Sejarah Kerajaan Bali

Kerajaan Bali, blogspot.com

BAB II
PEMBAHASAN

     Sejarah kerajaan Bali hingga saat ini kurang dikenal dikarenakan banyaknya prasasti dan lontar yang sampai sekarang masih disimpan, namun tidak dapat diakses. Ini disebabkan masyarakat Bali umumnya tidak mengizinkan prasasti dibaca oleh orang lain, karena mereka percaya bahwa pembacaan tersebut mengakibatkan malapetaka. Tidak jarang pula terjadi bahwa prasasti hanya dapat dibaca bila sebelumnya diadakan uttama ning uttama atau saji-sajian yang tidak dapat ditanggung oleh penyelidik ataupun instansi pemerintah.
     Namun, terdapat beberapa berita asing yang dapat dijadikan sebagai sumber bahwa di Bali pernah berdiri suatu kerajaan. Berita tertua dari bangsa asing satu-satunya berasal dari Bangsa Cina. Di dalam kitab sejarah Tang Kuno disebutkan bahwa Ho-ling  terletak di kepulauan di sebelah selatan. Di sebelah timur terletak Po-li[1], di sebelah barat To-po-teng, disebelah utara Chen-La dan di sebelah selatan lautan.[2]
     Selanjutnya, dikatakan bahwa negeri Dva-pa-tan terletak di sebelah selatan Kamboja, jauhnya dua bulan berlayar. Dva-pa-tan ini ditafsirkan dengan Bali. Dikatakan bahwa Dva-pa-tan terletak di timur Ho-ling dan memiliki adat istiadt yang sama.[3] Namun di kitab Chu-fa-chih bagian Su-chi-tan, Bali dilafalkan dengan Ma-li.
     Berita tertua tentang keadaan Bali dari wilayah sendiri, berupa beberapa buah cap kecil tanpa tahun yang disimpan dalam stupa kecil dari tanah liat. Dituliskan dengan bahasa Sansakerta dan berisi mantra-mantra agama Budha yang memiliki kesamaan dengan Candi Kalasan di Jawa Tengah. Sehingga, bisa disimpulkan ia berasal dari abad VIII Masehi. Berita tertuanya lainnya mengenai Bali berasal dari beberapa buah prasasti berbahasa Sansakerta yang ditemukan di Pejeng. Prasasti ini sudah sangat rusak, sehingga tidak dapat dibaca dengan jelas. Sebuah diantaranya berangka tahun wanadrigajasakabade atau 875 S (953 M). Prasasti ini ditutup dengan perkataan siwamatsu (keselamatan dari dewa Siwa). Di dalam Tugu Belanjong (Sanur) yang berangka tahun sarahwanimurti atau 855 S (933 M).
     Prasasti yang dinilai paling awal adalah prasasti yang berasal dari pura desa Sukawana. Prasasti ini berasal dai tahun 804 S (882 M). Isinya antara lain pemberian izin kepada tiga biksu yang akan membangun pertapaan dan pesanggrahan di daerah perburuan di Bukit Cintamani mmal.[4] Biksu tersebut adalah Sikawangsia, Siwanirmala, dan Siwaprajna. Melihat namanya dapat dipastikan mereka pendeta Hindu golongan Siwa. Prasasti selanjutnya berasal dari tahun 818 S (896 M) yang berasal dari Desa Bebetin. Berisi tentang pemberian izin kepada nanyakan pradhana kumpi[5] dan biksu untuk membangun sebuah kuil untuk Hyang Api di desa Banua Baru, warga desa dibebaskan dari pajak.
     Kemudian prasasti yang berasal dari desa Trunyan berangka tahun 833 S (911 M). Isinya berupa pemberian izin kepada penduduk desa Turunan untuk membangun kuil bagi Bathara Da Tonta. Mereka dibebaskan dari pajak, namun harus memberikan sumbangan untuk kuil tersebut yang diberikan tiap bulan Caitra (Maret-April tahun Masehi) dan bulan Magha  (Januari-Februari dalam Masehi). Prasasti selanjutnya berangka tahun 833 S (911 M) yanga memiliki kemiripan dengan prasasti dari desa Trunyan. Namun, ditambahkan pengaturan untuk warga desa Air Hawang yang tinggal di daerah Turunan sebelah timur danau Batur. Di bulan Bhadrawada, Bathara Da Tonta harus dihormati, dimandikan, dibedaki kuning, dihiasi cincin permata dan sebagainya. Di akhir prasasti dimuat kutukan untuk mereka yang melanggar ketentuan tersebut.
     Masih terdapat dua prasasti sejenis namun tidak memuat angka tahun. Salah satunya tidak dapat dapat disalin karena rusak parah, dikenal dengan nama Angsari. Sisanya berangka tahun 836 S (914 M) yang terdiri hanya satu lempengan saja. Isinya tentang pemberian izin kepada kuil Ida Hyang di bukit Tunggal Paradyan Indrapura di daeah Air Tabar. Batas wilayah, pajak dan warisan ditetapkan oleh pemerintah.
     Prasasti terakhir berasal dari penglapuhan Sighamandawa, dikenal dengan nama Bangli, Pura Kehen. Berupa satu lempengan tanpa penanggalan tahun yang berisi pemberian izin kepada biksu dan warga di Simpat Bunut dibawah menteri kehutanan agar mendirikan pertapaan di kuil Hyang Karimana yang dihubungkan dengan kuil Hyang Api. Batas wilayah dan warisan ditetapkan pemerintah, dibebaskan dari pajak dan biksu yang menjadi anggota desa harus tunduk dengan peraturan desa.
     Selain itu terdapat delapan buah prasasti tipe yumu pakatahu[6] yang menyebut nama Sri Ugrasena dan menyebut panglapuan[7] di Singhamandewa. Prasasti ini berasal dari tahun 837 S – 888 S (915 M – 966 M). Letak Singhamadewa sampai sekarang belum dipastikan. Kemungkinan terletak antara Kintamani (Danau Batur) dan Pantai Sanur, disekitar Tampaksiring dan Pejeng atau dialiran sungai Patanu dan Pakeriskan.[8]


2.2 STRUKTUR KERAJAAN BALI KUNO
     Sejak tahun 835 S (913 M) nama Warmmadewa mulai mucul memerintah di Bali. Keterangan ini diperoleh dari tiga prasasti berbentuk tugu atau pilar yang dipahat dengan tulisan melingkar. Prasasti pertama ditemukan di Belonjong, kedua di Penempahan dan ketiga di Meletgede. Nama raja yang disebut dalam tiga prasasti tersebut adalah Sri Kesariwarmmadewa.
a.    Prasasti Belonjong menggunakan dua bahasa dan dua macam huruf. Bagian yang menggunakan huruf Nagari menggunakan bahasa Bali Kuno dan bagian yang menggunakan huruf Kawi menggunakan bahasa Sansakerta. Berangka tahun 835 S (913 M) dan menyebut musuh-musuh raja yang berhasil dikalahkan, yaitu Gurun dan Suwal. Prasasti ini juga menyebut singhadwalapura yang berarti negara Singhadwala. Prasasti ini juga menyebut kutaraja yang merupakan tempat tinggal raja.
b.    Prasasti Penempahan ditemukan dalam sebuah pura di desa Panempahan sebelah utara Tampaksiring. Angka tahunnya pecah namun bisa dipastikan dari tahun 835 S dan menyebutkan tentang raja Sri Kaisari.
c.    Prasasti Meletgede ditemukan di desa Meletgede, sebelah utara Penempahan. Angka tahunnya dengan jelas disebutkan 835 S. Menyebut kerajaan Sri Kesari dengan istilah parhajyan.
Ketiga prasasti ini disebut jayastambha yang bermakna tugu kemenangan. Bisa disimpulkan bahwa Sri Kesariwarmmadewa merupakan pendiri dari Dinasti Warmmadewa di Bali.[9]
Raja selanjutnya adalah Sri Ugrasena yang memerintah mulai tahun 837 S (915 M). Raja ini memerintah sampai tahun 864 S di istana Singhamandawa. Salah satu prasasti yang meceritakan dirinya adalah Prasasti Buwunan. Isinya berupa perjalanan Ugrasena ke Buwunan untuk memberikan beberapa anugerah.
Setelah mangkat, Ugrasena digantikan oleh Sri Aji Tabenendra Warmmadewa, dimana ia memerintah bersama permaisurinya yang bernama Sri Suhadrika Warmmadewi. Di dalam prasastinya disebutkan bahwa sang ratu sang sidhha dewata sang lumah di Air Madatu (Raja yang wafat dicandikan atau dimakamkan di Air Madatu). Dibandingkan dengan prasasti lain, yang dicandikan di Air Madatu adalah Ugrasena, sehingga bisa dikatakan bahwa Tabenendra merupakan keturunan dari Ugrasena. Tabenandra memerintah sejak 877 S (955 M) – 889 S (967 M). [10]
Namun, di tahun 882 S (960 M) muncul seorang raja bernama Indra Jayasingha Warmmadewa yang berada di tengah-tengah pemerintahan Tabenendra.[11] Keterangan yang didapat dari prasasti tersebut ialah pembuatan telaga suci di desa Manukraya, pemandiannya dinamakan Tirtha Emphul. Prasasti ini sekarang disimpan di pura Sakenan, di desa Manukraya.
Berikutnya di tahun 897 S (975 M) Janasadhu Warmmadewa mulai memerintah Bali. Tidak ada penjelasan lain mengenai raja ini. Prasasti yang ia tinggalkan hanya menyebutkan anugerah raja terhadap desa Julah. Disebutkan bahwa terdapat raja yang dicandikan di Bwah Rangga, namun tidak disebutkan secara jelas siapa yang dicandikan.
Pada tahun 905 S (983 M) muncul ratu yang memerintah kerajaan Bali, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Kemungkina ia merupakan puteri dari kerajaan Sriwjaya atau adanya ekspansi kekuasaan dari kerajaan Sriwjaya.[12] Namun, ada juga yang mengatakan bahwa ia merupakan putri dari Mpu Sindok, Sri Isanatunggawijaya.[13] Di dalam prasastinya disebutkan tentang desa Air Tabar, sebuah desa di Buleleng. Diketahui, di museum Frankfurt am Main di Jerman terdapat sebuah prasasti yang menyebut nama Sri Mahadewi siniwi (ditahtakan) di Kadiri berangka 937 S (1015 M).
Kemudian ia digantikan oleh Dharma Udayana Warmmadewa, memerintah Bali bersama permaisurinya Gunapriya Dharmapatni seorang putri dari Jawa Timur. Terdapat dua pendapat mengenai Udayana ini:
a.       Pendapat F.D.K Boseh yang mengatakan bahwa Udayana merupakan seorang putra dari kerajaan Kamboja yang melarikan diri ke Jawa Timur dan menikah dengan putri Mahendratta.
b.      Pendapat Ir. J.L Moens yang mengatakan bahwa sebenarnya terdapat dua Udayana, yaitu Udayana I dan Udayana II (anak dari Udayana I). Udayana I memerintah di Jawa Timur dan diandikan di Jalatunda, sedangkan Udayana II memerintah di Bali. Sebelum menikah dengan putri Mahendratta, ia sudah menikah dengan putri Dharmawangsa yang nantinya akan melahirkan Airlangga.
Udayana memerintah dengan istrinya sejak 911 S (989 M). Dikatakan bahwa Udayana merupakan keturunan Warmmadewa yang pergi dari Bali karena dipimpin oleh Janasadhu atau Wijaya Mahadewi. Setelah pemerintahan Wijaya Mahadewi berakhir Udayana kembali untuk memimpin Bali.
Ia dan istrinya memerintah bersama sampai tahun 923 S (1001 M). Berdasarkan prasasti yang mereka tinggalkan di tahun 911 S, 915 S, 916 S, 923 S Gunapriya selalu disebutkan lebih dahulu, maksudnya mungkin kedudukan Gunapriya lebih tinggi dari Udayana, setelah prasasti 923 S nama Gunapriya tidak disebutkan lagi. Sedangkan Udayana mangkat setelah tahun 933 S (1011 M) berdasarkan prasasti Air Hawang yang hanya menyebutkan nama Udayana sendiri.[14] Gunapriya kemudian dicandikan di Bhatari luwah i Burwan, di Kurti yang desanya berbatasan dengan desa Buruan di dalam Pura Kedarman. Suaminya, Udayana dicandikan Bhatara luwah i Banuwka.
Udayana memiliki tiga orang anak, salah satunya adalah Airlangga yang pergi ke Jawa Timur dan menikah dengan putri Dharmawangsa. Selain itu, Udayana memiliki dua orang anak, yaitu Marakatapangkaja dan Anak Wungsu.
Marakatapangkaja menggantikan ayahnya untuk memimpin Bali. Gelarnya adalah Dharmawangsamardhana Marakata Pangkajasthana Utunggadewa yang berasal dari prasasti Baturan 944 S (1022 M), Bila 945 S (1023 M), Tengkulak A 945 S (1023 M) dan prasasti Buwahan. Disimpulkan bahwa Marakata memerintah dari tahun 944 S – 947 S (1022 M – 1025 M). Isi prasasti tersebut berupa kebijakannya terhadap rakyat dan pembangunan candi di Gunung Kawi atau Tampaksiring.
Setelah pemerintahan Marakata berakhir, dilanjutkan oleh Anak Wungsu dengan gelar Paduka Haji Anak Wungsu. Diantara semua raja yang  pernah memerintah Bali, ia merupakan yang paling aktif dalam mencatat sejarah. Anak Wungsu memerintah dari tahun 971 S – 999 S (1049 M – 1077 M). Prasastinya ditemukan tersebar di daerah Selatan, Utara dan Tengah. Selain itu, prasasti di Bali menggunakan tembaga yang ringan, sehingga mudah dipindah-pindah ke tempat lain. Namun, beberapa prasasti masih tersimpan di tempat semula, seperti misalnya di Julah (Bali Utara), Trunyan (Bali Tengah), dan Sukawati (Bali Selatan).
Raja yang memerintah selanjutnya adalah Sri Maharaja Sri Walaprabu. Ia meninggalkan tiga buah prasasti yang tidak berangka tahun, sehingga Walaprabu diperkirakan oleh Damais memerintah dari tahun 1001 S – 1010 S (1079 M – 1088 M). Dialah yang pertama kali menggunakan gelar Sri Maharaja.
Kemudian Walaprabu mangkat dan digantikan oleh Sri Maharaja Sri Sakelendukirana Isana Gudhadharma Laksmidhara Wijayttunggadewi. Menurut Goris analisis nama yang panjang ini diambil dari nama-nama yang terdahulu untuk menyatakan bahwa keturunan dari rja-raja tersebut. Sakelendukirana hanya meninggalkan tiga buah prasasti yang berangka tahun 1010 S (1088 M), 1020 S (1098 M), dan 1023 S (1104 M).
Penggantinya adalah Sri Suradhipa yang memerintah tahun 1037 S (1116 M) sampai tahun 1041 S (1119 M). Kemudian ia digantikan oleh Sri Maharaja Sri Jayasakti. Sejak jaman Jayasakti di pulau Bali memerintah beberapa orang raja  yang menggunakan unsur nama Jaya. Dalam masa pemerintahannya Jayasakti menggunakan kitab undang-undang Uttara widhi balawan[15] dan Rajana atau Rajaniti. Di dalam prasastinya, ia disebut-sebuta sebagai titisan dari dewa Wisnu. Ia memerintah sejak tahun 1055 S – 1072 S (1133 M – 1160 M).
Jayasakti kemudian digantikan oleh Ragajaya yang memerintah sejak tahun 1077 S (1166 M). Tidak diketahui secara pasti kapan ia memerintah dikarenakan hanya satu prasasti yang ia tinggalkan dan tidak menyebutkan akhir masa jabatannya. Pada masa ini agama Budha dan Hindu dapat berdampingan hidup dengan baik.
Selanjutnya adalah Jayapangus yang memerintah tahun 1099 S – 1103 S (1177 M – 1181 M). Menurut urutanj Jayapangus menggantikan Ragajaya dengan masa kosong selama 22 tahun. Dari sumber sejaarah Usana Bali di aba ke 16 M dikatakan bahwasebelum Jayapangus berkuasa yang memerintah adalah raja Jayakusumu. Disebutkan didalamnya bahwa Jayakusum adalah penyelamat kerajaan Bali yang terkena malapateka karena lalai menjalankan ubadat. Tetapi, nama Jayakusumu belum pernah dijumpai dalam prasasti dan nama Jayasakti serta Ragajaya tidak dikenal kisah tersebut.
Tidak lama setelah Jayapangus meninggal, kedudukannya digantikan oleh Si Maharaja Aji Ekajayalancana yang memerintah bersama ibunya Sri Maharaja Sri Arjayyadengjayaketana. Prasasti peniggalannya berangka tahun 1122 S (1200 M), namun prasastinya menggunakan bahasa dan ejaan yang kurang baik.
Empat tahun kemudian mencul seorang raja bernama Bhatara Guru Sri Adikuntiketana, prasatinya berangka tahun 1126 S (1204 M). Ia disebut juga Bathara Guru I. Di tahun 1182 S (1260 M) muncul seorang raja bernama Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyang ning Hyang Adiewalancana. Sejak tahun 1182 S – 1246 S terjadi kekosongoan wilayah kekuasaan selama 64 tahun. Mungkin hal ini terjadi karena aanya peristiwa-peristiwa di Jawa Timur.[16]
Di tahun 1246 S muncul lagi seorang raja yang bernama Paduka Bhatara Guru yang menurut Goris adalah Bathara Guru II. Kemudian di prasasti tahun 1247 S (1326 M) disebutkan nama raja Sri Maharaha Bhatara Mahaguru Dharmatungga Warmmadea. Tiga tahun kemudian di tahun 1250 S (1328 M) raja ini mangkat dan digantikan oleh Paduka Bhatara Sri Astasuraratna Bumi Banten berdasar prasasti Langgahan di tahun 1259 S (1337 M). Menurut Stutterheim arca besar yang terdapat di Pura Kebo Edan berasal dari abad ke 13 M, yang kemungkinan berasal dari Astasura. Bentuk arca menyerupai raksasa karena Astasura melakukan bhaira warga.
Astasura dikenal juga dengan sebutan Dalem Bedahulu, ia terkenal karena menentang ekspansi Majapahit yang dilakukan oleh Gajah Mada. Namun, ia gagal dan wilayah Bali menjadi daerah kekuasaan Majapahit.[17]
Astasura merupakan raja Bali yang terakhir, di tahun 1265 S (1343 M) bali berada di bawah kekuasaan Majapahit. Mulanya pusat kerajaan berada di Samprang dan dikuasai oleh Keluarga Jawa, kemudian dipindah di Gelgel dan Klungkung. Beberapa tahun kemudian mereka menyebut dirinya wong Majapahit.
2.3 STRUKTUR KERAJAAN BALI PASCA PENAKLUKAN MAJAPAHIT
     Setelah pulau Bali ditaklukan oleh Majapahit, kira-kira di tahun 1274 S (1352 M) Majapahit mulai mengatur bekas kerajaan Bali dan menimbulkan beberapa keajaan baru, diantaranya yaitu:
a.    Kerajaan Samprangan
Setelah penaklukan Majapahit terjadi kekosongan kekuasaan di Bali sehingga Gajah Mada mendudukkan Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai gubernur Majapahit di Bali pada 1352 M. Ia didampingi 11 orang Arya dan masing-masing diberikan tempat kedudukan di kerajaan Bali oleh Majapahit. Istanya miliknya disebut sebagai Dhalem Samprangan. Pemilihan Samprangan sebagai pusat kerajaan dikarenakan tempat tersebut adalah markas tentara Majapahit ketika menaklukan Astasura. Menurut Babad Dalem pemerintahannya berakhir pada 1302 S (1380 M).
Kemudian ia digantikan oleh anak tertuanya, I Dewa Samprangan, ia gemar berhias sehingga dijuluki Dalem Ile. Ia tidak capak mengatur pemerintahan dan membuat orang Arya merasa kecewa. Dewa Samprangan kemudian digantikan oleh Dalem Ketutr Ngulesir dan ibu kota kerajaan berpindah ke Gelgel.
b.    Kerajaan Gelgel
Pemerintahan di Gelgel mulai berdiri pada tahun 1305 S (1383 M) dengan keratonnnya dinamakan Sweasapura/Lingarsapura. Gelar resmi raja pertama adalah Dalem Ketut Samara Kepakisan. Bali mencapai puncak kejayaannya pada masa Batturenggong, anak dari Ketut Samara. Ia mulai memerintah sejak tahun 1380 S (1458 M).
Bali memperlebar wilayahnya hingga ke Blambangan, Pasuruan, Nusa Penida, dan Sumbawa di tahun 1512 M. Kemudian dilanjutkan Lombok pada tahun 1520 M. Danghyang Nirartha dari Jawa Timur mendadar di Kapurancak terjadi pada masa Baturenggong, Nirartha membaa perubahan yang besar terhadap kehidupan agama Hindu di Bali. Kerajaan Gelgel kemdian diulingkan oleh I Gusti Maruti tahun 1686 M. Raja yang pernah memerintah di kerajaan ini adalah:
·         Dalem Ketut (1305 S)
·         Dalem Watur Enggong (Saka 1382-1472/1460-1550M)
·         Dalem Bekung (Saka 1472-1502/1550-1580M)
·         Dalem Sagening (Saka 1502-1543/1580-1621M)
·         Dalem Di Made (Saka 1543-1573/1621-1651M)
·         Gusti Anglurah Ketut Karang (Saka 1572-1602/1650-1680M)
c.    Kerajaan Klungkung
Merupakan kelanjutan dari kerajaan Gelgel, didirikan pada abad ke-17 Masehi di Pulau Bali bagian tenggara. Kerajaan ini meguasai pulau-pulai di lepas pantai Selat Badung. Kerajaan in berdiri sejak tahun 1668 M 0 1950 M, pada tahun 1908 terjadi Perang Puputan Klungkung yang menewaskan Dewa Agung Jambe II dan para pengikutnya. Setelah kemerdekaan Indonesia, Kerajaan Klungkung bersatus sebagai daerah tingkat II Klungkung. Raja yang pernah memimpin kerajaan ini adalah:
·      Dewa Agung Jambe I (1686 S - 1722 S)
·      Dewa Agung Gede (1722 S - 1736 S)
·      Dewa Agung Made (1736 S - 1760 S)
·      Dewa Agung Śakti (1760 S - 1790 S)
·      Dewa Agung Putra I Kusamba (1790 S - 1809 S) [
·      Gusti Ayu Karang (wali raja, 1809 S - 1814S)
·      Dewa Agung Putra II (1814 S – 1850 S )
·      Dewa Agung Istri Kanya (ratu, 1814 S –1850 S)
·      Bhatara Dalem (1851 S – 1903 S)
·      Dewa Agung Jambe II (1903  S – 1908 S)
d.   Kerajaan Mengwi
I Gusti Agung Putu adalah putra dari I Gusti Agung Anom. Ia bergelar I Gusti Agung Made Agung mendirikan kerajaan Mengwi dan menjadi Raja Mengwi I pada tahun 1723 M. Mengwi pada zaman dahulu merupakan sebuah kerajaan mandiri. Namun, Mengwi kalah perang dan akhirnya pada tahun 1891 M wilayahnya dibagi-bagi antara Tabanan dan Badung. Raja yang pernah berkuasa:
· Gusti Agung Śakti (Gusti Agung Putu) (1690 S – 1722 S)
· Gusti Agung Made Alangkajeng (1722 S – 1740 S)
· Gusti Agung Putu Mayun (1740 S)
· Gusti Agung Made Munggu (1740 S -1770/80 S)
· Gusti Agung Putu Agung (1770/80 S -1793/94 S)
· Gusti Ayu Oka Kaba-Kaba (1770/80 S -1807 S)
· Gusti Agung Ngurah Made Agung I (1807 S –1823 S)
· Gusti Agung Ngurah Made Agung II Putra (1829 S –1836 S )
· Gusti Agung Ketut Besakih (1836 S -1850/55 S)
e.    Kerajaan Tabanan
Kerajaan Tabanan didirikan setelah keruntuhan Majapahit, setelah Dewa Agung Ketut, penguasa Bali dan Lombok membagi kerajaannya menjadi beberapa kerajaan. Kerajaan Tabanan merupakan pemegang kekuasaan kedua di Bali. Arya Kenceng, berkuasa di Pucangan, Buahan (Tabanan) dengan diberikan rakyat sebanyak 40.000 orang. Sehingga dapat dipastikan berdirinya Kerajaan Tabanan adalah pada tahun 1343 Masehi atau tahun Saka 1265. Kerajaan ini runtuh di tahun 1906 M. Raja yang pernah memimpin:
·      Shri Arya Kenceng
·      Shri Magada Nata [anak Arya Kenceng]
·      Arya Nangun Graha (Prabhu Singasana) [anak Magada Nata]
·      Gusti Ngurah Tabanan (Prabhu Winalwan) [anak Arya Nangun Graha]
·      Gusti Wayahan Pamedekan  [anak Gusti Ngurah Tabanan]
·      Gusti Made Pamedekan (1647 S - 1650 S) [saudara Gusti Made Pamedekan]
·      Gusti Ngurah Tabanan (Prabhu Winalwanan)
·      Prabhu Nisweng Panida  [anak Gusti Made Pamedekan]
·      Gusti Made Dalang [saudara Prabhu Nisweng Panida]
·      Gusti Nengah Malkangin [anak Gusti Wayahan Pamedekan]
·      Gusti Bolo di Malkangin [anak Prabhu Winalwanan]
·      Gusti Agung Badeng (wali negara, abad ke-17 akhir) [menantu Gusti Made Pamedekan]
·      Prabhu Magada Śakti (1700 S) [anak Prabhu Nisweng Panida]
·      Anglurah Mur Pamade [anak Prabhu Magada Śakti]
·      Gusti Ngurah Sekar (1734 S) [anak Anglurah Mur Pamade]
·      Gusti Ngurah Gede [anak Gusti Ngurah Sekar]
·      Gusti Ngurah Made Rai (1793 S) [saudara Gusti Ngurah Made Gede]
·      Gusti Ngurah Rai Penebel (1793 S - 1820 S) [saudara Gusti Ngurah Made Rai ]
·      Gusti Ngurah Ubung (1820 S) [anak Gusti Ngurah Rai Penebel]
·      Gusti Ngurah Agung I (1820 S - 1844 S) [cucu Gusti Ngurah Made Rai]

Masih terdapat beberapa kerajaan lagi setelah runtuhnya Kerajaan Bali Kuno, ini dikarenakan terdapat konflik-konflik yang menyebabkan Bali terpecah-pecah. Diantara kerajaan tersebut ialah kerajaan Buleleng, Gianyar, Karangasem dan Bangli.


2.4  SISTEM PEMERINTAHAN
Raja-raja di Bali menggunakan gelar anak agung, cokorda, ida cokorda,atau yang lainnya. Raja dihormati sebagai penguasa tertinggi, yang mana kekuasaan tersebut didapat dari hak keturunan.  Para raja masing-masing tinggal di dalam istana (puri) bersama keluarga dekat dari raja. Di dalam puri terdapat banyak benda pusaka dan benda upacara milik kerajaan. Beberapa buah keris tua diantara benda pusaka dikatakan berasal dari Majapahit.  Karena pada jaman dahulu Bali pernah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Jawa Timur, sekitar pada abad ke-10 oleh Kerajaan Singasari dan abad ke-14 oleh Kerajaan Majapahit. Selain di dalam purimenyimpan benda-benda pusaka, disana raja juga mempunyai para abdi yang diberi tugas tertentu. Pada saat upacara resmi dalam istana, para raja dihadap oleh para punggawa kerajaan, baik yag berada di kota kerajaan maupun yang di daerah-daerah.
Di beberapa kerajaan Bali terdapat upacara semacam grebeg, dimana raja menyaksikan parade pasukan bersenjata yang terdiri dari para kaula.  Di Kerajaan Badung dan Mengwi, upacara seperti itu disebut dengan ngarebeg. Di Badung, upacara ngarebeg jatuh pada hari Kamis Sungsang, sedangkan di Mengwi jatuh pada hari Jum’at Dungulan.
Para abdi yang beradaa di dalam istana mempunyai beberapa keahlian di bidang masing-masing. Pada bidang seni, petugas sangging  yang ahli dalam ukir-mengukir juga membuat patung, ia ditugaskan menghias puri dan rumah-rumah bangsawan keluarga raja. Kemudian para undagi druwe mempunyai tugas membuat bangunan-bangunan dan barang dari kayu, seperti yang terdapat di puri kerajaan Klungkung.  Di puri Gianyar juga terdapat kelompok abdi pangentengan yang mempunyai tugas membuat genteng untuk keperluan puri. Kelompok-kelompok petugas tersebut masing-masing dikepalai oleh prebekel. Di dalam puri terdapat pula prebekel gong yang diserahi tugas mengenai  alat-alat gamelan di dalam istana. Kelompok dari prabekel pengobatan bertugas mengurusi obat senjata api, kelompok prabekel pengawin  bertugas membuat tombak waktu mengiringi raja, kelompok prabekel luput senapan ditugaskan sebagai pengiring raja dengan bersenjatakan senapan, dan masih terdapat kelompok-kelompok petugas lain di dalam puri.
Para abdi yang bekerja untuk keperluan dalam puri biasanya disebut pangayah sjroning ancak siji.  Sedangkan para abdi yang bekerja di luar puri disebut truna manca jabaning ancak saji. Kelompok pekerja dalam puri yang di beberapa kerajaan juga disebut panjeroan mempunyai tempat tinggal di sekitar puri dan mendapat kebutuhan hidup sehari-hari (pecatu) dari puri. Masih perlu pula disebut abdi raja yang menjadi pengayah kadalem yang diberi tugas untuk menjaga pasanggarahan raja. Sebagai pengahssilan, mereka juga mendapat sebidang tanah sebagai tanah pecatu . Pangayah kadalemdiberi tugas juga untuk menjaga rumah-rumah raja dan para pembesar kerajaan.

Pergantian raja-raja Bali didasarkan pada hak karena keturunan. Biasanya pengganti raja yang sudah meninggal adalah putra laki-laki yang lahir dari permaisuri yang berasal dari  golongan bangsawan (ksatriya). Apabila putra laki-laki lebih dari soerang, raja ,memilih putra yang dicintai dan dianggap cakap sebagai calon pengganti. Adapun adat kebiasaan  di Bali, bahwa putra mahkota, baru aktif menjadi raja setelah upacara pembakaran jenazah dari raja yang baru saja meninggal telah selesai. Apabila putra mahkota yang telah ditunjuk sebagai pengganti raja masih dibawah umur, biasanya diakili oleh ibuny atau salah seorang bangsawan yang dipilih  oleh para punggawa pedanda istana. Atau juga bisa dibentuk suatu dewan perwalian yang terdiri dari para bangsawan dan punggawa istana yang mana kekuasan kerajaan semantara dipegang oleh dewan tersebut. Namun meskipun berbagai cara dapat dilakukan untuk pemegang kekuasaan, tetaplah dari bangsawan keluarga terdekat dari raja.

Raja dibantu oleh para pejabat pemerintahan yang secara hierarkis menduduki fungsi tertentu dalam birokrasi kerajaan. Pusat pemegang kekuasaan adalah raja, yang di dalam mengambil kebijkasanaan dalam pemerintahan di dampingi oleh sebuah Dewan Kerajaan (Pasamuan Agung). Tugas pokok Pasamuan Agung adalah memberi nasihat dan pertimbangan pada raja dalam memecahkan persoalan-persoalan sulit yang dihadapi oleh pemerintah kerajaan dan ikut membantu dalam penyusunan undang-undang kerajaan. Di samping itu Pasamuan Agung  juga diserahi tugas untuk mengurusi hubungan dengan penguasa-penguasa di luar kerajaan. Di beberapa kerajaan penguasa pembantu raja disebut made atau pamade.
Di dalam melakukan pekerjaan sehari-hari raja dibantu oleh seorang Bagawanta. Di bawah raja terdapat jabatan patih, prebekel atau pambekel kota dan punggawa-punggawa daerah. Di kerajaan Badung, jabatan patih  merangkap tugas sebagai jaksa atau sedahhan gede. Sesuai dengan pembagian wilayah kerajaan, punggawa-punggawa dikuasai pleh raja untuk memerintah di daerah-daerah dan membawahkan pejabat-pejabat pemerintahan bawahan sampai di tingkat desa. Punggawa-punggawa ini kedudukannya setara dengan kepala distrik.

2.5 KEHIDUPAN MASYARAKAT
Masyarakat sebelum masa pemerintahan Gunapriya dan Udayana hidup secara berkelompok dalam suatu daerah yang disebut Wanua, sedangkan penduduknya disebut sebag anak wanua. Sebagian besar penduduk hidup bercocok tanam. Hal ini berasal dari istilah tanayan thani atau anak thani yang menunjukkan adanya masyarakat yang agraris.[18] Sewaktu pemerintahan Anak Wungsu masyarakat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu golongan catur warna dan luar kasta atau budak. Pembagian berasal dari agama Hindu. Bahkan sampai sekarang masyarakat Bali tetap masih mengenal pembagian masyarakat Caturwangsa (empat golongan) terutama di wilayah Bali sebelah selatan.
Disamping itu peraturan-peraturan mengenai perkawinan, perbudakan, kematian, pencurian, dan sebagainya diatur dengan baik oleh pemerintah. Dalam bidang agama pengaruh Megalitikum di Bali masih terasa sangat kuat. Hal ini terlihat dari bangunan pura yang berbentuk undak-undakan, juga kepercayaan terhadap dewa-dewa alam yang setelah datangnya agama Hindu dan Budha disembah bersamaan dengan dewa. Kadang-kadang dewa tertentu namanya diubah dalam bahasa Sansakerta.
Pada masa pemerintahan Sri Wijaya Mahadewi, diketahui bahwa biksu menggunakan nama Siwa. Pada masa pemerintahan Udayana dua aliran agama dipeluk oleh penduduk yaitu Budha dan Hindu Siwa. Namun, masih ada beberapa penduduk yang menganut sekte-sekte kecil ynag menyemba dewa tertentu, seperti sekte Ganapatya, Sora dan Ganesha.
Baca Juga: Kerajaan Kutai 


[1]  P. Pelliot mengidentifikasikan Po-Li dengan Bali, terdapat perbedaan pengidentifikasian oleh sejarawan lain. (Marwati Juned Puspnegoro, Sejarah Nasional Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1984, hlm. 281)
[2]  Marwati Juned Puspnegoro, Sejarah Nasional Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1984, hlm. 281
[3]  Ibid.
[4]  Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1977, hlm. 135
[5]  Berarti ketua atau pimpinan desa
[6]  Kalimat permulaan prasasti menggunakan yumu pakatahu yang maknanya ketahuilah kamu sekalian
[7]  Berarti tempat melapor, berasal dari kata lapu (lapor)
[8]  Marwati Juned Puspnegoro, Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 284
[9] Ibid, hlm. 94
[10]  Angka tahun diperoleh dari penerjemahan prasasti, ada kemungkinan Tabenendra sudah berkuasa sebelum tahun 877 Saka, demikian juga dengan akhir pemerintahannya.
[11] Menurut Damais, kemungkinan yang terjadi adalah Jayasingha merebut kekuasaan Tabenendra untuk beberapa tahun, namun akhirnya dapat direbut kembali oleh Tabenendra.
[12]  Teori ini berasal dari van Stein Callenfels, yang didukung oleh Goris (Sartono Katrodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 141)
[13]  Didukung oleh Damais berdasarkan pendapat Moens dalam karangannya (Ibid)
[14]  Marwati Juned Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 298
[15]  Temapt beribadah yang berkenaan dengan daerah Utara yang sangat berkuasa, disini maksudnya India Selatan.
[16]  Di tahun 1206 S Raja Kartanegara dari Sngosari berhasil mengalahkan Bali, di tahun 1214 Sdi Jaa terjadi huru-hara karena adanya ekspansi dari Negeri Cina dan munculnya kerajaan Majapahit.
[17]  Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara, Pustaka Widyatam: Yogyakarta, 2009, hlm. 23
[18]  Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 175

0 komentar:

Post a Comment