Mutlaq dan Muqayyad


   
Mutlaq dan Muqayyad, slidesharecdn.com
A.  
Pendahuluan
1.        Latar Belakang
Al-Quran merupakan mukjizat dalam Islam yang kekal, dan kemajuan ilmu pengetahuan selalu memperkuatnya.[1] Kajian dalam bidang tafsir memang sangat menarik, terlebih jika dikaitkan dengan permasalahan permasalahan yang sedang hangat menjadi pembicaraan publik. Dengan tafsir ini dapat membuktikan bahwasannya al-Qur’an al Karim memang sangat sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak ketinggalan.
Berbicara mengenai masalah tafsir, terdapat kaidah-kaidah tertentu yang sangat membantu para mufassir dalam menafsirkan teks-teks al-Qur’an dan kaidah-kaidah itu mencakup berbagai macam ilmu sehingga dapat dicapai maksud yang dituju oleh suatu nas.
Untuk mencapai hal itu , diperlukan beberapa kaidah-kaidah yang bertalian dengan ilmu tafsir, yang dalam hal ini antara lain adalah kaidah Bahasa, Ushul, maupun Logika. Pada pembahasan kali ini penulis akan mencoba memaparkan sedikit mengenai muthlaq dan muqayyad. Muthlaq dan muqayyad masuk kedalam pembahasan kaidah ushul ataupun ushul fiqih, dengan mengetahui muthlaq dan muqayyad kita dapat mengetahui hukum dari sebuah ayat dan bagaimana memberlakukan ayat-ayat tersebut sesuai dengan yang dituju.

2.           Rumusan Masalah
a.    Apa yang dimaksud dengan muthlaq dan muqayyad?
b.    Bagaimana hukum yang muthlaq dan muqayyad?

  
Kata muthlaq ( مطلق ) dari segi bahasa berarti sesuatu yang dilepas/tidak terikat. Dari akar kata yang sama lahir kata thalaq (talak), yakni lepasnya hubungan suami istri sehingga baik suami maupun istri sudah tidak saling terikat.[2]
Ada beberapa definisi mengenai muthlaq, yakni:
1.      Menurut al-Suyuti, muthlaq adalah petunjuk pada sesuatu tanpa pembatas, dan hubungan muthlaq dan muqayyad seperti hubungan ‘am dan khas.[3]
2.      Menurut Manna’ al-Qattan, muthlaq adalah sesuatu yang menunjukkan pada suatu hakikat tanpa pembatas, jadi ia hanya menunjuk pada satuan yang tidak dari hakikat tersebut.[4]
3.      Menurut Abd al-Wahhab Khalaf, muthlaq adalah sesuatu yang menunjukkan pada satuan yang tidak dibatasi lafadznya dengan batasan apapun.[5]
4.      Menurut M. Quraish Shihab, muthlaq adalah lafadz yang menunjuk satu atau beberapa satuan dari segi substansinya tanpa ikatan apapun.[6]
Contoh muthlaq adalah:
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah : 3).
Lafadz raqabah dalam ayat di atas merupakan muthlaq karena tidak dibatasi oleh lafadz apapun.
Contoh lain terdapat pada surat al-Nisa ayat 23, yakni:
... ibu-ibu isterimu (mertua)
Ayat ini menunjukkan bahwa ibu mertua haram dinikahi setelah anaknya telah diakadi.
Sepakat para ulama meyatakan bahwa ketetapan hukum menyangkut yang muthlaq mencangkup seluruh satuannya.[7] Ulama berpendapat bahwa jika ditemukan dalil yang menunjukkan batasan muthlaq, maka jadilah muqayyad, dan jika tidak maka tidak. Tetapi yang muthlaq akan tetap mada kemutlakannya, serta muqayyad tetap pada batasannya karena Allah berbicara pada kita dengan bahasa Arab.[8] Lafadz yang muthlaq dipahami atas dasar kemutlakannya kecuali jika ada dalil membatasinya. Dan jika ada dalil yang membatasinya, maka dalil itu memalingkan dari kemutlakannya dan menjelaskan pada yang dimaksud.[9] Begitu pula yang muqayyad disepakati tetap dalam keterikatannya. Tidak boleh dialihkan maknanya kecuali kalau ada indikator kuat yang menunjukkan bahwa batasan itu tidak berlaku.[10]
Sedangkan muqayyad adalah suatu lafadz yang didalamnya mengandung qayyid atau batasan didalamnya. Sehingga dalam pembuatan hukumnya ada batasan-batasan hukum itu sesuai dan dapat diterima. Sebagai contoh adalah pada lafadz raqabah atau yang memiliki makna budak. Jika kata ini masuk dalam pembahasan lafadz yang mutlak maka tidak ada ketentuan budak yang seperti apa yang bisa dijadikan sebuah syarat, namun jika dalam konteks muqayyad maka ada batasan seperti ia haruslah budak yang mukmin.[11]
Secara etimologi muqayyad berasal dari  yang berarti mengikat, membatasi dan merintangi.
Kemudian secara terminologi al-Amidi berpendapat yang dikutip oleh Dr. Muhammad Faisal Hamdani, MA dalam artikelnya menyatakan: Muqayyad adalah lafazh-lafazh yang menunjukkan atas sifat atau keterangan atas pengertian yang muthlaq.[12] Yang berarti muqayyad adalah lafadz yang membatasi dan memberi sifat dari lafadz yang muthlaq. Kemudian Khudari Beik berpendapat yang juga dikutip dalam artikel Dr. Muhammad Faisal yang dimaksud muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan atas satuan atau beberapa satuan yang disertai dengan pembatasan  pada lafadz yang independen itu. Begitu pula ulama-ulama lain yang menyatakan pengertian muqayyad dengan hal yang tidak jauh berbeda.
Bentuk muqayyad dalam suatu nash itu ada dua yakni:
1.      Taqyid Muttashil[13]

Taqyid Muttashil adalah apabila lafadz mutlaq dan muqayyad berada pada satu susunan kalimat atau nas yang sama, bentuk dari taqyid bisa berupa:

a.         Sifat, yang dimaksud sifat disini ialah semua sifat yang bisa menghilangkan bagian dari cakupan lafadz muthlaq.[14] Yang artinya segala sifat yang bisa merinci dan membatasi keumuman lafadz yang muthlaq.

Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. (QS. Al-Nisa: 92).
Lafadz Mu’minah adalah sifat yang mengikat konotasi “budak perempuan” secara muthlaq sehingga sifat tersebut menghilangkan kemutlakannya.

b.        Syarat
 
Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 50)


Lafadz  “jika mereka menyerahkan dirinya kepada Nabi” adalah syarat yang membatasi kemutlaqan dari lafadz imra’at (an).[15]

c.         Ghayah (batas waktu)
  
Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadar: 5)

Kata Sampai terbit fajar merupakan batas waktu yang membatasi dari keluasan makna kesejahteraan, sehingga implikasinya kesejahteraan itu akan hilang ketika fajar terbit.[16]

d.        Alam (nama)

... dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad). (QS. Al-Shaff: 6)

e.         Isyarah
  
 (Dikatakan kepada mereka): "Ini adalah suatu rombongan (pengikut-pengikutmu) yang masuk berdesak-desak bersama kamu (ke neraka)". (Berkata pemimpin-pemimpin mereka yang durhaka): "Tiadalah Ucapan selamat datang kepada mereka karena Sesungguhnya mereka akan masuk neraka". (QS. Al-Shad: 59)

Lafad hadza merupakan sebuah isyarah yang membatasi kemuthlakan lafadz Suatu rombongan.

2.      Taqyid Munfasil
Taqyid munfasil merupakan kebalikan dari yang muttasil yag berarti antara lafadz atau nash yang muthlaq dengan yang muqayyad berlainan tempat atau tidak berada pada satu susunan kalimat.

a.         Taqyid al-Qur’an dengan al-Qur’an

(Ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina. (QS. Al-Baqarah: 67).

Bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan di antara itu. (QS. Al-Baqarah: 68).


Bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya. (QS. Al-Baqarah: 69).

... bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah di pakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, dan tidak ada belangnya. (QS. Al-Baqarah: 71).

b.        Taqyid al-Qur’an dengan Sunnah

... jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkorban. (QS. Al-Baqarah: 196)

Lafadz Shiyam, Shodaqoh dan Nusuk merupakan lafadz yang muthlak karena tidak ada batasan berapa kali puasa atau bebas menentukan jumlah sedekah yang akan diberikan dsb. Oleh karena itu ayat tersebut di taqyid dengan Sunnah Nabi:

فاحلق رأسك وأطعم فرقا بين ستة مساكين والفرق ثلاثة آصع أو صم ثلاثة ايام أو انسك نسيكة
Cukurlah rambut kepalamu, berilah makan (shadaqah) sebanyak 6 orang miskin; 3 sha’ untuk mereka, berpuasalah 3 hari, atau sembelihlah seekor hewan sembelihan”[17]

Dari keterangan Sunnah diatas dapat dimengerti bahwa puasa yang dikehendaki adalah puasa selama 3 hari, bersedekah kepada 6 orang miskin sebanyak 3 sha’, ataupun menyembelih seekor hewan sembelihan.

   C. Status Yuridis Muthlaq dan Muqayyad
Sehubungan dengan muthlaq dan muqayyad ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:
Pertama, jika ketentuan hukum dan sebab yang melatarbelakanginya sama.[18] Seperti lafadz damm (darah) yang terdapat pada:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (QS. Al-Maidah : 3)
Dengan ayat:
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (QS. Al-.An’am: 145)
Apa yang berkaitan dengan kedua contoh di atas merupakan dua hal yang berbeda, baik sebab maupun hukumnya, sehingga masing-masing teks berlaku tanpa saling pengaruh memengaruhi.[19] Dan ulama sepakat bahwa lafadz yang muthlaq harus dibawa kepada yang muqayyad.[20]
Kedua, hukum dan sebab yang melatarbelakanginya berbeda. Seperti lafadz yad (tangan) dalam kasus pencurian dan wudlu.[21] Dalam ayat berikut:

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-Maidah: 38)
Dengan ayat:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah. (QS. Al-Maidah: 6).
Dalam kasus yang demikian, maka yang muthlaq tidak dapat dibawa kepada yang muqayyad, karena baik sebab maupun hukumnya berbeda.[22] Tetapi kasus ini dapat dibagi dua. Pertama, jika pembatasnya pada hukum. Di sini sepakat ulama menjadikan yang muthlaq, muqayyad. Kedua, jika pembatasnya pada sebab. Mayoritas menjadikan yang muthlaq itu muqayyad.[23]
Ketiga, hukum yang berbeda tetapi sebab yang melatarbelakanginya sama. Seperti lafadz yad dalam wudlu dan tayammum.[24] Firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. (QS. Al-Maidah: 6).
Dengan ayat:

... lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. (QS. Al-Maidah: 6).
Di sini yang muthlaq tetap dalam kemutlakannya. Ini pendapat mayoritas, kecuali ulama yang berpendapat bahwa yang muthlaq dalam kasus seperti ini menjadi muqayyad sehingga dalam bertayammum, misalnya, Syafi’i menetapkan keharusan menyentuhkan telapak tangan dua kali ke tanah. Kali pertama digunakan membasuh muka dan kali kedua membasuh tangan hingga ke siku. Mayoritas ulama berkata, cukup sampai pergelangan tangan.[25]
Keempat, hukumnya sama tetapi sebab yang melatarbelakanginya berbeda. Seperti memerdekakan seorang budak sebagai kafarat dhihar, kafarat pembunuhan yang tidak disengaja, dan kafarat sumpah. Pada kafarat dhihar, teks datang secara muthlaq,[26] seperti firman Allah:
 
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. (QS. Al-Mujadalah: 3).
Dengan ayat kafarat sumpah:

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin. (QS. Al-Maidah: 89).
Dan ayat kafarat pembunuhan yang tidak disengaja yang teksnya dalam bentuk muqayyad:

Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. (QS. Al-Nisa: 92).

Baca Juga: Bidah Dalam Agama

Ketiga ayat di atas memiliki ketentuan hukum yang sama, yaitu sama-sama memerdekakan seorang budak, meskipun pada ayat yang disebutkan pertama dan kedua datang secara muthlaq, serta ayat yang ketiga datang secara muqayyad.[27] Di sini yang muthlaq menjadi muqayyad menurut mayoritas ulama, kecuali madzhab Abu Hanifah.[28]

Daftar Pustaka
Al-Qattan, Manna’. TT. Mabahits fi ‘Ulum al-Quran. Kairo: Maktabah Wahbah
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Quran. Tangerang: Lentera Hati. 2013.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. 2008.  Al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran. Damaskus: Risalah.
Khalaf, Abd al-Wahhab. 2010. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah.
Hamdani, Muhammad Faisal. “Muthlaq dan Muqayyad (Studi Pemikiran al-Thufy pada Kitab Syarh Mukhtasyar Raudhah)”. Dalam artikel.
Abdurrahman, Hafidz. 2012. Ushul Fiqih. Bogor: Al-Azhar Press.
Ichwan, Nor. 2002. Memahami Bahasa Al-Qur’an: Refleksi atas Persoalan Linguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



[1] Manna’ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, Kairo: Maktabah Wahbah, TT, hlm. 5.
[2] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Quran, Tangerang: Lentera Hati, 2013, hlm. 188.
[3] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran, Damaskus: Risalah, 2008, hlm. 483.
[4] Manna’ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, hlm. 238.
[5] Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2010, hlm. 169.
[6] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hlm. 188.
[7] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hlm. 189.
[8] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran, hlm. 483.
[9] Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 169.
[10] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hlm. 190.
[11] Manna’ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, hlm. 350.
[12] Muhammad Faisal Hamdani, “Muthlaq dan Muqayyad (studi Pemikiran al-Thufy pada Kitab Syarh Mukhtasyar Raudhah), dalam artikel
[13] Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih, Bogor: al-Azhar Press, 2012, hlm. 200.
[14] Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih, hlm. 200.
[15] Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih, hlm. 201
[16] Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih, hlm. 202
[17] Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqh, hlm. 205
[18] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an: Refleksi atas Persoalan Linguistik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 210.
[19] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hlm. 193.
[20] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, hlm. 210.
[21] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, hlm. 211.
[22] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, hlm. 212.
[23] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hlm. 194.
[24] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, hlm. 212.
[25] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hlm. 193.
[26] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, hlm. 213.
[27] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, hlm. 214.
[28] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hlm. 193.

0 komentar:

Post a Comment