Kerajaan Bali, blogspot.com |
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah kerajaan Bali hingga saat ini kurang dikenal dikarenakan
banyaknya prasasti dan lontar yang sampai sekarang masih disimpan, namun tidak
dapat diakses. Ini disebabkan masyarakat Bali umumnya tidak mengizinkan
prasasti dibaca oleh orang lain, karena mereka percaya bahwa pembacaan tersebut
mengakibatkan malapetaka. Tidak jarang pula terjadi bahwa prasasti hanya dapat
dibaca bila sebelumnya diadakan uttama ning
uttama atau saji-sajian yang tidak dapat ditanggung oleh penyelidik ataupun
instansi pemerintah.
Namun, terdapat beberapa berita asing yang dapat dijadikan
sebagai sumber bahwa di Bali pernah berdiri suatu kerajaan. Berita tertua dari
bangsa asing satu-satunya berasal dari Bangsa Cina. Di dalam kitab sejarah Tang
Kuno disebutkan bahwa Ho-ling terletak
di kepulauan di sebelah selatan. Di sebelah timur terletak Po-li[1],
di sebelah barat To-po-teng, disebelah utara Chen-La dan di sebelah selatan
lautan.[2]
Selanjutnya, dikatakan bahwa negeri Dva-pa-tan terletak di
sebelah selatan Kamboja, jauhnya dua bulan berlayar. Dva-pa-tan ini ditafsirkan
dengan Bali. Dikatakan bahwa Dva-pa-tan terletak di timur Ho-ling dan memiliki
adat istiadt yang sama.[3]
Namun di kitab Chu-fa-chih bagian Su-chi-tan, Bali dilafalkan dengan Ma-li.
Berita tertua tentang keadaan Bali dari wilayah sendiri, berupa
beberapa buah cap kecil tanpa tahun yang disimpan dalam stupa kecil dari tanah
liat. Dituliskan dengan bahasa Sansakerta dan berisi mantra-mantra agama Budha
yang memiliki kesamaan dengan Candi Kalasan di Jawa Tengah. Sehingga, bisa
disimpulkan ia berasal dari abad VIII Masehi. Berita tertuanya lainnya mengenai
Bali berasal dari beberapa buah prasasti berbahasa Sansakerta yang ditemukan di
Pejeng. Prasasti ini sudah sangat rusak, sehingga tidak dapat dibaca dengan
jelas. Sebuah diantaranya berangka tahun wanadrigajasakabade
atau 875 S (953 M). Prasasti ini ditutup dengan perkataan siwamatsu (keselamatan dari dewa Siwa). Di dalam Tugu Belanjong (Sanur)
yang berangka tahun sarahwanimurti
atau 855 S (933 M).
Prasasti yang dinilai paling awal adalah prasasti yang berasal
dari pura desa Sukawana. Prasasti ini berasal dai tahun 804 S (882 M). Isinya
antara lain pemberian izin kepada tiga biksu yang akan membangun pertapaan dan
pesanggrahan di daerah perburuan di Bukit Cintamani
mmal.[4]
Biksu tersebut adalah Sikawangsia, Siwanirmala, dan Siwaprajna. Melihat namanya
dapat dipastikan mereka pendeta Hindu golongan Siwa. Prasasti selanjutnya
berasal dari tahun 818 S (896 M) yang berasal dari Desa Bebetin. Berisi tentang
pemberian izin kepada nanyakan pradhana
kumpi[5]
dan biksu untuk membangun sebuah kuil untuk Hyang Api di desa Banua Baru, warga desa dibebaskan dari pajak.
Kemudian prasasti yang berasal dari desa Trunyan berangka tahun
833 S (911 M). Isinya berupa pemberian izin kepada penduduk desa Turunan untuk
membangun kuil bagi Bathara Da Tonta. Mereka dibebaskan dari pajak, namun harus
memberikan sumbangan untuk kuil tersebut yang diberikan tiap bulan Caitra (Maret-April tahun Masehi) dan
bulan Magha (Januari-Februari dalam Masehi). Prasasti
selanjutnya berangka tahun 833 S (911 M) yanga memiliki kemiripan dengan
prasasti dari desa Trunyan. Namun, ditambahkan pengaturan untuk warga desa Air
Hawang yang tinggal di daerah Turunan sebelah timur danau Batur. Di bulan Bhadrawada, Bathara Da Tonta harus
dihormati, dimandikan, dibedaki kuning, dihiasi cincin permata dan sebagainya.
Di akhir prasasti dimuat kutukan untuk mereka yang melanggar ketentuan
tersebut.
Masih terdapat dua prasasti sejenis namun tidak memuat angka
tahun. Salah satunya tidak dapat dapat disalin karena rusak parah, dikenal
dengan nama Angsari. Sisanya berangka tahun 836 S (914 M) yang terdiri hanya
satu lempengan saja. Isinya tentang pemberian izin kepada kuil Ida Hyang di bukit Tunggal Paradyan Indrapura di daeah Air Tabar. Batas wilayah, pajak
dan warisan ditetapkan oleh pemerintah.
Prasasti terakhir berasal dari penglapuhan Sighamandawa, dikenal
dengan nama Bangli, Pura Kehen. Berupa satu lempengan tanpa penanggalan tahun
yang berisi pemberian izin kepada biksu dan warga di Simpat Bunut dibawah
menteri kehutanan agar mendirikan pertapaan di kuil Hyang Karimana yang dihubungkan dengan kuil Hyang Api. Batas wilayah dan warisan ditetapkan pemerintah,
dibebaskan dari pajak dan biksu yang menjadi anggota desa harus tunduk dengan
peraturan desa.
Selain itu terdapat delapan buah prasasti tipe yumu pakatahu[6]
yang menyebut nama Sri Ugrasena dan menyebut panglapuan[7]
di Singhamandewa. Prasasti ini berasal dari tahun 837 S – 888 S (915 M – 966
M). Letak Singhamadewa sampai sekarang belum dipastikan. Kemungkinan terletak
antara Kintamani (Danau Batur) dan Pantai Sanur, disekitar Tampaksiring dan
Pejeng atau dialiran sungai Patanu dan Pakeriskan.[8]
2.2 STRUKTUR KERAJAAN BALI KUNO
Sejak tahun 835 S (913 M) nama
Warmmadewa mulai mucul memerintah di Bali. Keterangan ini diperoleh dari tiga
prasasti berbentuk tugu atau pilar yang dipahat dengan tulisan melingkar.
Prasasti pertama ditemukan di Belonjong, kedua di Penempahan dan ketiga di
Meletgede. Nama raja yang disebut dalam tiga prasasti tersebut adalah Sri
Kesariwarmmadewa.
a. Prasasti
Belonjong menggunakan dua bahasa dan dua macam huruf. Bagian yang menggunakan
huruf Nagari menggunakan bahasa Bali Kuno dan bagian yang menggunakan huruf
Kawi menggunakan bahasa Sansakerta. Berangka tahun 835 S (913 M) dan menyebut
musuh-musuh raja yang berhasil dikalahkan, yaitu Gurun dan Suwal. Prasasti ini
juga menyebut singhadwalapura yang
berarti negara Singhadwala. Prasasti ini juga menyebut kutaraja yang merupakan tempat tinggal raja.
b. Prasasti
Penempahan ditemukan dalam sebuah pura di desa Panempahan sebelah utara
Tampaksiring. Angka tahunnya pecah namun bisa dipastikan dari tahun 835 S dan
menyebutkan tentang raja Sri Kaisari.
c. Prasasti
Meletgede ditemukan di desa Meletgede, sebelah utara Penempahan. Angka tahunnya
dengan jelas disebutkan 835 S. Menyebut kerajaan Sri Kesari dengan istilah parhajyan.
Ketiga
prasasti ini disebut jayastambha yang
bermakna tugu kemenangan. Bisa disimpulkan bahwa Sri Kesariwarmmadewa merupakan
pendiri dari Dinasti Warmmadewa di Bali.[9]
Raja
selanjutnya adalah Sri Ugrasena yang memerintah mulai tahun 837 S (915 M). Raja
ini memerintah sampai tahun 864 S di istana Singhamandawa. Salah satu prasasti
yang meceritakan dirinya adalah Prasasti Buwunan. Isinya berupa perjalanan
Ugrasena ke Buwunan untuk memberikan beberapa anugerah.
Setelah
mangkat, Ugrasena digantikan oleh Sri Aji Tabenendra Warmmadewa, dimana ia
memerintah bersama permaisurinya yang bernama Sri Suhadrika Warmmadewi. Di
dalam prasastinya disebutkan bahwa sang
ratu sang sidhha dewata sang lumah di Air Madatu (Raja yang wafat
dicandikan atau dimakamkan di Air Madatu). Dibandingkan dengan prasasti lain,
yang dicandikan di Air Madatu adalah Ugrasena, sehingga bisa dikatakan bahwa
Tabenendra merupakan keturunan dari Ugrasena. Tabenandra memerintah sejak 877 S
(955 M) – 889 S (967 M). [10]
Namun,
di tahun 882 S (960 M) muncul seorang raja bernama Indra Jayasingha Warmmadewa
yang berada di tengah-tengah pemerintahan Tabenendra.[11]
Keterangan yang didapat dari prasasti tersebut ialah pembuatan telaga suci di
desa Manukraya, pemandiannya dinamakan Tirtha Emphul. Prasasti ini sekarang
disimpan di pura Sakenan, di desa Manukraya.
Berikutnya
di tahun 897 S (975 M) Janasadhu Warmmadewa mulai memerintah Bali. Tidak ada
penjelasan lain mengenai raja ini. Prasasti yang ia tinggalkan hanya
menyebutkan anugerah raja terhadap desa Julah. Disebutkan bahwa terdapat raja
yang dicandikan di Bwah Rangga, namun tidak disebutkan secara jelas siapa yang
dicandikan.
Pada
tahun 905 S (983 M) muncul ratu yang memerintah kerajaan Bali, yaitu Sri
Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Kemungkina ia merupakan puteri dari kerajaan
Sriwjaya atau adanya ekspansi kekuasaan dari kerajaan Sriwjaya.[12] Namun,
ada juga yang mengatakan bahwa ia merupakan putri dari Mpu Sindok, Sri Isanatunggawijaya.[13]
Di dalam prasastinya disebutkan tentang desa Air Tabar, sebuah desa di
Buleleng. Diketahui, di museum Frankfurt am Main di Jerman terdapat sebuah
prasasti yang menyebut nama Sri Mahadewi siniwi
(ditahtakan) di Kadiri berangka 937 S (1015 M).
Kemudian ia digantikan oleh Dharma Udayana
Warmmadewa, memerintah Bali bersama permaisurinya Gunapriya Dharmapatni seorang
putri dari Jawa Timur. Terdapat dua pendapat mengenai Udayana ini:
a. Pendapat
F.D.K Boseh yang mengatakan bahwa Udayana merupakan seorang putra dari kerajaan
Kamboja yang melarikan diri ke Jawa Timur dan menikah dengan putri Mahendratta.
b. Pendapat
Ir. J.L Moens yang mengatakan bahwa sebenarnya terdapat dua Udayana, yaitu
Udayana I dan Udayana II (anak dari Udayana I). Udayana I memerintah di Jawa
Timur dan diandikan di Jalatunda, sedangkan Udayana II memerintah di Bali.
Sebelum menikah dengan putri Mahendratta, ia sudah menikah dengan putri
Dharmawangsa yang nantinya akan melahirkan Airlangga.
Udayana
memerintah dengan istrinya sejak 911 S (989 M). Dikatakan bahwa Udayana
merupakan keturunan Warmmadewa yang pergi dari Bali karena dipimpin oleh
Janasadhu atau Wijaya Mahadewi. Setelah pemerintahan Wijaya Mahadewi berakhir
Udayana kembali untuk memimpin Bali.
Ia
dan istrinya memerintah bersama sampai tahun 923 S (1001 M). Berdasarkan
prasasti yang mereka tinggalkan di tahun 911 S, 915 S, 916 S, 923 S Gunapriya
selalu disebutkan lebih dahulu, maksudnya mungkin kedudukan Gunapriya lebih
tinggi dari Udayana, setelah prasasti 923 S nama Gunapriya tidak disebutkan
lagi. Sedangkan Udayana mangkat setelah tahun 933 S (1011 M) berdasarkan
prasasti Air Hawang yang hanya menyebutkan nama Udayana sendiri.[14]
Gunapriya kemudian dicandikan di Bhatari
luwah i Burwan, di Kurti yang desanya berbatasan dengan desa Buruan di
dalam Pura Kedarman. Suaminya, Udayana dicandikan Bhatara luwah i Banuwka.
Udayana
memiliki tiga orang anak, salah satunya adalah Airlangga yang pergi ke Jawa
Timur dan menikah dengan putri Dharmawangsa. Selain itu, Udayana memiliki dua
orang anak, yaitu Marakatapangkaja dan Anak Wungsu.
Marakatapangkaja
menggantikan ayahnya untuk memimpin Bali. Gelarnya adalah Dharmawangsamardhana
Marakata Pangkajasthana Utunggadewa yang berasal dari prasasti Baturan 944 S
(1022 M), Bila 945 S (1023 M), Tengkulak A 945 S (1023 M) dan prasasti Buwahan.
Disimpulkan bahwa Marakata memerintah dari tahun 944 S – 947 S (1022 M – 1025
M). Isi prasasti tersebut berupa kebijakannya terhadap rakyat dan pembangunan
candi di Gunung Kawi atau Tampaksiring.
Setelah
pemerintahan Marakata berakhir, dilanjutkan oleh Anak Wungsu dengan gelar
Paduka Haji Anak Wungsu. Diantara semua raja yang pernah memerintah Bali, ia merupakan yang
paling aktif dalam mencatat sejarah. Anak Wungsu memerintah dari tahun 971 S –
999 S (1049 M – 1077 M). Prasastinya ditemukan tersebar di daerah Selatan,
Utara dan Tengah. Selain itu, prasasti di Bali menggunakan tembaga yang ringan,
sehingga mudah dipindah-pindah ke tempat lain. Namun, beberapa prasasti masih
tersimpan di tempat semula, seperti misalnya di Julah (Bali Utara), Trunyan
(Bali Tengah), dan Sukawati (Bali Selatan).
Raja
yang memerintah selanjutnya adalah Sri Maharaja Sri Walaprabu. Ia meninggalkan
tiga buah prasasti yang tidak berangka tahun, sehingga Walaprabu diperkirakan
oleh Damais memerintah dari tahun 1001 S – 1010 S (1079 M – 1088 M). Dialah
yang pertama kali menggunakan gelar Sri Maharaja.
Kemudian
Walaprabu mangkat dan digantikan oleh Sri Maharaja Sri Sakelendukirana Isana
Gudhadharma Laksmidhara Wijayttunggadewi. Menurut Goris analisis nama yang
panjang ini diambil dari nama-nama yang terdahulu untuk menyatakan bahwa
keturunan dari rja-raja tersebut. Sakelendukirana hanya meninggalkan tiga buah
prasasti yang berangka tahun 1010 S (1088 M), 1020 S (1098 M), dan 1023 S (1104
M).
Penggantinya
adalah Sri Suradhipa yang memerintah tahun 1037 S (1116 M) sampai tahun 1041 S
(1119 M). Kemudian ia digantikan oleh Sri Maharaja Sri Jayasakti. Sejak jaman
Jayasakti di pulau Bali memerintah beberapa orang raja yang menggunakan unsur nama Jaya. Dalam masa
pemerintahannya Jayasakti menggunakan kitab undang-undang Uttara widhi balawan[15]
dan Rajana atau Rajaniti. Di dalam prasastinya, ia
disebut-sebuta sebagai titisan dari dewa Wisnu. Ia memerintah sejak tahun 1055
S – 1072 S (1133 M – 1160 M).
Jayasakti
kemudian digantikan oleh Ragajaya yang memerintah sejak tahun 1077 S (1166 M).
Tidak diketahui secara pasti kapan ia memerintah dikarenakan hanya satu
prasasti yang ia tinggalkan dan tidak menyebutkan akhir masa jabatannya. Pada
masa ini agama Budha dan Hindu dapat berdampingan hidup dengan baik.
Selanjutnya
adalah Jayapangus yang memerintah tahun 1099 S – 1103 S (1177 M – 1181 M).
Menurut urutanj Jayapangus menggantikan Ragajaya dengan masa kosong selama 22
tahun. Dari sumber sejaarah Usana Bali di aba ke 16 M dikatakan bahwasebelum
Jayapangus berkuasa yang memerintah adalah raja Jayakusumu. Disebutkan
didalamnya bahwa Jayakusum adalah penyelamat kerajaan Bali yang terkena
malapateka karena lalai menjalankan ubadat. Tetapi, nama Jayakusumu belum
pernah dijumpai dalam prasasti dan nama Jayasakti serta Ragajaya tidak dikenal
kisah tersebut.
Tidak
lama setelah Jayapangus meninggal, kedudukannya digantikan oleh Si Maharaja Aji
Ekajayalancana yang memerintah bersama ibunya Sri Maharaja Sri
Arjayyadengjayaketana. Prasasti peniggalannya berangka tahun 1122 S (1200 M),
namun prasastinya menggunakan bahasa dan ejaan yang kurang baik.
Empat
tahun kemudian mencul seorang raja bernama Bhatara Guru Sri Adikuntiketana,
prasatinya berangka tahun 1126 S (1204 M). Ia disebut juga Bathara Guru I. Di
tahun 1182 S (1260 M) muncul seorang raja bernama Paduka Bhatara Parameswara
Sri Hyang ning Hyang Adiewalancana. Sejak tahun 1182 S – 1246 S terjadi
kekosongoan wilayah kekuasaan selama 64 tahun. Mungkin hal ini terjadi karena
aanya peristiwa-peristiwa di Jawa Timur.[16]
Di
tahun 1246 S muncul lagi seorang raja yang bernama Paduka Bhatara Guru yang
menurut Goris adalah Bathara Guru II. Kemudian di prasasti tahun 1247 S (1326
M) disebutkan nama raja Sri Maharaha Bhatara Mahaguru Dharmatungga Warmmadea.
Tiga tahun kemudian di tahun 1250 S (1328 M) raja ini mangkat dan digantikan
oleh Paduka Bhatara Sri Astasuraratna Bumi Banten berdasar prasasti Langgahan
di tahun 1259 S (1337 M). Menurut Stutterheim arca besar yang terdapat di Pura
Kebo Edan berasal dari abad ke 13 M, yang kemungkinan berasal dari Astasura.
Bentuk arca menyerupai raksasa karena Astasura melakukan bhaira warga.
Astasura
dikenal juga dengan sebutan Dalem Bedahulu, ia terkenal karena menentang
ekspansi Majapahit yang dilakukan oleh Gajah Mada. Namun, ia gagal dan wilayah
Bali menjadi daerah kekuasaan Majapahit.[17]
Astasura
merupakan raja Bali yang terakhir, di tahun 1265 S (1343 M) bali berada di
bawah kekuasaan Majapahit. Mulanya pusat kerajaan berada di Samprang dan dikuasai
oleh Keluarga Jawa, kemudian dipindah di Gelgel dan Klungkung. Beberapa tahun
kemudian mereka menyebut dirinya wong Majapahit.
2.3 STRUKTUR KERAJAAN
BALI PASCA PENAKLUKAN MAJAPAHIT
Setelah pulau Bali ditaklukan oleh
Majapahit, kira-kira di tahun 1274 S (1352 M) Majapahit mulai mengatur bekas
kerajaan Bali dan menimbulkan beberapa keajaan baru, diantaranya yaitu:
a. Kerajaan
Samprangan
Setelah penaklukan Majapahit terjadi
kekosongan kekuasaan di Bali sehingga Gajah Mada mendudukkan Sri Aji Kresna
Kepakisan sebagai gubernur Majapahit di Bali pada 1352 M. Ia didampingi 11
orang Arya dan masing-masing diberikan tempat kedudukan di kerajaan Bali oleh
Majapahit. Istanya miliknya disebut sebagai Dhalem Samprangan. Pemilihan
Samprangan sebagai pusat kerajaan dikarenakan tempat tersebut adalah markas
tentara Majapahit ketika menaklukan Astasura. Menurut Babad Dalem pemerintahannya berakhir pada 1302 S (1380 M).
Kemudian ia digantikan oleh anak
tertuanya, I Dewa Samprangan, ia gemar berhias sehingga dijuluki Dalem Ile. Ia
tidak capak mengatur pemerintahan dan membuat orang Arya merasa kecewa. Dewa
Samprangan kemudian digantikan oleh Dalem Ketutr Ngulesir dan ibu kota kerajaan
berpindah ke Gelgel.
b. Kerajaan
Gelgel
Pemerintahan di Gelgel mulai berdiri
pada tahun 1305 S (1383 M) dengan keratonnnya dinamakan
Sweasapura/Lingarsapura. Gelar resmi raja pertama adalah Dalem Ketut Samara
Kepakisan. Bali mencapai puncak kejayaannya pada masa Batturenggong, anak dari
Ketut Samara. Ia mulai memerintah sejak tahun 1380 S (1458 M).
Bali memperlebar wilayahnya hingga ke
Blambangan, Pasuruan, Nusa Penida, dan Sumbawa di tahun 1512 M. Kemudian
dilanjutkan Lombok pada tahun 1520 M. Danghyang Nirartha dari Jawa Timur
mendadar di Kapurancak terjadi pada masa Baturenggong, Nirartha membaa perubahan
yang besar terhadap kehidupan agama Hindu di Bali. Kerajaan Gelgel kemdian
diulingkan oleh I Gusti Maruti tahun 1686 M. Raja yang pernah memerintah di
kerajaan ini adalah:
·
Dalem Ketut (1305 S)
·
Dalem Watur Enggong
(Saka 1382-1472/1460-1550M)
·
Dalem Bekung (Saka
1472-1502/1550-1580M)
·
Dalem Sagening (Saka
1502-1543/1580-1621M)
·
Dalem Di Made (Saka
1543-1573/1621-1651M)
·
Gusti Anglurah Ketut
Karang (Saka 1572-1602/1650-1680M)
c.
Kerajaan Klungkung
Merupakan kelanjutan dari kerajaan
Gelgel, didirikan pada abad ke-17 Masehi di Pulau Bali bagian tenggara.
Kerajaan ini meguasai pulau-pulai di lepas pantai Selat Badung. Kerajaan in
berdiri sejak tahun 1668 M 0 1950 M, pada tahun 1908 terjadi Perang Puputan
Klungkung yang menewaskan Dewa Agung Jambe II dan para pengikutnya. Setelah
kemerdekaan Indonesia, Kerajaan Klungkung bersatus sebagai daerah tingkat II
Klungkung. Raja yang pernah memimpin kerajaan ini adalah:
· Dewa
Agung Jambe I (1686 S - 1722 S)
· Dewa
Agung Gede (1722 S - 1736 S)
· Dewa
Agung Made (1736 S - 1760 S)
· Dewa
Agung Śakti (1760 S - 1790 S)
· Dewa
Agung Putra I Kusamba (1790 S - 1809 S) [
· Gusti
Ayu Karang (wali raja, 1809 S - 1814S)
· Dewa
Agung Putra II (1814 S – 1850 S )
· Dewa
Agung Istri Kanya (ratu, 1814 S –1850 S)
· Bhatara
Dalem (1851 S – 1903 S)
· Dewa
Agung Jambe II (1903 S – 1908 S)
d.
Kerajaan Mengwi
I Gusti
Agung Putu adalah putra dari I Gusti Agung Anom. Ia bergelar I Gusti Agung Made
Agung mendirikan kerajaan Mengwi dan menjadi Raja Mengwi I pada tahun 1723 M.
Mengwi pada zaman dahulu merupakan sebuah kerajaan mandiri. Namun, Mengwi kalah
perang dan akhirnya pada tahun 1891 M wilayahnya dibagi-bagi antara Tabanan dan
Badung. Raja yang pernah berkuasa:
·
Gusti Agung Śakti
(Gusti Agung Putu) (1690 S – 1722 S)
·
Gusti Agung Made
Alangkajeng (1722 S – 1740 S)
·
Gusti Agung Putu Mayun
(1740 S)
·
Gusti Agung Made Munggu
(1740 S -1770/80 S)
·
Gusti Agung Putu Agung
(1770/80 S -1793/94 S)
·
Gusti Ayu Oka Kaba-Kaba
(1770/80 S -1807 S)
·
Gusti Agung Ngurah Made
Agung I (1807 S –1823 S)
·
Gusti Agung Ngurah Made
Agung II Putra (1829 S –1836 S )
·
Gusti Agung Ketut
Besakih (1836 S -1850/55 S)
e.
Kerajaan Tabanan
Kerajaan
Tabanan didirikan setelah keruntuhan Majapahit, setelah Dewa Agung Ketut,
penguasa Bali dan Lombok membagi kerajaannya menjadi beberapa kerajaan. Kerajaan
Tabanan merupakan pemegang kekuasaan kedua di Bali. Arya Kenceng, berkuasa di
Pucangan, Buahan (Tabanan) dengan diberikan rakyat sebanyak 40.000 orang.
Sehingga dapat dipastikan berdirinya Kerajaan Tabanan adalah pada tahun 1343
Masehi atau tahun Saka 1265. Kerajaan ini runtuh di tahun 1906 M. Raja yang
pernah memimpin:
· Shri
Arya Kenceng
· Shri
Magada Nata [anak Arya Kenceng]
· Arya
Nangun Graha (Prabhu Singasana) [anak Magada Nata]
· Gusti
Ngurah Tabanan (Prabhu Winalwan) [anak Arya Nangun Graha]
· Gusti
Wayahan Pamedekan [anak Gusti Ngurah
Tabanan]
· Gusti
Made Pamedekan (1647 S - 1650 S) [saudara Gusti Made Pamedekan]
· Gusti
Ngurah Tabanan (Prabhu Winalwanan)
· Prabhu
Nisweng Panida [anak Gusti Made
Pamedekan]
· Gusti
Made Dalang [saudara Prabhu Nisweng Panida]
· Gusti
Nengah Malkangin [anak Gusti Wayahan Pamedekan]
· Gusti
Bolo di Malkangin [anak Prabhu Winalwanan]
· Gusti
Agung Badeng (wali negara, abad ke-17 akhir) [menantu Gusti Made Pamedekan]
· Prabhu
Magada Śakti (1700 S) [anak Prabhu Nisweng Panida]
· Anglurah
Mur Pamade [anak Prabhu Magada Śakti]
· Gusti
Ngurah Sekar (1734 S) [anak Anglurah Mur Pamade]
· Gusti
Ngurah Gede [anak Gusti Ngurah Sekar]
· Gusti
Ngurah Made Rai (1793 S) [saudara Gusti Ngurah Made Gede]
· Gusti
Ngurah Rai Penebel (1793 S - 1820 S) [saudara Gusti Ngurah Made Rai ]
· Gusti
Ngurah Ubung (1820 S) [anak Gusti Ngurah Rai Penebel]
· Gusti
Ngurah Agung I (1820 S - 1844 S) [cucu Gusti Ngurah Made Rai]
Masih terdapat
beberapa kerajaan lagi setelah runtuhnya Kerajaan Bali Kuno, ini dikarenakan terdapat
konflik-konflik yang menyebabkan Bali terpecah-pecah. Diantara kerajaan
tersebut ialah kerajaan Buleleng, Gianyar, Karangasem dan Bangli.
2.4
SISTEM
PEMERINTAHAN
Raja-raja
di Bali menggunakan gelar anak agung, cokorda, ida cokorda,atau yang
lainnya. Raja dihormati sebagai penguasa tertinggi, yang mana kekuasaan
tersebut didapat dari hak keturunan.
Para raja masing-masing tinggal di dalam istana (puri) bersama keluarga
dekat dari raja. Di dalam puri terdapat banyak benda pusaka dan benda upacara
milik kerajaan. Beberapa buah keris tua diantara benda pusaka dikatakan berasal
dari Majapahit. Karena pada jaman dahulu
Bali pernah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Jawa Timur, sekitar pada abad ke-10
oleh Kerajaan Singasari dan abad ke-14 oleh Kerajaan Majapahit. Selain di dalam
purimenyimpan benda-benda pusaka, disana raja juga mempunyai para abdi yang
diberi tugas tertentu. Pada saat upacara resmi dalam istana, para raja dihadap
oleh para punggawa kerajaan, baik yag berada di kota kerajaan maupun yang di daerah-daerah.
Di
beberapa kerajaan Bali terdapat upacara semacam grebeg, dimana raja
menyaksikan parade pasukan bersenjata yang terdiri dari para kaula. Di Kerajaan Badung dan Mengwi, upacara
seperti itu disebut dengan ngarebeg. Di Badung, upacara ngarebeg jatuh
pada hari Kamis Sungsang, sedangkan di Mengwi jatuh pada hari Jum’at Dungulan.
Para
abdi yang beradaa di dalam istana mempunyai beberapa keahlian di bidang
masing-masing. Pada bidang seni, petugas sangging yang ahli dalam ukir-mengukir juga membuat
patung, ia ditugaskan menghias puri dan rumah-rumah bangsawan keluarga raja.
Kemudian para undagi druwe mempunyai tugas membuat bangunan-bangunan dan
barang dari kayu, seperti yang terdapat di puri kerajaan Klungkung. Di puri Gianyar juga terdapat kelompok abdi pangentengan
yang mempunyai tugas membuat genteng untuk keperluan puri.
Kelompok-kelompok petugas tersebut masing-masing dikepalai oleh prebekel. Di
dalam puri terdapat pula prebekel gong yang diserahi tugas mengenai alat-alat gamelan di dalam istana. Kelompok
dari prabekel pengobatan bertugas mengurusi obat senjata api, kelompok prabekel
pengawin bertugas membuat tombak
waktu mengiringi raja, kelompok prabekel luput senapan ditugaskan
sebagai pengiring raja dengan bersenjatakan senapan, dan masih terdapat
kelompok-kelompok petugas lain di dalam puri.
Para
abdi yang bekerja untuk keperluan dalam puri biasanya disebut pangayah
sjroning ancak siji. Sedangkan para
abdi yang bekerja di luar puri disebut truna manca jabaning ancak saji. Kelompok
pekerja dalam puri yang di beberapa kerajaan juga disebut panjeroan mempunyai
tempat tinggal di sekitar puri dan mendapat kebutuhan hidup sehari-hari
(pecatu) dari puri. Masih perlu pula disebut abdi raja yang menjadi pengayah
kadalem yang diberi tugas untuk menjaga pasanggarahan raja. Sebagai
pengahssilan, mereka juga mendapat sebidang tanah sebagai tanah pecatu .
Pangayah kadalemdiberi tugas juga untuk menjaga rumah-rumah raja dan para
pembesar kerajaan.
Pergantian
raja-raja Bali didasarkan pada hak karena keturunan. Biasanya pengganti raja
yang sudah meninggal adalah putra laki-laki yang lahir dari permaisuri yang
berasal dari golongan bangsawan
(ksatriya). Apabila putra laki-laki lebih dari soerang, raja ,memilih putra
yang dicintai dan dianggap cakap sebagai calon pengganti. Adapun adat
kebiasaan di Bali, bahwa putra mahkota,
baru aktif menjadi raja setelah upacara pembakaran jenazah dari raja yang baru
saja meninggal telah selesai. Apabila putra mahkota yang telah ditunjuk sebagai
pengganti raja masih dibawah umur, biasanya diakili oleh ibuny atau salah
seorang bangsawan yang dipilih oleh para
punggawa pedanda istana. Atau juga bisa dibentuk suatu dewan perwalian
yang terdiri dari para bangsawan dan punggawa istana yang mana kekuasan
kerajaan semantara dipegang oleh dewan tersebut. Namun meskipun berbagai cara
dapat dilakukan untuk pemegang kekuasaan, tetaplah dari bangsawan keluarga
terdekat dari raja.
Raja
dibantu oleh para pejabat pemerintahan yang secara hierarkis menduduki fungsi
tertentu dalam birokrasi kerajaan. Pusat pemegang kekuasaan adalah raja, yang
di dalam mengambil kebijkasanaan dalam pemerintahan di dampingi oleh sebuah
Dewan Kerajaan (Pasamuan Agung). Tugas pokok Pasamuan Agung adalah memberi
nasihat dan pertimbangan pada raja dalam memecahkan persoalan-persoalan sulit
yang dihadapi oleh pemerintah kerajaan dan ikut membantu dalam penyusunan
undang-undang kerajaan. Di samping itu Pasamuan Agung juga diserahi tugas untuk mengurusi hubungan
dengan penguasa-penguasa di luar kerajaan. Di beberapa kerajaan penguasa
pembantu raja disebut made atau pamade.
Di
dalam melakukan pekerjaan sehari-hari raja dibantu oleh seorang Bagawanta. Di
bawah raja terdapat jabatan patih, prebekel atau pambekel kota dan
punggawa-punggawa daerah. Di kerajaan Badung, jabatan patih merangkap tugas sebagai jaksa atau sedahhan
gede. Sesuai dengan pembagian wilayah kerajaan, punggawa-punggawa dikuasai
pleh raja untuk memerintah di daerah-daerah dan membawahkan pejabat-pejabat
pemerintahan bawahan sampai di tingkat desa. Punggawa-punggawa ini kedudukannya
setara dengan kepala distrik.
2.5
KEHIDUPAN MASYARAKAT
Masyarakat sebelum masa
pemerintahan Gunapriya dan Udayana hidup secara berkelompok dalam suatu daerah
yang disebut Wanua, sedangkan
penduduknya disebut sebag anak wanua.
Sebagian besar penduduk hidup bercocok tanam. Hal ini berasal dari istilah tanayan thani atau anak thani yang menunjukkan adanya masyarakat yang agraris.[18]
Sewaktu pemerintahan Anak Wungsu masyarakat dibagi menjadi dua kelompok besar,
yaitu golongan catur warna dan luar kasta atau budak. Pembagian berasal
dari agama Hindu. Bahkan sampai sekarang masyarakat Bali tetap masih mengenal
pembagian masyarakat Caturwangsa (empat
golongan) terutama di wilayah Bali sebelah selatan.
Disamping
itu peraturan-peraturan mengenai perkawinan, perbudakan, kematian, pencurian,
dan sebagainya diatur dengan baik oleh pemerintah. Dalam bidang agama pengaruh
Megalitikum di Bali masih terasa sangat kuat. Hal ini terlihat dari bangunan
pura yang berbentuk undak-undakan, juga kepercayaan terhadap dewa-dewa alam
yang setelah datangnya agama Hindu dan Budha disembah bersamaan dengan dewa.
Kadang-kadang dewa tertentu namanya diubah dalam bahasa Sansakerta.
Pada
masa pemerintahan Sri Wijaya Mahadewi, diketahui bahwa biksu menggunakan nama
Siwa. Pada masa pemerintahan Udayana dua aliran agama dipeluk oleh penduduk
yaitu Budha dan Hindu Siwa. Namun, masih ada beberapa penduduk yang menganut
sekte-sekte kecil ynag menyemba dewa tertentu, seperti sekte Ganapatya, Sora dan Ganesha.
Baca Juga: Kerajaan Kutai
[1] P. Pelliot mengidentifikasikan
Po-Li dengan Bali, terdapat perbedaan pengidentifikasian oleh sejarawan lain. (Marwati
Juned Puspnegoro, Sejarah Nasional
Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1984, hlm. 281)
[2] Marwati Juned Puspnegoro, Sejarah Nasional Indonesia, Balai
Pustaka: Jakarta, 1984, hlm. 281
[3] Ibid.
[4] Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, Balai
Pustaka: Jakarta, 1977, hlm. 135
[5] Berarti ketua atau pimpinan
desa
[6] Kalimat permulaan prasasti
menggunakan yumu pakatahu yang
maknanya ketahuilah kamu sekalian
[7] Berarti tempat melapor, berasal
dari kata lapu (lapor)
[8] Marwati Juned Puspnegoro, Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 284
[9] Ibid, hlm. 94
[10] Angka tahun diperoleh dari
penerjemahan prasasti, ada kemungkinan Tabenendra sudah berkuasa sebelum tahun
877 Saka, demikian juga dengan akhir pemerintahannya.
[11] Menurut Damais, kemungkinan yang terjadi adalah Jayasingha merebut
kekuasaan Tabenendra untuk beberapa tahun, namun akhirnya dapat direbut kembali
oleh Tabenendra.
[12] Teori ini berasal dari van
Stein Callenfels, yang didukung oleh Goris (Sartono Katrodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 141)
[13] Didukung oleh Damais
berdasarkan pendapat Moens dalam karangannya (Ibid)
[14] Marwati Juned Pusponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 298
[15] Temapt beribadah yang berkenaan
dengan daerah Utara yang sangat berkuasa, disini maksudnya India Selatan.
[16] Di tahun 1206 S Raja
Kartanegara dari Sngosari berhasil mengalahkan Bali, di tahun 1214 Sdi Jaa
terjadi huru-hara karena adanya ekspansi dari Negeri Cina dan munculnya
kerajaan Majapahit.
[17] Deni Prasetyo, Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara, Pustaka
Widyatam: Yogyakarta, 2009, hlm. 23
[18] Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 175
0 komentar:
Post a Comment