Puji syukur kami ucapkan kepada Allah swt
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayahNya sehingga makalah dengan
tema Feminisme ini dapat tersusun dengan lancar.
Atas
dukungan moral maupun materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka
kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Saiffudin, S.H.I., M.H.
selaku Dosen Pembimbing mata Filsafat Ilmu.
2. Teman-teman Prodi Hukum Ekonomi
Syariah kelas A.
Harapan kami semoga makalah yang kami susun ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari
sepenuhnya bahwa makalah yang kami susun ini masih terdapat kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar
kami dapat menyempurnakan makalah ini.
Yogyakarta,
22 Mei 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Feminisme
2.2 Dari Orientalisme
hingga Feminisme Islam
2.3 Perempuan, Modernitas, dan Perubahan Sosial
2.4 Feminisme Islam dan Kekecewaannya
BAB III PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kata feminism dikenalkan pertama kali oleh aktivis sosialis
utopis, Charles Fourierpada tahun 1837. Kata feminisme dipergunakan
bentuk bahasa Inggrisnya pada tahun 1890 untuk menunjukan perjuangan kaum
perempuan dalam rangka meraih kesempatan yang sama. Feminisme sebagai filsafat dan
gerakan lahir di era pencerahan eropa, dipelopori pemikiran Lady Mary Wortley
Montagudan Marquis De Condorcet yang menginginkan pendidikan untuk
perempuan. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan
di Middleberg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785.
Menjelang abad 19 feminisme menjadi gerakan yang cukup
mendapat perhatian dari para perempuan kulit putih Eropa. Mereka memperjuangkan
apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Pergerakan di
pusat Eropa kemudian berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak buku John
Stuart Mill “The Subjection of Woman” (1869) diterbitkan.
Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme gelombang pertama.
Gerakan ini memang diperlukan pada saat itu, saat kebebasan perempuan
dipasung. Perempuan dirugikan dalam segala bidang dan dinomorduakan oleh laki-laki
dalam masyarakat yang patriarkal. Dalam pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih
politik perempuan memiliki akses yang sangat kurang dibanding laki-laki.
Apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan
kaum laki-laki bebas di luar rumah dan kaum perempuan terkurung di dalam.
Situasi ini baru mulai berubah dengan datangnya era liberalisme di Eropa dan
meletusnya Revolusi Prancis di abad ke-18 yang gemanya menyebar ke seluruh
dunia. Waktu itu, seperti sekarang fundamentalisme agama juga cenderung
menindas kaum perempuan. Gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua
jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Bahkan kotbah-kotbah mimbar
menempatkan perempuan sebagai makhluk yang harus “tunduk kepada suami”.
Dengan latar belakang demikianlah di Eropa berkembang
gerakan untuk “menaikkan derajat kaum perempuan” tetapi gaungnya kurang keras.
Baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial politik, perhatian
terhadap hak-hak kaum perempuan mulai meningkat. Pada tahun 1792 Mary
Wollstonecraft memberikan “A Vindication of the Rights of Woman”, yang
menjadi pondasi prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Apa pengertian feminisme?
b.
Bagaimana sejarah feminisme Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Feminisme
Menurut
David Jary, Feminisme merupakan sebuah gerakan atau praktek sosial politik yang
memiliki tujuan untuk membebaskan kaum perempuan dari supremasi dan eksploitasi
kaum laki-laki. [1]Supremasi
dan eksploitasi merupakan apa yang dalam wacana feminisme sering disebut dengan
kekuasaan patriarkhi. Kata patriarkhi sendiri berasal dari kata latin atau
Yunani “pater” yang artinya bapak, dan “arche” yang artinya kekuasaan.
Patriarkhi merupakan sistem struktur atau praktek sosial dimana laki-laki
mendominasi, menekan dan mengeksploitasi perempuan. [2]Dalam
segala bidang laki-laki menjadi pusat (androsentris) dan perempuan
dimarginalkan. Patriarkhi merupakan dominasi atau kontrol laki-laki terhadap
perempuan atas badan, seksual, pekerjaan, peran dan statusnya dalam keluarga
atau masyarakat[3].
Gerakan
Feminisme dalam dunia islam sudah diawali sejak akhir abad ke XIX dengan
gagasan emansipasi yang dicanangkan dan dipelopori oleh
tokoh-tokoh pemikir islam Mesir, seperti Rifa’ah al-Tahtawi, Qasim Amin, dan
Muhammad Abduh dengan menyerukan perlunya pemberdayaan kaum perempua dan
memberikan kesempatan pada mereka untuk mengungkapkan partisipasi sosial mereka
sebagai bagian dari perjuangan untuk memajukan umat islam. Dengan disemangati
oleh kemajuan peradaban Eropa, ketiganya mendorong dilakukannya hal yang bisa
mengantarkan pada kebangkitan kaum perempuan di dunia Islam. Gagasan ini
menjadi bagian dari upaya yang dilakukan untuk mengkampanyekan kesesuaian islam
dengan nilai-nilai modern.[4]
Sejalan
dengan itu pula, Budhy Munawar Rachman menjelaskan bahwa istilah Feminisme di
duina islam kemungkinan besar sudah muncul sejak awal abad XX. Hal ini
berkembang melalui pemikaran tokoh-tokoh feminis seperti Aisyah Taymuniyah,
Zaenab Fawaz (seorang penulis dan penyair Mesir), Rokeya Sakhwat Hosein, Nazar
Sajjad Haidar(dua orang esais dari Lebanon), Emilie Ruete (dari Zensibar), Taj
as-Salthanah (dari Iran), Huda Sya’rowi, Malak Hifni Nasir, Nabawiyah Musa
(tiga orang Feminis dari Mesir), Fatmi Aliye (dari Turki), termasuk R.A.
Kartini (dari Indonesia). Mereka semua adalah para perintis dalam menumbuhkan
kesadaran atas persoalan sensitif gender, termasuk dalam menentang kultur dan
ideeologi masyarakat yang ingin mengekang atau mengabiri kebebasan kaum
perempuan.[5]
Dari
beberapa uraian di atas dapat dipahami bahwa kemunculan dari berbagai gerakan
pembebasan perempuan tersebut telah mendorong munculnya konsep tersendiri
mengenai feminisme dalam islam. Dalam konteks inilah dapat dijelaskan bahwa
gerakan feminisme islam merupakan upaya pembebasan perempuan yang di dasar atas
nilai-nilai dan tradisi islam.
2.2 Dari Orientalisme hingga Feminisme Islam
Di antara semua agama ‘timur’, hanya masyarakat Islam saja yang
telah dikonsepkan hampir sempurna berkenaan dengan peranan
determinative agama. Hanya Islam saja dalam versi orientalisnya, agama benar
benar tampak sebagai sebuah organisasi yang mengatur dan
meliputi . seluruh aspek kehidupan masyarakat. Farsoun dan Hajjar mengemukakan
bahwa, walaupun semua agama tradisional yang tiga, Yahudi,
Kristen, dan Islam dapat dikatakan telah memberikan blueprint
(cetak biru) bagi tatanan sosial, tetapi ‘masyarakat kristiani tidak dianalisis
sebagai masyarakat kristiani’. Israel biasanya dianalisis sebagi
masyarakat sekuler, meskipun seringkali disebut sebagai Negara Yahudi.
Sejarah timur tengah saja yang biasa dipandang sebagai sejarah Islam, dan Islam saja
yang memiliki warna kehidupan yang statis, abadi, tidak terpengaruh oleh
perubahan sosial. Kecuali barangkali, sebab faktor-faktor eksternal, seperti
hubungannya dengan barat (Farsoun dan Hajjar, 1990: 164).
Agama
juga memainkan peranan otoritatif dalam menjelaskan status perempuan dalam
masyarakat muslim. Sejatinya, penindasan terhadap perempuan muslim menjadi pusat apa yang diidentifikasi oleh Edwar Said sebagai
orientalisasi timur tengah. Artinya, representasi pihak timur sebagai lawan
eropa - satu perbedaan yang mempertentangkan antara barat dan timur.
Trend
anti-orientalis memperoleh sambutan di kalangan para sarjanawan timur tengah dan sarjanawan
tentang kajian-kajian gender dalam islam. Para feminis yang menganalisis
diskursus kolonial mengemukakan sebuah argument hegemonik tandingan sambil mengklaim,
misalnya bahwa kuatnya praktik-praktik seperti cadar, dan pemisahan serta
pengasingan berdasrkan jenis kelamin – simbol paling dominan perlakuan tidak adil
islam terhadap perempuan – pada kenyataannya terkait erat dengan kehadiran
penjajah di wilyah itu, setidaknya dalam masyarakat islam seperti Iran, Mesir, dan Algeria. Sebagian
kajian-kajian ini juga menolak adanya pengaruh positif kapitalisme eropa dalam
meningkatkan aktivitas-aktivitas ekonomi perempuan. Mereka menyatakan, misalnya
bahawa dengan mengurangi aktivitas-aktivitas ekonomi seperti produksi tekstil
buatan tangan, kapitalisme Eropa, pada kenyataannya telah
menyakiti para pekerja perempuan di sepanjang wilayah itu (L. Ahmad, 1992;
Cole, 1981; hatem, 1986; Keddie dan Bonnie,1981; Sayigh, 1981; Smith, 1984).
Kolonialisme,
menurut para feminis, dengan menjadikan perempuan muslim dan hak-hakya sebagai titik sentral bagi
kebijakan imperialis di Timur Tengah, telah semakin mereduksi identitas
perempuan muslim pada batasan tingkah laku dan keberadaanya di wilayah-wilayah
islam yang terjajah. Melindungi perempuan dari pandangan Barat dan menjaga
tubuh dan pikiran mereka dari perubahan yang ditimbulkan oleh interfensi asing,
kehormatan masyarakat serta kelangsungan sosial dan kultural. Ironisnya, pada
sisi ini kebijakan-kebijakan gender penjajah yang ‘memberadabkan’
dan’membebaskan’ barangkali telah terbukti kontra produktif, karena memunculkan
lebih banyak resistensi,dan bukan sebaliknya.
Seiring
dengan kemenangan politik yang diraih oleh fundamentalisme Islam pada akhir
1970-an, dan awal 1980-an serta perkembangan-perkembangan dalam ranah politik
yang menyertainya, sebuah gelombang Islamfobia baru telah melanda Barat.
Saat itu merupakan masa-masa yang sulit. Revolusi Iran pada 1979 melawan Shah
dan pembunuhan terhadap Presiden Anwar Sadat di Mesir dua tahun kemudian, telah
menggulingkan dua sekutu ‘modern’ Barat yang berkuasa di wilayah itu. Dua
peristiwa tersebut merupakan hasil perjuangan para Islamis, atau setidaknya
hasil intervensi para Islamis.
Berusaha
untuk menghapuskan masa lalu kolonialnya, Barat tampaknya berusaha keras
menjelek-jelekkan orang-orang Muslim dan Arab atas apa yang dianggap sebagai
pembeda paling utama mereka dengan Barat, yaitu politik dan praktik gender
‘Islam’. Sekali lagi, ketidak adilan terhadap perempuan dan pakaian aneh merka
menjadi unsur utama dalam diskursus-diskursus mengenai Timur Tengah, sekaligus
menjadi bukti kuat bagi kemerosotan moral, kultural, dan politik dunia Islam.
Cadar dan pemisahan antara laki-laki dan perempuan di wilayah publik di Iran
dan sejumlah kecil masyarakat Islam lainnya memuat stereotip yang
merendahkandan penggambaran yang mengeneralisasi orang-orang Muslim dan Arab
secara umum menjadi masuk akal. Diskusi-diskusi yang hanya membenarkan diri
sendiri mengenai sikap hegemonik Barat menjadi penyulut terjadinya rasisme
setiap hari serta agak mengurangi rasa malu Barat sebagai penjahat yang kejam.
Secara
umum kajian-kajian tentang perempuan di Timur Tengah bergerak dalam arah yang
benar menuju kepada sebuah pemahaman
yang lebih terarah dan sensitif tentang kompleksitas kehidupan
perempuan, sambil penggambaran representasi Kolonialis dan Eurosentris yang
egois mengenai perempuan dalam masyarakat islam. Namun saya hendak mengemukakan
bahwa hal tersebut tidak dipengaruhi dengan perhatian yang cukup pada bahaya
yang melekat pada peranan institusi dan praktik hukum dalam memelihara, setelah
berabad-abad lamanya, tatanan patriarkal tertentu yang membatasi kehidupan
perempuan dalam masyarakat islam. Namun, betapa pun briliannya sejumlah kajian ini,
mereka sering kali terjerumus ke dalam sikap defensif dan keras kepala ketika berhadap-hadapan dengan islam dan
perlakuannya terhadap perempuan. Dalam keinginan mereka untuk menghormati hak
perempuan muslim yang sebelumnya terbelenggu dan disalah tafsirkan, untuk bersuara
pada diri mereka sendiri dan menghilangkan gambaran tentang diri mereka sebagai
yang ditindas, dibungkam, dan dipasung, tulisan-tulisan ini menghadirkan sebuah
gambaran menyenangkan tentang kehidupan perempuan di dalam masyarakat islam
yang sedikit sekali bersesuaian dengan realitas.
Sebagai
alternative bagi gambaran tentang perempuan Islam sebelumnya yang lebih
bersifat pasif, sebuah gagasan baru dikontruksikan. Jika sebelumnya perempuan
muslim hanya dipandang sebagai para korban kekerasan laki-laki, sekarang mereka
direpresentasikan sebagai warga negara yang berpikiran mandiri,
memilki kesadaran gender dan berperan aktif dalam kehidupan sosial dan politik
masyarakat mereka; mereka telah mengadopsi cadar sebagai tindakan berani untuk
menentang kecurangan sosial ekonomi pasar yang berorientasikan pada Barat dan
konsumerisme (Abu-Odeh, 1992); dan mereka menentang kekuasaaan
hegemonic para ulama dalam menafsirkan teks-teks suci (Najmabadi, 1995).
Anjuran kembali kepada islam akan menjamin hak-hak perempuan dalam pernikahan
dan keluarga serta dalam mengatur harta mereka sendiri (Haddad, 1994).
Perubahan semacam itu telah menjadikan perempuan sebagai protagonis
(berkarakter baik) dalam drama kehidupan mereka sendiri (Haeri, 1950).
Karenanya, perempuan muslim menjadi model perempuan merdeka yang sama sekali
tidak teracuni oleh barat bagi seluruh perempuan masyarakat ini (Tohidi, 1994).
Paling
banter, kajian-kajian ini menjadi potret utama dari kehidupan perempuan yang
lebih luas, seringkali bermasalah dan tentunya multi dimensional
dalam masyarakat islam, yang justru semakin menguat, khususnya dalam masyarakat
dimana fundamentalisme tidak semata-mata menjadi sebuah ideology tandingan,
tetapi juga sebuah kebijakan yang dideklarasikan dengan tugas dan diimplementasikan dengan paksa
oleh negara.
Tentunya,
untuk lebih memahami situasi perempuan dalam masyarakat islam, kita harus
melihat pengalaman personal mereka dan suara-suara mereka sendiri. Juga benar
bahwa banyak perempuan yang karena beragam alasan telah mampu memanfaatkan cadar untuk meruntuhkan
rintangan-rintangan bagi partisipasi mereka dalam wilayah public dalam
masyarakat islam yang sebelumnya tertutup bagi mereka. Tetapi, ketika
mengabsahkan ’persepsi-persepsi diri perempuan dan mendengarkan suara mereka
sendiri’, hanya suara kelompok tertentu saja yang didengar dan suara-suara ini
kemudian disampaikan oleh pemilik kekuasaan sebagai ungkapan bulat dari
masyarakat islam. Lebih buruk lagi keadan-keadaan perempuan ini dan alasan-alasan
praktis dan absah dibalik suara-suara mereka tidak
membangkitkan gairah untuk melakukan kajian lebih lanjut atau kajian yang lebih
menyeluruh.
2.3 Perempuan, Modernitas, dan Perubahan Sosial
Kelompok feminis telah lama
menyatakan bahwa hasil modernitas, bersamaan dengan seperangkat gagasan dan
pandangan dunia yang dikenal dengan pencerahan, adalah paradoksal bagi
perempuan. Pengakuan akan kebebasan individual, apakah didefinisikan sebagai
kebebasan dari ‘dogma dan intoleransi’ dan dari institusi-institusi
religius yang memungkinkan manusia baru ‘yang rasional dan ilmiah’ meneliti misteri-misteri alam
(Hall, 1996: 603), ataukah ‘kebebasan dari rasa takut, keinginan dan
perubahan-perubahan alam’, merupakan suatu pencapaian manusia yang memungkinkan
setiap individu dapat bekerja ‘dengan bebas dan kreatif demi emansipasi
manusiawi dan kehidupan sehari-hari yang makmur’ (Harvey, 1990:12). Akan tetapi
pembelaan terhadap kebebasan individual membutuhkan pengakuan akan ‘hak-hak’
individual vis a vis negara, termasuk hak akan privasi dan kekayaan
pribadi yang harus dilindungi oleh negara.
Beranggapan bahwa Revolusi
Perancis, termasuk gagasan-gagasan revolusioner tentang kesetaraan, adalah juga
proyek-proyek maskulin, para feminis menyoroti sifat diskriminatif, male-centred,
dan Eurosentris dari gerakan itu.
Melalui sikap rasialnya terhadap
manusia dan karena sikap diskriminatifnya terhadap perempuan, gagasan hak-hak
politik dan kesetaraan hanyalah angan-angan saja dan kontradiktif.
Kewarganegaraan penuh tidak diberikan kepada perempuan, masyarakat Afrika yang
merdeka dan masyarakat jajaran lainnya. Perempuan dinyatakan sebagai bukan
warga negara. Partai-partai politik mereka dibubarkan (Kandall, 1998; Tijssen,
1991).
Modernitas telah menciptakan manusia modern dan
meninggalkan perempuan di belakang. Karenanya, modernisme dan modernitas
merupakan proyek-proyek semu. Ia menjanjikan manusia yang
sempurna, tetapi sayangnya janji itu kemudian diingkari.
Dampak kapitalisme dan industri
modern bagi perempuan diyakini juga ambigu. Kapitalisme maju melalui
komersialisasi aktivitas produktif manusia. Ia melakukan rasionalisasi pasar,
memisahkan yang domestik dan pribadi dari yang publik dan sosial. Pada saat
yang sama dorongan kuat akan keberhasilan telah mengabaikan gagasan-gagasan
tradisional tentang penghasilan keluarga yang bertumpu pada laki-laki
serta memaksa perempuan (dan anak-anak) dari kelas bawah-dan selanjutnya
sejumlah kalangan perempuan kelas menengah-untuk bekerja. [6]
Dalam
beberapa hal, kapitalisme telah membuka kesempatan-kesempatan baru bagi
perempuan -termasuk kemungkinan- untuk eksis di luar keluarga dan menentang
dominasi patrialkal seorang laki-laki. Tetapi pemerintahan burjuis tidak menentang patriarki
atau kekuasaan laki-laki. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin pada masa
pra-kapitalisme mengambil satu bentuk baru. Ia tidak dihapuskan, tetapi dimodernisasi dan digunakan untuk
mengontrol kemampuan produktif dan reproduksi perempuan. Patriarki mendahului
kapitalisme. Tetapi, majunya industri modern tidak serta merta, Marx dan Engels
mengatakan, menciptakan satu pasukan proletariat yang tidak mempedulikan jenis
kelamin dan ras. Bahkan, menurut Janet Sayers, banyak para feminis yang
berpendapat bahwa Engels ‘terlalu optimis’. Dalam analisisnya bahwa keluarga
akan berubah dan kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan akan tercapai
melalui kemajuan teknologi dan transisi menuju sosialisme (Sayers, 1986:
57-58).
Untuk mengkonter teorisasi tentang
Timur Tengah yang hanya menyoroti penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki
Muslim, adalah penting untuk mengungkapkan aspek-aspek kehidupan perempuan yang
telah diabaikan atau dijauhkan dari wilayah penelitian. Lebih penting lagi,
pertentangan antara dominasi terhadap perempuan dan resistansi perempuan
atasnya harus diakui dan dinilai. Menurut Lazreg, kita perlu melihat kehidupan
perempuan, walaupun dalam kesengsaraan, sebagai sesuatu yang “kita” masukkan ke
dalamnya kesengsaraan dan kesedihan. Penting juga untuk menyoroti keadaan bahwa
‘orang lain, baik perempuan maupun laki-laki, sama-sama memiliki hak, seperti
kita, atas kemanusiaannya yang diungkapkan dalam cara kulturalnya’ (Lazreg,
1990: 339).
Bagi Majid, solusi islam merupakan
satu-satunya solusi. Dia berpendapat bahwa para intelektual sekuler Timur
Tengah telah terpengaruhi oleh ‘prasangka-prasangka orientalis’ (Majid, 1998:
353); analisis-analisis kritis tentang konsep hak-hak manusia dan demokrasi
oleh para sarjanawan feminis seperti Fatima Mernissi dan Elizabeth Mayer ‘tidak
banyak berguna’, sebab mereka menganut sebuah gagasan burjuis tentang demokrasi
dan kemerdekaan individu, sekaligus menerima ‘definisi burjuis tentang
demokrasi dan kemerdekaan individu’ (Majid, 1998: 328, 346). Perempuan Iran yang
menolak penerapan aturan pakaian islami hanyalah ‘perempuan kelas atas yang
mengikuti trend gaya internasional’ (Majid, 1998: 338). Majid menyanjung keterwakilan
dan pemberdayaan perempuan dalam satu wilayah terlindungi dan terbatas, dia
mengabaikan wilayah-wilayah yang lebih penting, struktur-struktur
sosio-kultural yang lebih luas dan instistusi-institusi religius dan
politico-legal yang di dalamnya perempuan kehilangan keterwakilan dan setiap
kesempatan bagi perubahan yang berarti. Dia membenarkan sikap brutalisme
sistematis terhadap perempuan dalam negara Islam idealnya, Iran dan tentu saja
dia harus menyerang mereka yang tidak percaya pada ‘solusi islam’.
Majid menawarkan sebuah ‘jalan
ketiga’ yang ‘mensintesiskan’ ‘ideologis-ideologi modernis’ dan ‘islam
klerikal’, sekaligus dengan tawaran ini, menjadikan Islam, sebagai ‘demokrati,
anti-patriarkal dan anti-imperialis’, didasarkan pada ‘status yang setara dan
kontribusi dinamis perempuan dan pemberian hak-hak penuh pada kelompok-kelompok
minoritas’ (Majid, 1998: 324-325). Bagaimana kemudian merekonsiliasikan
pandangan ini dengan dukungan Majid terhadap rezim-rezim fundamentalis, seperti
Republik Islam Iran, yang diklaimnya merupakan pusat ‘berkembangnya perdebatan
intelektual tentang bagaimana cara menentang hukum-hukum yang represif dalam
tradisi Islam sendiri’ (Majid, 1998: 355).
Feminisme seperti gerakan-gerakan
ideologis dan sosial lainnya, memiliki sifat terbuka. Ia mengambil beragam bentuk ketika berartikulasi dengan
beragam sistem sosial, ekonomi, dan kultural serta tingkat-tingkat perkembangan
sistem-sistem tersebut. Apakah hal ini menyebabkan kita harus menolak klaim-klaim universal bagi feminisme
atau tujuan-tujuan dan srategi-strategi feminis? Tidak benar bahwa gender
adalah dasar umum yang mengikat seluruh perempuan secara bersamaan. Para
feminis sejak lama telah menerima kenyataan bahwa pengalaman gender perempuan
selalu dipengaruhi oleh kelas, ras, seksual tertentu serta lokasi nasional
mereka. Menurut diantaranya, Linda Nicholson dan Steven Seidma, identitas-identitas
adalah beragam, dapat berubah dan saling berkaitan,
tidak ada pengalaman perempuan yang terpisah dan berdiri sendiri yang dapat
ditandai dan diperkirakan sebagai landasan politik feminis. Dengan menunjukkan batasan-batasan
sebuah epistimologi feminis yang mengakar dalam sebuah konsep identitas
perempuan yang mendasar, Nicholson dan Seidman berpendapat bahwa epistimologi
semacam itu bersifat normatif dan ekslusif karena ia tidak dapat mengungkapkan seluruh pengalaman
perempuan (Nicholson dan Seidman, 1995: 27-28).
2.4 Feminisme Islam dan Kekecewaannya
Pada
1990-an, feminisme memperlihatkan suatu keinginan baru dan
menggembirakan untuk melakukan kritisisme. Usaha-usaha menuju
pada teori –teori dan konsep-konsep yang mencakup segala hal dan komitmen-komitmen
ideologis sebelumnya untuk menguniversalkan perspektif-perspektif dari apa
yang selalu berubah menjadi sekedar sebuah kelas, kebudayaan, ‘ras’tunggal
dan tertentu telah mencapai titik nadirnya. Sebaliknya, setidaknya dalam teori,
dengan lebih melibtakan seluruh perempuan melalui penerimaan akan keberagaman
identitas dan harga diri masing-masing perempuan, kelomok feminis terdorong untuk menghormati perbedaan, menegaskan kekhasan masing-masing
pengalaman dan perjuangan perempuan dan membenarkan pemahaman-diri dan
analisis-diri yang dibangun masing-masing. Saat ini,
feminisme semakin berkembang dan melibatkan banyak
aliran, baik konservatif dan radikal, religius dan atheis, heteroseksual
dan non-heteoseksual, kulit putih dan non-kulit putih, parsial dan holistik, individualistik dan sosial; dan para feminis banyak
bermunculan dari utara dan selatan. Jadi, pertanyaan apakah kita dapat menegaskan sebuah
aliran feminisme baru yang mengidentifikasi dirinya sendiri
atau diidentifikasi oleh yang lainnya sebagai ‘feminisme islam’ agaknya tidak
diperlukan.
Islam dapat didamaikan dengan
feminisme hanya ketika identitas islami atau muslim direduksi pada persoalan
afiliasi spiritual dan kultural semata, sebab perubahan bernilai apapun dalam
perlakuan kepada perempuan dalam masyarakat islam harus diawali dengan
pengakuan terhadap perempuan sebagai warga negara penuh yang bebas, meliputi
kesetaraan hukum bagi perempuan baik dalam hukum keluarga dan hukum sipil
lainnya. Jika kita sepakat bahwa, seperti dikemukakan oleh Chantall Mouffe, politik feminis merupakan
‘pengajaran cita-cita feminis’ yang harus ada dalam ‘transformasi seluruh
diskursus, praktik dan relasi-relasi sosial
dimana kategori “perempuan” dikonstruksi dalam sebuah cara yang melibatkan
subordinasi (Mouffe, 1995:329), feminisme islam sebagai sebuah alternative
bagi feminisme yang berbasiskan eropa tidak akan membantu kita
untuk mentransformasikan seluruh relasi-relasi dan struktur-struktur
subordinasi. Artinya, perubahan dalam
masyarakat Islam adalah multi-dimensional. Tetapi
barangkali ia harus diawali dengan rule of law, akuntabilitas negara dan pemisahan negara dari agama. Ini menjadikan
femunisme sebagai sebuah proyek praktis yang benar-benar tidak adapat dipahami
alam kerangka hukum, politik dan moral dari fundamentalisme Islam. Sebab dalam
sebuah rezim, fundamentalisme, tanda-tanda keterkaitan tidak pernah cukup;
pokok-pokok keyakinan diletakkan sebagai aturan-aturan dan mereka harus ditaati.
Ada campur tangan kekuasaan negara. Unsur pokok ini lebih
sering terlupakan dalam diskursus kelompok feminis ‘islam’.
Tidak mengherankan, ini merupakan isu yang
diperdebatkan. Para sarjanawan yang memiliki antusiasme tinggi dengan feminism
Islam seringkali melupakan perbedaan penting antara islam sebagai sistem hukum
dan politik serta islam sebagai petunjuk spiritual dan moral. Untuk mengambil
contoh mengeni sikap semacam itu, kita dapat memperhatikan Afsaneh Najmabadi,
seorang pendukung feminism Islam terkemuka cukup bijak, Najmabadi mengawali dengan
pengakuan strategis akan monopoli ideologi yang diajalankan oleh para ulama
Iran, yang akibatnya dia menyatakan bahwa dalam isu-isu mengenai
perempuan, feminism dan pemikiran islam direpresentasikan sebagai dua sudut
pandang yang berbeda, tidak saling membutuhkan dan bertentangan. Tetapi, polaritas ini,
terlalu berlebihan. Berusaha menarik perhatian kita pada kekuatan baru yang
diekspresikan oleh perempuan Iran, Najmabadi mengklaim bahwa kekuatan
besar ini, yang menurutnya begitu ‘bersemangat’ dan ‘menggembirakan’, tidak
boleh dilihat sebagai sebuah respon kebencian terhadap kebijakan-kebijakan yang
mengabaikan perempuan dari republik Islam Iran, tetapi sebaliknya,
harus dipandang sebagai hasil positif dari berkuasanya para Islamis. Sebab,
suara-suara baru yang begitu bersemangat dan menggembirakan
itu adalah para perempuan yang, sebelum revolusi, telah terpinggitkan dari
kancah politik dan dan budaya Iran - perempuan muslim yang saat ini menemukan jalan mereka menuju
sebuah feminisme Islam yang otentik (Najmabadi, 1995).
Bahkan, dengan
transformasi gagasan-gagasan dari rezim yang baru tentang perempuan dan
feminitas, para perempuan taat yang sebelumnya terkucilkan ini, sejalan dengan
gagasan-gagasan kelompok fundamentalis ‘telah berusaha menjadikan kehidupan
sosisal lebih ‘terbuka bagi perempuan’
(zhan-shormoul). Untuk memperkuat argument ini, Najmabadi menjadikan
jurnal Zanan sebagai forum yang ‘telah memberikan kesempatan historis penting
bagi dialog antara kelompok feminis muslim dan non-muslim, sekuler dan religius’, dan kemudian- melalui
pembacaan dan penulisan kembali konsep-konsep Islam yang dituangkan dalam bentuk
artikel-artikel dalam jurnal Zanan- dia menyimpulkan bahwa diskriminasi jenis
kelamin tidak berasal dari Islam, tetapi hasil ‘miskonsepsi-miskonsepsi’ yang
mengakar secara historis. Mengajak para pembaca untuk melakukan rekonstruksi terhadap
kategori-kategori seperti kemerdekaan, kebebasan, dan hak-hak
perempuan untuk memilih, tetapi senantiasa ‘dalam kerangka islam’, Najmabadi
meyakinkan kita bahwa konsep-konsep semacam itu dapat dijadikan isu ‘sentral’ bagi tulisan-tulisan feminis
tentang perempuan dan feminitas sekaligus memberikan ‘landasan subur’ bagi dialog, kerjasama dan
solidaritas (Najmabadi, 1995: 182, 195). Berdasarkan ini (yaitu, berdasarkan kapitulasi
oleh para feminis sekuler terhadap tuntutan-tuntutan teks keagamaan),
pertentangan antara ‘feminisme’ dan ‘islam’ dapat direkonsiliasikan.
Seseorang dapat dengan logis berharap bahwa
pembacaan ulang terhadap syariah dan teks-teks suci yang lainnya dari sebuah
perspektif feminis, harus ditujukan untuk menunjukkan batasan-batasan yang
disediakan oleh syariah sebagai sebuah kendaraan yang dipilih untuk mengubah
tatanan gender. Persoalan yang menyertai sebagian besar usaha pembacaan ulang (dengan sedikit pengecualian,
seperti pembacaan ulang Fatimah Marnissi) adalah diawalinya usaha-usaha ini
dengan asumsi lemah bahwa seluruh proyek dan diskursus sekuler telah mengalami kegagalan;
dan akibatnya diskursus gender harus menjadi sebuah diskursus Islam. Usaha-usaha
ini melibatkan penerimaan terhadap gerakan dan rezim fundamentalis Islam sebagai
satu-satunya masa depan yang dapat diterima bagi masyarakat timur tengah tempat
kelompok fundamentalis sekarang berkuasa. Dengan demikian, ‘feminisme Islam’
dianut dengan antusias yang timbul akibat pesimisme yang paling dalam mengenai
prospek-prospek perubahan.
Perbaikan-perbaikan
dalam kesetaraan relasi-relasi gender hanya akan terwujud ketika perempuan
telah mengamankan ruang yang mereka butuhkan untuk mengartikulasikan
diskursus-diskursus oposisional dan politik konter-kultural. Pencapaian semacam
itu, sebaliknya tergantung pada eksistensi ‘ruang publik’ –apa yang oleh Nancy
Fraser disebut dengan ‘konter-publik’ bawahan-, yang akan memungkinkan
perempuan, bersama dengan kelompok-kelompok sosial yang tersubordinasikan
lainnya, ‘untuk memformulasikan penafsiran-penafsiran oposisional akan
identitas, kepentingan dan kebutuhan mereka’ (Fraser, 1995: 291). Tentunya
sebuah pemerintahan religius menghalangi pembangunan semacam itu. Ia
menegasikan aspek terpenting dari kesetaraan, kesetaraan di hadapan hukum,
sekaligus menetapkan bagi warga negaranya agama dan tatanan sosial yang
berbasiskan agama, dan mengabaikan atau menindas para non-Muslim dan para
penentang lainnya. Pemerintahan teokratik selalu otoritarian. Dengan memonopoli
‘arena diskursif’ untuk menciptakan, mengembangkan, dan menyebarkan nilai-nilai
kultural, sosial dan politik, pemerintahan islam juga menutup kesempatan bagi
perempuan untuk menformulasikan ‘diskursus tandingan’, menyandingkan dan
mensubordinasikan kembali setiap penentangan politis, mempersempit kebebasan
perempuan dan menyebarkan apa yang dijadikannya sebagai ‘kebenaran tunggal’.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
1) Feminisme merupakan sebuah gerakan
atau praktek sosial politik yang memiliki tujuan untuk membebaskan kaum
perempuan dari supremasi dan eksploitasi kaum laki-laki. Supremasi dan
eksploitasi merupakan apa yang dalam wacana feminisme sering disebut dengan
kekuasaan patriarkhi. Patriarkhi merupakan sistem struktur atau praktek sosial
dimana laki-laki mendominasi, menekan dan mengeksploitasi perempuan.
2)
Gerakan Feminisme dalam dunia islam sudah
diawali sejak akhir abad ke XIX dengan gagasan emansipasi yang dicanangkan dan
dipelopori oleh tokoh-tokoh pemikir islam Mesir. Gagasan ini menjadi bagian
dari upaya yang dilakukan untuk mengkampanyekan kesesuaian islam dengan
nilai-nilai modern.
3) Berdasarkan perhitungan oleh para
feminis sekuler terhadap tuntutan-tuntutan teks keagamaan, pertentangan antara
‘feminisme’ dan ‘islam’ dapat dipersatukan.
4) Pembacaan ulang terhadap syariah
dan teks-teks suci yang lainnya dari sebuah perspektif feminis, harus ditujukan
untuk menunjukkan batasan-batasan yang disediakan oleh syariah sebagai sebuah
kendaraan yang dipilih untuk mengubah tatanan gender.
DAFTAR PUSTAKA
Maufur, M.. 2004. Feminisme dan Fundamentalisme Islam. Jakarta: Lkis
Yogyakarta.
Irsyadunnas. 2014. Hermeneutika Feminisme: dalam Pemikiran Tokoh Islam
Kontemporer. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.
Baca Juga: 5 Komponen Religi
[1][1] Dikutip oleh
Ahmad Baidawi dari David Jary and Julia Jary, Collins Dictionary of Sociology
(Glasgow: Harper Collins Publisher, 1991), 223-224.
[2] Lihat Sylvia
Walby, Theorizing Patriarchy (Basil Blackwell Ltd, 1990),20.
[3] Baca Ahmad
Baidawy,”Tafsir Feminis”, 48.
[4] Ibid, 51
[5] Baca Budhy
Munawar Rahman,”Islam Dan Feminisme : Dari Sentralisme Kepada Kesetaraan,”
Dalam Membincang Feminism Diskursus Gender Perspektif Islam, ed. Mansur Faqih
(Surabaya : Risalah Gusti, 1995), 201.
[6] Para peneliti
tentang perempuan kulit hitam di Amerika menentang gagasan dikotomi
publik/privat dan universalitas bentuk keluarga inti. Pemisahan antara
pekerjaan domestik dan publik semacam itu tidak berlaku bagi perempuan kulit
hitam di Amerika, yang selalu bekerja di ladang, pertambangan, dan perusahaan
dan sebagai para pekerja domestik. Dari sekian banyak sumber, lihat Davic
(1991: 3-29) dan Hill Collins (1991: 46-58)
0 komentar:
Post a Comment