Sultan Aurangzeb, wiki |
“Sultan Gagah Dinasti Mughal Pangkal
Keruntuhan Dinasti Ini”
Muhyiddin
Aurangzeb ‘Alamgir adalah anak ketiga dari Sultan kelima Dinasti Mughal, yaitu
Syihabuddin Syah Jihan. Aurangzeb adalah seorang pemuda yang gagah yang menjadi
panglima perang saat masa pemerintahan ayahnya. Semua pemberontakan yang datang
hampir tidak mungkin dapat mengalahkan Aurangzeb. Selain itu kelebihan panglima
perang ini adalah ketaatannya terhadap Allah. Hampir di sepertiga malam ia
terbangun dan bermunajat pada Allah. Ibadah-ibadah sunnah lain juga tidak
diragukan lagi.
Kehebatannya
ini pada akhirnya memunculkan polemik dalam keluarga kerajaan. Anak pertama
dari Syah Jihan bernama Dara ternyata merasa iri pada kehebatan Aurangzeb. Ia
sering menghasut Syah Jihan untuk memperlakukan Aurangzeb tidak adil, hal ini
disebabkan karena ia tau bahwa Aurangzeb adalah penghalangnya dalam memperoleh kekuasaan
di Mughal. Lama kelamaan Aurangzeb menyadari ketidakadilan tersebut, dan mencurigai
Dara telah menghasut ayahnya. Dengan strateginya, ia mengajak dua saudaranya
bernama Syuja’ dan Murad untuk melawan Dara dan Ayahnya. Akhirnya Dara kalah,
dan pasukan Aurangzeb masuk ke dalam istana lalu mengirim utusan ke pada Syah
Jihan, dan diminta untuk tidak khawatir atas masuknya ia ke dalam kota.
Mendengar kabar itu, maka tenanglah Syah Jihan dan pintu kota dibuka untuk
menyambut Aurangzeb. Namun barulah tiba di istana, Aurangzeb mengingkari
janjinya, Syah Jihan ditangkap dan dipenjarakan.
Aurangzib
naik tahta setelah memenjarakan Ayahnya (Syah Jihan), menangkap dan membunuh
Murad, memenggal kepala saudara Tertuanya (Dara), dan mengusir Syuja’ dari
tahtanya di Benggala. Maka ia resmi mengangkat dirinya sebagai Raja pada 1659.
Aurangzib adalah raja yang senantiasa diperbincangkan oleh sejarawan karena
keganjilan kepribadiannya. Kendati demikian, ternyata Aurangzib adalah raja
yang taat kepada Allah dan melakukan apapun demi Agama yang di anutnya. Motif
kudeta yang dilakukannya lebih didasarkan pada kepentingan penyelamatan
nilai-nilai Syariat Islam, sekalipun tidak menutup kemungkinan adanya faktor
pribadi.
Dibalik
kejahatannya terhadap saudara-saudara dan ayahnya, sepanjang masa pemerintahan
Aurangzeb banyak keberhasilan yang dicapai dalam bidang ekonomi, sosial,
politik, maupun agama. Pencapaian ekonomi dapat dikatakan membuat masyarakat
sejahtera, dan berpengaruh pada kondisi sosial politik yang stabil. Selain itu
perhatiannya terhadap agama telah mempengaruhi kebijakan perpolitikan Aurangzeb,
ia menganeksasi wilayah-wilayah kerajaan Hindustan dan wilayah Islam yang belum
tunduk ke Mughal.
Dan
penakhlukan wilayah baru melebihi pencapaian wilayah Sultan Akbar (Sultan
Mashur Dinasti Mughal). Penaklukan yang dilakukan Aurangzeb bisa dikatakan tanpa
halangan yang berarti. Kecakapannya dalam memimpin perang tidak diragukan lagi,
hampir 90% Hindustan (Sekarang negara India, Bangladesh, Afghanistan), sudah
tunduk di bawah kekuasaan Mughal, hanya sebagian kecil saja dibagian pesisir
selatan yang masih kuat Hindunya. Pada masa Aurangzeb inilah India mencapai
kejayaan Islam dengan penerapan Syariat Islam secara menyeluruh. Wilayah yang
luas didukung dengan kestabilan ekonomi dan politik membawa dinasti Mughal
mencapai Golden age untuk kedua kalinya setelah dahulu pernah dibawa
oleh Sultan ketiga yaitu Jalaluddin Akbar.
Kekuasaan
yang mengkilap dan gemerlap namun juga penuh syiar Islam dirasakan pada periode
ini. Pada saat itu hampir-hampir musahil ada pasukan militer yang mampu
mengalahkan kedigdayaan pasukan Aurangzeb, bahkan Utsmaniyah sekalipun. Namun
kegemerlapan ini segera berakhir saat wafatnya Sultan Kontroversial ini,
Aurangzeb wafat setelah 47 tahun memimpin Mughal. Setelah Aurangzib wafat,
diangkatlah anaknya yaitu Sultan Muhammad Syah pada 1707. Tetapi Muhammad Syah
tidaklah mampu mengatur kerajaan besar yang diwariskan oleh ayahnya, sehingga
goyahlah kerajaan Mughal. Pada 1739 kerajaan Mughal diserang oleh Nadir Syah
penguasa Afghanistan, akhirnya Mughal mengaku tunduk kepada kekuasaan Nadhir Syah
Afghanistan.
Kemunduran
demi kemunduran melanda Mughal, sampai Sultan Muhammad Syah wafat dan
digantikan Sultan A’lam Syah. Kendati tetap menggunakan gelar Syah, namun
kekuasaannya berada dibawah naungan kerajaan Afghanistan. Belum lagi kekuatan Inggris
yang kian lama kian besar pengaruhnya. Suasana bertambah kacau saat A’lam Syah
dibutakan matanya oleh panglimanya sendiri, dan intervensi Inggris dalam perekonomian
semakin kuat. A’lam Syah wafat pada 1806
dan digantikan Sultan Muhammad Akbar. Selama 31 tahun kekuasaannya (sampai
1837), ia hanya meneruskan penderitaan ayahnya saja. Setelah Akbar wafat,
naiklah Bahadur Syah. Kondisinya pun tidak berbeda dari pendahulunya, ia
menjadi sultan hanya sebagai simbol oleh kompeni Inggris, perbulannya pun Bahadur
digaji
Dari secuil sejarah
Dinasti Mughal di atas bisa kita ambil pelajaran. Pembunuhan untuk mendapatkan
kekuasaan dalam Islam sudah jelas tidak dibenarkan, sekalipun alasannya adalah
ingin menyelamatkan Syari’at. Pencapaian gemilang seorang Aurangzeb dalam
pemerintahan juga tidak ubahnya hanya pencapaian kehidupan duniawi yang semu
semata. Dan pelajaran yang terakhir adalah, seorang raja yang gagah dan
memiliki kekuasaan luas serta kedigdayaan pemerintahan tidak akan terus eksis
tanpa adalanya regenerasi. Pencapaian gemilang Aurangzeb tidak pernah dibarengi
dengan upaya kaderisasi generasi penerus Dinasti, yang pada akhirnya membuat
kerajaan menjadi lemah sepeninggalnya. Kerajaan Mughal yang agung di Asia
Selatan akhirnya tak ada harganya dan dinjak Inggris karena kecerobohan seorang
sultan yang gagah. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari setiap kejadian
yang terjadi.
Buku bacaan:
(1) Hamka. 1975. Sejarah Umat Islam III. Jakarta:
Bulan Bintang.
(2) Karim, M. Abdul. 2014. Sejarah
Pemikiran dan Peradaban islam. Yogyakarta:
Bagaskara.
(3) Thohir dan Ading. 2006. Islam di
Asia Selatan. Bandung: Humaniora.
Baca Juga: Kerajaan Mughal India
0 komentar:
Post a Comment