Tasawuf | Sejarah Kemunculan dan Posisinya Dalam Islam


Tasawuf | Sejarah Kemunculan dan Posisinya Dalam Islam, blogspot.com
Tasawuf dapat dikatakan sebagai suatu revolusi spiritual. Tidak seperti dimensi keagamaan lainnya, tasawuf akan selalu meperbarui dan menyemai kekosongan jiwa manusia. Kelimpahruahan materi yang mewarnai kehidupan dunia ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting. Sebaliknya, kelimpahruahan hatilah yang menjadi penopangnya. Sufi adalah orang yang kaya hati, tetapi tidak pasif terhadap kenyataan hidup. Kehidupan di dunia ini bagi sang sufi adalah fakta yang tidak dapat diingkari. Mereka menghadapinya secara realistis. Kedekatan seorang sufi kepada Allah, membuatnya selalu percaya diri dan optimis. Semangat mereka dalam beraktivitas selalu menyala, sebab semua yang dilakukan bertujuan mencari ridho Allah.
Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam sekaligus perwujudan dari ihsan yang menyadari akan adanya komunikasi antara hamba dan Tuhannya. Tasawuf merupakan jantung bagi pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan kunci kesempurnaan amaliah, di samping hal lain yang juga sama pentingnya, yaitu akidah dan syariat.[1]
1.2 Rumusan Masalah
a.       Pengertian tasawuf
b.      Sejarah kemunculan tasawuf
c.       Posisi tasawuf dalam Islam : Syariat dan Hakikat

BAB II 
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tasawuf Secara Etimologi
            Secara etimologi, kata tasawuf berasal dari bahasa Arab, yaitu tashawwafa, yatashawwafu, tashawwufan. Ulama berbeda pendapat dari mana asal-usulnya. Ada yang mengatakan dari kata shuf  (bulu domba), shaff (barisan), shafa’(jernih), dan shuffah (serambi Masjid Nabawi yang ditempati sebagian sahabat Rasulullah SAW).[2]
            Pemikiran masing-masing pihak itu dilatarbelakangi oleh fenomena yang ada pada diri sufi. Secara etimologi, pengertian tasawuf dapat dimaknai menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut.
     1. Tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan ahl ash-shuffah yang berarti sekelompok oran di masa Rasulullah yang banyak berdiam di serambi-serambi masjid dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang ikut pindah dengan Rasulullah dari Mekkah ke Madinah, kehilangan harta, berada dalam kemiskinan, dan tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di masjid Rasulullah dan duduk daitas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. pelana disebut shuffah dan kata sofa dalam bahasa-bahasa di Eropa dari kata ini.[3]
     2.  Tasawuf bersala dai kata shafa’ yang artinya suci. Kata shafa’ ini berbentuk fi’il mabni majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf ya’ nisbah yang berarti sebagai nama bagi orang-orang yang bersih atau suci. Jadi, maksudnya adalah mereka itu menyucikan dirinya di hadapan Tuhan melalui latihan yang berat dan lama.[4]
     3.   Tasawuf berasal dari kata shaff. Makna shaff ini dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu berada di shaf (barisan) terdepan. Sebagaimana halnya shalat di shaf pertama mendapat kemuliaan dan pahala, maka orang-orang penganut tasawuf ini dimuliakan dan diberi pahala oleh Allah.[5]

     4.  Ada yang menisbahkan tasawuf bersal dair Bahasa Yunani, yaitu shopos. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata hikmah berarti kebijaksanaan. Pendapat ini dikemukakan oleh Mirkas, kemudian diikuti oleh Jurji Zaidan dalam kitabnya, Adab Al-Lughah Al’Arabiyyah.
     5. Tasawuf berasal dari kata shaf. Artinya ialah kain yang tebuat dari bulu wol. Namun, kain wol yang dipakai adalah wol kasar, bukan wol halus sebagaimana kain wol sekarang. Memakai wol kasar pada waktu itu adalah simbol kesederhanaan. Para penganut tasawuf ini berhati mulia, menjahui pakaian sutra, dan memakai wol kasar.[6]
Inilah lima teori tentang asal-usul kata tasawuf. Dari lima teori ini, teori yang paling banyak disetujui, yaitu bahwa kata tasawuf berasal dari kata shuf  yang artinya kain yang terbuat dari bulu wol.
2.2 Pengertian Tasawuf Secara Terminologi
Para ahli berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian tasawuf. Berikut adalah pendapat mereka.
      1.  Ma’ruf Al-Karkhi
Tasawuf menenkankan hal-hal yang hakiki dan mengabaikan segala apa yang ada pada makhluk. Barangsiapa yang belum bersungguh-sungguh dengan kefakiran, berarti belum bersungguh-sungguh dalam bertasawuf.
      2.  Zakaria Al-Anshari
Tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti serta pembangunan lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.[7]
      3.  Ahmad Zaruq
Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya untuk Allah semata.[8]
      4. Al-junaid
Tasawuf adalah membersihkan hati dari yang mengganggu perasaan, berjuang menanggalkan pengaruh insting, memadamkan kelemahan, menjahui seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting danlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semua manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, serta mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat.[9]
      5.  Abu Hasan asy-Syadzili
Tasawuf adalah melatih jiwa untuk tekun beribadah dan mengembalikannya kepada hukum-hukum ketuhanan.[10]
      6. Ibnu Ujaibah
Tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui cara mencapai Allah, membersihkan batin dari semua akhlak tercela dan menghiasnya dengan beragam akhlak terpuji. Awal dari tasawuf adalah ilmu, tengahnya adalah amal dan akhirnya adalah karunia.[11]
      7.  Ibnu Khaldun
Tasawuf semacam ilmu syariat yang timbul kemudian di dalam agama. Asalnya adalah tekun beribadah, memutuskan pertalian terhadap segala sesuatu kecuali Allah, hanya menghadap-Nya, dan menolak perhiasan dunia. Selain itu, membenci perkara yang selalu memperdaya orang banyak, sekaligus menjahui kelezatan harta, dan kemegahannya.[12]
      8.  Sayyed Hussein Nasr
Tasawuf ialah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat mebebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi dan mendekatkannya kepada Allah sehingga jiwanya bersih serta memancarkan akhlak mulia. Tasawuf secara hakiki mengingatkan manusia siapa ia sebenarnya. Artinya, manusia dibangunkan dari mimpinya yang disebut dengan kehidupan sehari-hari dan jiwanya yang memiliki timbangan objektif itu bebas dari pembatasan penjara khayali ego.[13]
      9.      H.M. Amin Syukur
Tasawuf ialah sistem latihan dengan kesungguhan untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sehingga segala perhatian tertuju kepada-Nya. 
      10.  Haji Khalifah
Tasawuf adalah ilmu yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang mengetahui kebenaran. Dia tak akan dikenal oleh orang yang tidak mengalaminya, dan bagaimana mungkin orang buta bisa melihat cahaya?
      11.  Drs. Samsul Munir Amin, M.A.
Tasawuf ialah usaha melatih jiwa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Tuhan sehingga jiwanya menjadi bersih, mencerminkan akhlak mulia dalam kehidupannya, dan menemukan kebahagiaan spiritual.[14]
Dari beberapa definisi yang disebutkan oleh pakar tasawuf, ada satu asas yang disepakati, yaitu tasawuf ialah moralitas yang berasaskan Islam. Artinya, pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat Islam, seluruh ajaran Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral.[15]

2.3 Sejarah Perkembangan Tasawuf
            Sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf dalam Islam, menurut para peneliti, sesungguhnya sama dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam sebagai agama. Hal ini mengingat keberadaan sama dengan keberadaan Islam itu sendiri. Karena, pada hakikatnya agama Islam itu ajarannya hampir dapat dikatakan bercorak tasawuf.[16]
            Sejak zaman Rasulullah SAW bahkan sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Kehidupan beliau sudah mencerminkan ciri dan prilaku kehidupan sufi. Hal itu dapat dilihat dari kehidupan sehari-harinya yang sangat sederhana, di samping menghabiskan waktu untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
            Jadi, Rasulullah SAW telah memberikan landasan berdasarkan wahyu ilahi dalam kehidupan tasawuf. Kehidupan beliau yang sangat sederhana dan meninggalkan kehidupan mewah bertujuan memberi contoh bagi para sahabatnya. Kehidupan beliau tidak mementingkan kemewahan materi, tetapi lebih mementingkan kekayaan mental spiritual. Akibatnya , hubungan transendental dengan Tuhan memiliki makna yang hakiki dan jiwa memiliki daya perekat dan kedekatan dengan-Nya.[17]
            Dalam perkembangan sejarah , ada salah seorang sahabat yang secara khusus memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran yang dicontohkan Rasulullah SAW. Para ahli sejarah telah menengarai bahwa sahabat inilah yang pertama mencoba memfilsafatkan ibadah dan menjadikannya secara satu “tarekat” yang lebih khusus. Sahabat tersebut adalah Hudzaifah Al-Yamani.[18]
            Perkembangan sufi kemudian dilanjutkan oleh generasi tabi’in, diantaranya Imam Hasan Al-Basri, seorang ulama besar masa tabi’in murid dari Hudzaifah Al-Yamani. Ia adalah orang pertama yang mendirikan pengajian tasawuf di kota Bashrah. Di antara muridnya yang mengikuti pengajian tasawuf di madrasah tasawuf miliknya itu adalah Malik bin Dinar dan Tsabit Al-Banani.
            Pada abad-abad berikutnya berikutnya, ilmu  tasawuf semakin berkembang sejalan dengan perkembangan agama Islam di berbagai belahan bumi. Dalam hal perkembangan agama Islam di berbagai wilayah dunia Islam, para sufi berperan besar dalam menyebarkan dan mengembangkan ajaran-ajaran agama Islam kepada kaum muslimin.
            Dari data historis di atas, dapat disimpulkan bahwa tasawuf bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam. Dasar dari ajaran tasawuf diserap dari sejarah dan peri kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Tasawuf tidak diserap dari dasar yang tidak ada hubungannya dengan Islam, sebagaimana diklaim oleh sebagian orientialis dan murid-murid mereka.[19]

2.4 Posisi Islam Dalam Tasawuf : Syariat dan Hakikat
            Pada sebagian umat Islam, respon terhadap kehadiran Tuhan diekspresikan dalam bentuk ibadah fromal, seperti shalat, pauasa, haji dan berdoa. Sebagian yang lain merasa tidak cukup hanya dengan melaukan itu, lebih jauh mereka mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya. Cara yang disebut terakhir ini dinamakan tasawuf atau mistisme Islam.[20]
            Dalam Islam, keagamaan yang bersifat mistik itu dikenal dengan tasawuf. Kaum orientalis menyebutnya sufisme. Sufisme bertujuan memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Initisari dari sufisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniah antara manusia dengan Tuhan melalui kontemplasi.
            Untuk memahami keberadaan agam Islam perlu dikaji dan ditelaah dengan tiga prespektif; filosofis, sosio-historis, dan spiritual mistikal. Hail ini sejalan dengan dengan trilogi agama Islam berupa wacana iman (lingkup filosofis), Islam (lingkup sosio-historis), dan ihsan (lingkup spiritual). Untuk memahami trilogi keagamaan diatas diperlukan perangkat-perangkat yang mendukung dalam mengaktualisasikannya. Iman memunculkan cabang ilmu tauhid (ilmu kalam, ushuluddin) untuk memahami dan mengimani keberadaan Allah. Islam memunculkan ilmu fiqh beserta ushul fiqh untuk menggali ilmu-ilmu hukum atau syariat Islam. Sementara itu, ihsan memunculkan ilmu tasawuf beserta cabang-cabangnya unutk mendekatkan diri kepada Allah.
            Kajian-kajian tasawuf tidak lain adalah mementingkan kebersihan batin dan kesucian jiwa. Karena itu, bisa dikatakan bahwa tasawuf yang berasal dari ihsan merupakan roh atau jiwa dari iman dan islam. Iman sebagai pondasi yang ada pada jiwa seseorang dari hasil perpaduan antara ilmu dan keyakinan, pelaksanaannya yang berupa tindakan badaniah (ibadah lahiriah) disebut Islam. Perpaduan antara iman dan islam pada diri seseorang akan menjelma dalam pribadi dalam bentuk akhlak atau disebut ihsan. Oleh karena itu, kedudukan tasawuf dalam Islam sangat penting dan tidak bisa dipisahkan.[21]
a.       Syariat
Syariat artinya undang-undang atau garis-garis yang telah ditentukan termasuk di dalamnya hukum-hukum halal dan haram, yang diperintah dan dilarang, sunnah, makruh, serta mubah. Syariat dipandan oleh orang-orang sufi sebagai ajaran Islam yang bersifat lahir. Menurut kaum sufi, syariat sebagai amalan-amalan lahir yang difardhukan dalam agama yang dikenal dengan rukun Islam dan segala hal yang berhubungan dengan itu bersumber dari Alqur’an dan Hadits. Oleh karena itu, bagi seseorang yang ingin memasuki dunia tasawuf harus lebih dahulu mengetahui secara mendalam isi ajaran Alqur’an dan hadits yang dimulai dengan amalan lahir, baik yang wajib maupun sunnah.
Dengan demikian, setiap sufi pada hakikatnya adalah orang-orang yang telah mengamalkan perintah Allah secara baik, benar tuntas, dan menyeluruh. Tanpa melalui tahapa ini seseorang tidak akan mampu naik ke jenjang yang lebih tinggi. Jika ada orang yang mengaku sebagai pengamal ajarn sufi tetapi ia meninggalkan syariat, dapat dikatakan bahwa ia telah mengikuti ajaran sesat.[22]

             b.      Hakikat
Hakikat secara etimologi berarti inti sesuatu, puncak atau sumber asal dari sesuatu. Dalam dunia sufi, hakikat diartikan sebagai aspek lain dari syariat yang bersifat lahiriah, yaitu aspek batiniah. Degan demikian hakikat dapat diartikan sebagai rahasia paling dalam dari segala amal, inti dari syariat, dan akhir dari perjalanan yang ditempuh seorang sufi.
Menurut Al-Qusyairi, “setiap syariat tanpa diperkuat dengan hakikat tidaklah diterima, dan setiap hakikat yang tidak dilaksanakan menurut ketentuan syariat adalah kosong.” Dalam hal ini, kata syariat menurut sebagian kaum sufi diartikan dengan perintah dalam melaksanakan ibadah dan hakikat diartikan dengan musyahadah terhadap Tuhan.[23]
Untuk memperjelas hubungan antara syariat dan hakikat, kita berikan contoh shalat. Melakukan gerakan-gerakan shalat dan pekerjaan-pekerjaan lahiriahnya, memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya, serta hal-hal lain yang disebutkan oleh para ulama fiqh, merupakan sisi syariat, yaitu jasad shalat. Sedangkan hadirnya hati bersama Allah dalam shalat merupakan sisi hakikat, yaitu roh shalat.[24]
Dengan sampainya seseorang ke tingakat hakikat berarti telah terbuka baginya rahasia yang terkandung dalam syariat. Ia dapat memahami dan menghayati segala kebenaran, bahkan dapat mengetahui hal-hal yang bertalian denga Tuhan. Jadi, hakikat adalah mengetahui inti yang paling dalam dari sesuatu sehingga tidak ada yang tersembunyi bagniya.

    BAB III   
 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Secara etimologi, kata tasawuf berasal dari bahasa Arab, yaitu tashawwafa, yatashawwafu, tashawwufan. Ulama berbeda pendapat dari mana asal-usulnya. Ada yang mengatakan dari kata shuf  (bulu domba), shaff (barisan), shafa’(jernih), dan shuffah (serambi Masjid Nabawi yang ditempati sebagian sahabat Rasulullah SAW).
            Secara terminologi tasawuf ialah usaha melatih jiwa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Tuhan sehingga jiwanya menjadi bersih, mencerminkan akhlak mulia dalam kehidupannya, dan menemukan kebahagiaan spiritual.
            Tasawuf bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam. Dasar dari ajaran tasawuf diserap dari sejarah dan peri kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Rasulullah SAW telah memberikan landasan berdasarkan wahyu ilahi dalam kehidupan tasawuf. Kehidupan beliau yang sangat sederhana dan meninggalkan kehidupan mewah bertujuan memberi contoh bagi para sahabatnya.
            Kajian-kajian tasawuf tidak lain adalah mementingkan kebersihan batin dan kesucian jiwa. Karena itu, bisa dikatakan bahwa tasawuf yang berasal dari ihsan merupakan roh atau jiwa dari iman dan islam. Iman sebagai pondasi yang ada pada jiwa seseorang dari hasil perpaduan antara ilmu dan keyakinan, pelaksanaannya yang berupa tindakan badaniah (ibadah lahiriah) disebut Islam. Perpaduan antara iman dan islam pada diri seseorang akan menjelma dalam pribadi dalam bentuk akhlak atau disebut ihsan. Oleh karena itu, kedudukan tasawuf dalam Islam sangat penting dan tidak bisa dipisahkan.

Baca Juga: Akhlak Bermasyarakat


[1] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm. 2.
[2] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm. 2-3.
[3] Moh. Saifulloh Al-Aziz, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998), hlm. 10-11.
[4] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm. 3.
[5] Ibid., hlm. 3.
[6] Ibid., hlm. 4.
[7] Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, (Jakarta: Qisthi Press, 2005), hlm. 5.
[8] Ibid., hlm. 5.
[9] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 147.
[10] Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, (Jakarta: Qisthi Press, 2005), hlm. 6.
[11] Ibid.
[12] HAMKA, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), hlm. 2.
[13] Sayyed Hussein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm. 40.
[14] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm. 9.
[15] Ibid.
[16] Ibid., hlm. 88.
[17] Ibid., hlm. 90.
[18] M. Nasruddin Anshory Ch, Mengintip Singgasana Tuhan Mengupas Tasawuf Secara Sederhana, (Surakrta: Babul Hikmah, 2008), hlm. 14-15.
[19] Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, (Jakarta: Qisthi Press, 2005), hlm. 12.
[20] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm. 33.
[21] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm. 34.
[22] Ibid., hlm. 48.
[23] M. Aswjadie Syukur, Ilmu Tasawuf II, (Surabaya: Bina Ilmu, t.th), hlm. 28.
[24] Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, (Jakarta: Qisthi Press, 2005), hlm. 332.

0 komentar:

Post a Comment