahuinya.
Ketiga :          Situasi dan kondisi tempat tinggal mereka itu berlainan, karena itu legislasi yang mereka terapkan berlainan, sesuai dengan ligkungan daerahnya, kemaslahatannya, dan hajat keperluan legislasinya. Karena peristiwa yang dialami oleh Abdullah bin Umar tidak akan sama dengan peristiwa yang dialami Abdullah bin Mas’ud di Kuffah tidak akan sama dengan yang dialami oleh orang yang lain di daerah yang lain pula. Maka sesuai dengan lingkungan yang berlainan itu, berlain pula pandangan dalam memperkirakan kemaslahatan umum di daerah itu, sehingga juga akan berlainan motif legislasi hukumnya.

                                 Sebab tiga faktor itulah, maka fatwa – fatwa sahabat berbeda – beda dalam menentukan hukum suatu kejadian, yang masing – maisng sahabat yang memberi fatwa itu mempunyai dalil yang dibuat patokan fatwanya.
                                 Maka langkah yang mereka ikuti dalam peraturan-peraturan pokok legislasi umum, ialah langkah islam itu sendiri, dengan cara menentukan legislasi hanya menurut keperluannya saja, bukan menentukan legislasi sesuatu yang belum terjadi, dengan cara memperteguh kemaslahatan dan menjaga perkara atau ketentuan yang memudahkan dan memperingan kepada ummat.
Pada masa kekhalifahan demokratis berbagai upaya dilakukan untuk menggali hukum dari suatu kasus. Upaya yang dilakukan antara lain menggali dari sumber hukum Al-Qur’andan sunnah, serta ijtihad para sahabat. Meskipun para sahabat seringkali berbeda fatwa dalam menanggapi suatu kasus, tetapi mereka sepakat bahwa penelitian mereka terhadap hukum itu berdasarkan pada kemaslahatan dan membuang hal – hal yang menimbulkan kerusakan. Dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum yang berlaku bagi masyarakat muslim pada zaman kekhalifahan demoktratis adalah menciptakan kemaslahatan umat dan menjauhi kerusakan.

Fungsi hukum bagi masyarakat muslim pada zaman kekhalifahan demokratis antara lain :
      1.      Menciptakan ketertiban di masyarakat
      2.      Menjaga hak-hak setiap manusia
      3.      Menyelesaikan persoalan-persoalan yang baru muncul (yang pada masa sebelumnya belum ada)




    1.      Faktor terjadinya hukum bagi masyarakat muslim pada masa kekhalifahan demokratis adalah karena pada masa Rasulullah masih hidup, materi-materi hukum yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah hanya menyangkut permasalahan pada masa tersebut, bukan membahas perkara-perkara yang bersifat spekulatif yang kemungkinan terjadi di masa yang akan datang.
     2.      Sumber hukum bagi masyarakat muslim pada masa kekhalifahan demokratis adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad para sahabat.
     3.      Otoritas pembuat hukum pada masa tersebut adalah dewan legislatif yang juga merupakan ahli-ahli fatwa dinilai dari segi intelektualitas, seringnya bergaul dengan Rasulullah, dan pernah diajak bermusyawarah oleh Rasulullah ketika beliau berijtihad manakala tidak turun ayat ketika terjadi suatu persoalan.
   4.      Tujuan hukum bagi masyarakat muslim pada masa kekhalifahan demokratis adalah untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindari kerusakan.
    4.      Fungsi hukum bagi masyarakat muslim pada masa kekhalifahan demokratis antara lain untuk menciptakan ketertiban di masyarakat, menjaga hak-hak setiap manusia, menyelesaikan persoalan-persoalan yang baru muncul (yang pada masa sebelumnya belum pernah ada).


M. Daud Ali Raja. 1996. Hukum Islam (pengantar ilmu hukum dan tata hukum di Indonesia). Jakarta: Grafindo Persada.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Sejarah Legislasi Islam (Perkembangan Hukum Islam). Surabaya : Al-Ikhlas.
Hanafi. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Noormatdawam, M.. 1983. Lintasan Sejarah Pembentukan dan Pembinaan Hukum Islam. Yogyakarta: Bina Usaha Yogyakarta.

0 komentar:

Post a Comment