KH. M. Hasyim Asy'ari, suaraislam.co |
Pemikiran Hadis KH. M. Hasyim Asy’ari
Oleh : Irfan Hamid
A. Pendahuluan
Hadis mempunyai peran yang sangat sentral dalam kajian studi
keislaman. Karena hadis yang memproyeksikan diri Nabi baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan, sifat-sifat dan lain-lain sangat diperhitungkan ketika
melakukan penelitian khususnya pada kajian agama.
Perkembangan pemikiran hadis sudah ada sejak masa Nabi meskipun
belum dibukukan, begitu pula pada masa Sahabat dan Tabiin. Dan baru pada masa
setelahnya mulai ada kajian seputar hadis yang terbagi menjadi ilmu hadis dirayah
dan riwayah. Setelah itu terus menerus berkembang hingga memunculkan
cabang-cabang ilmu hadis baru sampai saat ini.
Selain di daerah timur tengah yang merupakan pusat kajian hadis, di
tanah Nusantara ini juga mulai muncul kajian dan pemikiran hadis yang dibawa
oleh para pelajar Nusantara yang belajar di Timur Tengah. Mereka membawa bekal
keilmuan dari Timur Tengah untuk diajarkan pada masyarakat Nusantara yang tidak
mempunyai bekal untuk belajar ke sana.
Para pelajar dari Nusantara ini ternyata tidak dianggap remeh di
sana. Mereka mendapatkan posisi dan peran khusus seperti mengajar bahkan
menjadi Imam di Masjidil Haram. Ulama di sana sangat mengapresiasi kecerdasan
ulama Nusantara kita karena ketekunan dan khususnya akhlak yang mereka
tunjukkan di sana. Dan salah satu di antara mereka adalah hadrah al-syaikh
KH. Hasyim Asy’ari.
Dan dalam makalah singkat ini akan dibahas beberapa pemikiran KH.
Hasyim Asy’ari tentang hadis yang sangat berpengaruh pada kajian hadis di
Indonesia ini.
Dan rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
-
Bagaimana
pemikiran hadis KH. Hasyim Asy’ari?
B. Pembahasan
Kiai Hasyim dilahirkan di Gedang, sebuah dusun kecil di utara kota
Jombang yang sekarang masuk dalam wilayah desa Tambakrejo, timur Pesantren
Bahrul Ulum Tambak Beras. Kiai Hasyim lahir pada hari Selasa Kliwon tanggal 24
Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Dilihat dari
tanggal kelahirannya, Kiai Hasyim dapat dikelompokkan ke dalam bagian dari
generasi muslim akhir abad XIX Masehi.[1]
Kiai Hasyim lahir dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai
Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh Pesantren Gedang. Dan nama lengkap
Kiai Hasyim adalah Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid[2]
bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdurrahman (Joko Tingkir) bin Abdullah
bin Abdul Aziz bin Abdul Fattah bin Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Ishaq.[3]
Dan Kiai Asy’ari sendiri merupakan pendiri Pondok Pesantren Keras, Jombang.
Pendapat lain disampaikan Akarhanaf dan Lathiful Khuluq. Keduanya
menyebut bahwa nama asli Kiai Hasyim adalah Muhammad Hasyim bin Halimah binti
Layyinah binti Shaihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin
Pangeran Benowo bin Joko Tingkir bin Prabu Brawijaya VI, yang terkenal dengan
nama Lembu Peteng.[4] Pendapat
pertama merupakan silsilah dari jalur ayah sedangkan pendapat kedua dari jalur
ibu. Penulis lebih percaya pada jalur kedua dikarenakan pada jalur pertama
terdengar agak berbeda dan terdapat terputusnya jalur silsilah tersebut.
Kiai Hasyim merupakan putra ketiga dari sebelas bersaudara. Semasa
masih hidup, Kiai Hasyim pernah menikah dengan empat perempuan. Namun,
pernikahan baru dilakukan setelah istri sebelumnya meninggal dunia. Dengan kata
lain, Kiai Hasyim tidak pernah memiliki dua istri atau lebih sekaligus dalam
waktu yang bersamaan atau pologami. Saat menikah lagi, Kiai Hasyim sudah
berstatus duda. Hal ini sekaligus membantah pendapat beberapa kalangan yang
menyatakan bahwa Kiai Hasyim melakukan poligami.[5]
Dalam melaksanakan pencarian ilmu, Kiai Hasyim berusaha menerapkan
filosofi Jawa, yaitu lurus ilmu kanti lelaku dan santri kelana.
Kedua filosofi itu menggambarkan bahwa mencari ilmu harus mengutamakan proses
yang dijalani, bukan memfokuskan diri pada hasil yang diperoleh. Jika proses
mencari ilmu dilalui dengan mematuhi rambu-rambu tertentu, maka ilmu yang
diperoleh akan memiliki nilai (barakah) yang lebih dan manfaat. Dan
dukungan sepenuhnya dari penguasa muslim Jawa, banyak santri saat itu yang
melakukan pengembaraan intelektual (rihlah ilmiyah) dari satu pesantren
ke pesantren yang lainnya untuk mencari ilmu dari guru yang lebih terkenal.[6]
Kesempatan langka ini juga dimanfaatkan Kiai Hasyim dengan
sebaik-baiknya. Setelah lima tahun berada dalam Pesantren Gedang yang diasuh
kakeknya serta 10 tahun di Pesantren Keras yang diasuh ayahnya, Kiai Hasyim
memberanikan diri untuk belajar di luar kampung halaman sendiri. Bahkan, pada
usia 13 tahun, Kiai Hasyim sudah dipercaya ayahnya untuk mengajar santri yang
usianya lebih senior di Pesantren Keras.[7]
Pada usia 15 tahun, Kiai Hasyim mondok untuk pertama kalinya di
Pesantren Wonorejo, Trowulan Mojokerto. Kemudian Kiai Hasyim pindah ke Pesantren
Wonokoyo, Probolinggo selama tiga tahun. Lalu melanjutkan ke Pesantren
Langitan, Tuban. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Tenggillis di Surabaya. Lalu
pindah lagi ke Pesantren Kademangan, Bangkalan yang ketika itu diasuh oleh Syaikhana
Khalil bin Abdul Latif.[8]
Syaikhana Khalil memiliki peran besar dalam pendirian NU, karena Kiai Hasyim
meminta ijin terlebih dahulu dari tokoh ini sebelum mendirikan NU. Syaikhana
Khalil dianggap sebagai waliyullah dan maha guru dari kiai di pulau Jawa
dan Madura. Meski demikian, Syaikhana Khalil tetap tidak sungkan untuk
berguru pada Kiai Hasyim dalam bidang hadis di Pesantren Tebuireng.[9]
Setelah itu Kiai Hasyim melanjutkan mondok di Pesantren Siwalan
Panji, Buduran Sidoarjo hingga akhirnya diambil menantu oleh Kiai Ya’qub,
pengasuh pesantren tersebut. Setelah menikah Kiai Hasyim melanjutkan studi di
Mekkah. Kiai Hasyim dinasehati Kiai Ya’qub untuk melanjutkan studi di Mekkah[10]
berdasarkan atas tradisi saat itu bahwa seorang ulama belum dikatakan cukup
ilmu jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun.[11]
Guru Kiai Hasyim di Mekkah sangat banyak. Pertama adalah Syaikh
Mahfudz al-Tarmasi. Di Mekkah, Syaikh Mahfudz mengajar tentang hadis dan
Thariqat Qadariyyah Naqsabandiyyah. Syaikh Mahfudz merupakan ulama Indonesia yang
pertama kali mengajar kitab Sahih al-Bukhari di Makkah. Beliau juga
sebagai pemegang otoritas terakhir dari 23 generasi ulama dalam mengajarkan
kitab hadis tersebut. Beliau juga memiliki otoritas meriwayatkan sanad hadis
dari kitab Sahih Muslim, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i,
Sunan Abi Daud, Sunan Ibn Majah, Musnad al-Syafi’i, Musnad
Abi Hanifah, Musnad Ahmad, Mukhtashar Abi Jamrah, Arbain
Nawawiyyah, Muwattha’, dan Jami’ al-Saghir. Dari Syaikh
Mahfudz ini pula, Kiai Hasyim memperoleh otoritas sanad dalam mengajarkan kitab
Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.[12]
Guru kedua bagi Kiai Hasyim adalah Syaikh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi. Dan guru ketiga Kiai Hasyim adalah Syaikh Nawawi al-Bantani.
Ketiga nama tersebut adalah guru besar di Mekkah pada saat itu. Ketiganya
adalah tokoh yang berhasil membangkitkan semangat pergerakan dan nasionalisme
dari murid-murid Indonesia yang saat itu menimba ilmu di Mekkah. Ketiganya juga
memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan imtelektual Kiai Hasyim.[13]
Keempat adalah Syaikh Ahmad Khatib dari Sambas, Kalimantan Barat.
Di samping itu, Kiai Hasyim juga berguru pada Syaikh Ahmad Amin al-Atthar,
Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad Nawawi, Syaikh Ibrahim Arb, Sayyid Ahmad
bin Hasan al-Atthasy, Syaikh Said al-Yamani, Sayyid Abu Bakar al-Dimyati,
Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi bin Ahmad al-Saqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid
Abdullah al-Zawawi, Syaikh Shalil Bafadhal, Syaikh Syu’aib bin Abdurrahman, Syaikh
Sultan Hasyim Daghastani dan Sayyid Husain al-Habsyi, yang saat itu menjadi
mufti di Mekkah. Selama tujuh tahun, Kiai Hasyim menetap di Mekkah untuk
melanjutkan studi yang diliputi dengan semangat membara. Prestasi belajar Kiai
Hasyim yang menonjol membuatnya memperoleh kepercayaan untuk mengajar di
Masjidil Haram.[14]
Kemudian sekembalinya dari Mekkah, Kiai Hasyim mengajar di
pesantren mertuanya di Kediri dan pesantren kakeknya di Gedang Jombang sebelum
mendirikan Pesantren di Tebuireng, Jombang.[15]
Dalam perjalanan sejarah, terbukti bahwa mendirikan Pesantren Tebuireng ini
merupakan bukti nyata pengabdian Kiai Hasyim pada agama dan bangsa di samping
pendirian organisasi NU.
Semasa hidup, Kiai Hasyim merupakan salah satu kiai penulis yang
produktif. Tulisan-tulisan tersebut berbahasa Arab dan Jawa, baik yang
berkaitan dengan masalah akidah, fiqh, hadis, tasawwuf, pendidikan maupun yang
lainnya. Sebagian dari tulisan-tulisan tersebut sudah dicetak ulang dan bahkan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[16]
Mayoritas artikel atau risalah yang ditulis menunjukkan
respon Kiai Hasyim terhadap problematika yang dihadapi masyarakat. Resolusi
Jihad, sebagai studi kasus, menunjukkan bagaimana ijtihad Kiai Hasyim yang
sangat kreatif dan inovatif dalam membela kepentingan rakyat. Meski diakui
semasa hidup Kiai Hasyim tidak pernah menulis sebuah buku yang utuh dan tebal,
tetapi berupa risalah yang membahas tema aktual dalam masyarakat. Namun,
risalah yang tipis itu tidak menunjukkan bobot mutu tentang karya tulis
Kiai Hasyim.[17]
Kitab-kitab tersebut adalah:
1.
Adab al-Alim wa al-Muta’allim, yang
membahas tentang keutamaan ilmu dan akhlak murid pada gurunya, begitu pula
sebaliknya.
2.
Nur al-Mubin, yang menerangkan tentang pentingnya beriman dan mencintai Nabi
Muhammad saw. beserta segala akibat dari keimanan tersebut.
3.
Al-Tanbihat wa
al-Wajibat, yang berisi reaksi dan kecaman
Kiai Hasyim terhadap praktek-praktek peringatan Maulid Nabi yang diramaikan
dengan hal-hal maksiat.
4.
Al-Durar
al-Muntatsirah, yang membahas
tentang hakikat dari orang-orang pilihan (waliyullah) dan
praktek-praktek sufi dalam tasawwuf secara benar.
5.
Al-Tibyan, yang menjelaskan tata cara menjalin silaturrahim dan bahaya serta
larangan memutuskannya.
6.
Al-Mawaidz, yang berisi tentang pandangan pentingnya persatuan di antara
sesama umat Islam dalam merespon upaya-upaya yang telah dilakukan oleh belanda,
khususnya masalah hukum Islam.
7.
Risalah Ahl
al-Sunnah wa al-Jamaah, yang
menjelaskan konsep akidah menurut paham ahlussunnah wal jamaah dalam kaitan
dengan konsep bid’ah, kematian, hadis dan ijtihad.
8.
Dha’ al-Misbah, yang menerangkan tentang pernikahan Islami.
9.
Ziyadat
al-Ta’liqat, yang mengomentari kesalahpahaman
kritik dari Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan terhadap pendirian NU.
10.
Al-Qanun
al-Asasi li Jam’iyah Nahdlah al-Ulama’, yang membahas prinsip-prinsip dasar bagi organisasi NU.
11.
Arba’in Hadisan, yang berisi hadis yang menjadi legitimasi dan dasar-dasar
pembentukan organisasi NU.
12.
Al-Risalah fi
al-Aqaid, yang berisi kajian tauhid.
13.
Al-Risalah fi
al-Tasawwuf, yang berisi konsep ma’rifar,
syari’at, thariqat dan hakikat.
14.
Tamyiz al-Haq, yang menjelaskan tentang akidah dan amaliah sebuah aliran agama
di Kandangan Kediri.
15.
Risalah fi
Ta’akkud al-Akhdz bi Madzahib al-Aimmah al-Arbaah, yang menjelaskan pentingnya berpegang pada salah satu madzhab
empat.
16.
Hasyiyah ala Fath
al-Rahman, yang berisi penjelasan tentang
buku Risalah Waly Ruslan karya Syaikh Zakaria al-Anshari.
17.
Risalah Jamaah
al-Maqashid, yang menjelaskan tentang
pokok-pokok ajaran Islam.
Terdapat beberapa risalah karya Kiai Hasyim yang belum
diterbitkan, di antaranya adalah:
1.
Al-Risalah
al-Tauhidiyyah, yang berisi
uraian singkat tentang akidah.
2.
Al-Qala’id, yang menerangkan tentang kewajiban dalam akidah Islam.
3.
Manasik Sughra, yang menjelaskan tata cara beribadah haji.
4.
Al-Jasush fi
Ahkam Nuqush, dan lain sebagainya.
Atas usaha beberapa pihak, terdapat sepuluh karya Kiai Hasyim yang
dikumpulkan menjadi satu berjudul Irsyad al-Sari. Di samping itu,
pidato-pidato yang disampaikan Kiai
Hasyim banyak dimuat oleh surat kabar
seperti, Soeara Nahdlatoel Oelama, Soeara MIAI, Soeara
Moeslimin Indonesia, Soeara Masjoemi, Adj-Djihad dan
sebagainya.[18]
2. Kitab Risalah Ahl Al-Sunnah Wal Al-Jama’ah: Kontribusi KH. M Hasyim
Asy’ari Terhadap Kajian Hadis Indonesia
Studi hadis di Indonesia
merupakan mata kajian yang relatif baru. Van Den Berg yang melakukan penelitian
tentang pesantren-pesantren di Nusantara pada tahun 1886sama sekali tidak
menyebut hadis sebagai salah satu mata pelajarannya. Hal ini kemudian
disimpulkan oleh Martin Van Bruinessen bahwa pada saat itu, hadis memang belum
menjadi salah satu mata pelajaran di pesantren. Lebih lanjut Martin menyatakan
bahwa para santri memang menjumpai banyak hadis selama mengikuti pelajaran,
sebab tidak ada karya fikih yang tidak didukung oleh argumen-argumen berdasar
hadis, tetapi hadis-hadis tersebut sudah di proses dalam bidang ilmu yang lain.[19]
Perkembangan kajian
hadis di berbagai pesantren kemudian berkembang sangat pesat. Sekarang ini
harnpir tidak ada pesantren yang tidak mengajarkan hadis sebagai mata pelajaran
sendiri. Orang yang dianggap berjasa mengembangkan kajian hadis di pesantren
adalah Syaikh Mahfudz. Rintisan Syaikh Mahfudz ini kemudian dikembangkan
oleh Kiai Hasyim dan menjadikan pondoknya, Tebuireng, sebagai pondok
hadis yang terkenal. Hadis dan musthalab al-hadis. Ini kemudian
menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri di berbagai lembaga pendidikan di
Indonesia sekitar tahun 1990.[20]
Pemikiran Kiai Hasyim tidak bisa lepas dari bidang keilmuan yang
ditekuninya selama menuntut ilmu di Mekkah, di mana selama berada di Tanah Suci
beliau berguru kepada seorang ahli hadis yang sangat masyhur ketika itu, Syaikh
Mahfudz. Gurunya itu menjadi sosok inspiratif dan mempengaruhi pola
pemikirannya. Karya-karya yang ditulis Kiai Hasyim cukup banyak seputar hadis,
tasawuf dan fikih. Kitab hadis karya beliau yang cukup terkenal adalah Risalah
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, kitab ini ditulis antara tahun 1920 –
1930-an.[21]
Dalam penyusunan
kitab hadis, dikenal ada empat macam sistematika, yaitu: pertama, sistematika
sahih dan sunan, yaitu kitab hadis yang disusun berdasarkan kitab-kitab
tertentu, setiap kitab terdiri dari beberapa bab, sistematika ini juga dikenal
dengan istilah sistematika fiqhiyah. Misalnya ditulis dalam kitab-kitab taharah,
salat dan sebagainya, setiap kitab-kitab tersebut terdiri dari beberapa bab.
Kedua, sistematika musnad, yaitu kitab hadis yang ditulis
berdasarkan nama periwayat pertama yang menerima dari Nabi. Ketiga, sistematika
kamus, yaitu kitab hadis yang ditulis berdasarkan huruf abjad hijaiyah. Keempat,
kitab hadis yang disusun berdasarkan lima bagian-bagian tertentu seperti
perintah, larangan, kabar, ibadah dan af’al secara umum.[22]
Adapun metode
penulisan kitab ini dengan menggunakan metode syarh, yaitu mengutip
suatu hadis kemudian menjelaskannya secara panjang lebar. Lebih rinci, dalam metode
ini biasanya pengarang akan menempuh langkah-langkah sebagai berikut: Pertama,
mengutip hadis dengan menyebutkan rawi pertama dan mukharrij-nya. Kedua,
mengutip hadis dengan menuliskan matannya saja. Ketiga, mengutip
hadis dengan menyebutkan perawi pertama saja.[23]
Sistematika yang dipakai
kitab hadis Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mengikuti sistematika sahih dan
sunan. Dalam sistematika ini, Kiai Hasyim membagi kepada beberapa bab
dan setiap bab diberi judulnya masing-masing. Bagian awal dilengkapi dengan muqaddimah,
setelah itu barulah bagian isi. Kitab ini terbagi kepada sepuluh bab yang
diawali oleh bab tentang akidah (sunnah dan bid’ah) dan ditutup dengan
pembahasan tentang pembahasan orang yang sudah meninggal.[24]
Metode syarh dalam
kitab ini berasal dari suatu judul atau tema. Sebagaimana metode syarh ulama
sebelumnya, dalam kitab ini juga menggunakan pendekatan bahasa dalam metodenya.
Perbedaan dengan kitab-kitab syarah pada umumnya adalah syarah pada kitab ini
fokus menjelaskan pada tema. Sedangkan pada kitab-kitab syarah sebelumnya,
syarah fokus pada materi hadis. Dan juga syarah pada kitab ini terkadang berupa
hadis lain sebagai penjelas, jadi agak mirip dengan tafsir bi al-ma’tsur.
Serta terdapat syarah yang kontekstual sesuai masa Kiai Hasyim.
Ada tiga macam hadis yang bisa ditemukan dalam
hadis ini, pertama, yakni hadis utama dalam pembahasan dan pastinya disyarahi
oleh Kiai Hasyim. Kedua, yakni hadis yang mirip dengan hadis utama, tetapi
memiliki redaksi yang berbeda. Dan ketiga, yakni hadis-hadis tambahan sebagai
penjelas.
Pensyarahan hadis
ini masih mengaitkan dengan ilmu-ilmu keislaman yang lain seperti fikih, kalam
dan tasawwuf dan memakai pendapat ulama sebelumnya, meskipun pada beberapa
bagian tidak dicantumkan nama ulama yang berpendapat dan tidak mencantumkan
referensi kitabnya. Tidak semua pasal
dalam kitab ini terdapat hadis. Terdapat juga dalil al-Quran sebagai
penguat, tetapi ayat al-Quran di sini masih bersifat global dan bukan merupakan
dalil utamanya.
Secara sekilas,
pandangan Kiai Hasyim tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mencerminkan corak
metodologi konvensional yang digunakan oleh para teolog (mutakallimin) Muslim
era klasik. Dengan menggunakan identifikasi yang dilakukan oleh Fazlurrahman,
corak metodologi dimaksud bercirikan hal-hal sebagai berikut: (1) bertujuan menetapkan
akidah “aliran yang selamat” (al-firqah al-najiyyah) melawan aliran sesat; (2) menjelaskan perbedaan di antara berbagai aliran;
(3) menjelaskan pendapat orang-orang Islam dan perbedaan di antara mereka yang shalat;
(4) menyajikan akidah berbagai aliran kaum muslimin dan orang-orang musyrik; (5) mengikuti
kaidah-kaidah golongan salaf secara konsisten; mengutamakan al-itba’
(kepengikutan terhadap pendahulu) tanpa pengembangan (al-ibda’); dan (6) menghimpun
kandungan buku-buku klasik yang berserakan.[25]
Persoalan lain yang
menjadi sorotan Kiai Hasyim adalah bid’ah. Mengenai bid’ah ini merupakan
lawan dari kata sunnah, dengan merujuk pendapat Syaikh Zaruq dalam kitab Uddah
al-Murid, Kiai Hasyim menjelaskan bahwa bid’ah adalah munculnya perkara
baru dalam gama yang kemudian mirip
dengan bagian agama, padahal sebenarnya bukan, baik secara normal maupun
hakikat.[26]
Menurut Kiai Hasyim,
bid‘ah dapat diartikan sebagai mendatangkan atau menciptakan suatu perkara baru
di dalam agama, dan meyakininya sebagai bagian dari ajaran agama, padahal
perkara tersebut sebenarnya tidak menjadi bagian dan ajaran agama, baik dari
sisi bentuk maupun hakikatnya.[27]
Berbeda dengan
kalangan yang menganggap bahwa, seluruh perkara baru adalah bid‘ah dan
sekaligus sesat tanpa terkecuali, bagi Kiai Hasyim tidak semua muhadathat
berstatus bid‘ah. Dalam bahasa berbeda dapat dinyatakan, tidak semua muhadathat
adalah bid‘ah, meskipun tidak terdapat dalil yang jelas sarih), namun bisa jadi
tetap bersandar pada syari’at. Sandaran dimaksud dapat dengan menggunakan
berbagai pendekatan metodologis yang ada, misalnya melalu mekanisme penganalogian
(qiyas). Hal ini berarti, penerjemahan terhadap teks-teks otoritatif (hadis) tentang
bid’ah harus menggunakan pendekatan yang lebih menyeluruh atau tidak hanya
tekstual semata.[28]
Mengutip pandangan
Syaikh Zaruq, Kiai Hasyim menjelaskan bahwa bid’ah ada tiga macam: Pertama,
bid’ah sarih (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah sesuatu yang ditetapkan tanpa
memiliki landasan syari’at, baik yang wajib, yang sunnah maupun lainnya. Kedua,
bid’ah izafiyyah (relasional), yaitu bid’ah yang disandarkan pada suatu hal jika
ia dapat selamat dari penyandaran ini, maka tidak dianggap sah
memperdebatkannya. Ketiga, bid’ah khilafiyyah (yang diperselisihkan), yaitu
perdebatan sudut pandang perbedaan argument dalil). Salah satu pihak akan
mengatakannya sebagai bid’ah, sedangkan yang lainnya mengatakan sebagai sunnah.[29]
Bila dicermati
pembagian bid’ah, Kiai Hasyim memaknai pengertian bid’ah secara umum, yakni
segala hal yang baru yang diada-adakan sesudah Nabi, baik dalam urusan ibadah
maupun adat. Selanjutnya dan pengertian umum ini bid’ah diseleksi dan
diklasifikasi tingkatan hukumnya.[30]
Dalam menentukan
apakah sebuah perkara agama itu bid’ah atau tidak, Kiai Hasyim tidak memukul
rata, akan tetapi memberikan aturan atau norma-norma tertentu sehingga suatu
perkara dikatakan bid’ah atau tidak. Adapun norma-norma untuk menilai perkara
itu bid’ah atau tidak adalah sebagai berikut: pertama, mempertimbangkan
perkara baru tersebut. Jika perkara baru tersebut sebagian besar didukung oleh
dalil-dalil syar’i yang kuat, maka perkara tersebut tidak dapat dinilai bid’ah.
Tetapi apabila perkara baru tersebut tidak didukung sama sekali oleh dalil
syara' maka perkara tersebut dianggap sesat dan batil.[31]
Kedua, mempertimbangkan legalitas kaidah-kaidah para imam
dan ulama salaf yang mempraktikkan
sunnah. Perkara baru yang bertentangan dengan kaidah tersebut akan ditolak dalam segala aspeknya. Jika suatu perkara
tersebut ada dasarnya tetapi tidak ada informasi yang menyatakan praktik para
ulama salaf. Ketiga, norma perbedaan (klasifikasi) berdasarkan bukti-bukti
hukum. Norma ini terbagi menjadi enam, yaitu sunnah, haram, makruh,
menyalahi keutamaan dan mubah. Setiap
perkara yang terkait dengan hukum asal tersebut dengan dasar yang benar dan
jelas, maka perkara tersebut diikutkan pada hukum itu. Jika tidak demikian,
maka dikatakan sebagal bid’ah.[32]
Contoh yang bukan
merupakan bid’ah menurut Kiai Hasyim seperti menggunakan alat tasbih, melafadzkan niat shalat, tahlil bagi
mayit, ziarah kubur dan lain-lain bukan termasuk bid’ah. Sedangkan pertunjukan
pasar malam dan sepak bola adalah sejelek-jelek bid’ah.[33]
C. Kesimpulan
Pemikiran hadis dan metode syarah
yang digunakan Kiai Hasyim masih agak mirip dengan ulama klasik-pertengahan,
meskipun ada beberapa kontekstualisasi yang disesuaikan dengan masa Kiai
Hasyim. Serta metode pensyarahan yang agak berbeda dengan yang digunakan ulama
sebelumnya. Begitu juga yang ditampilkan dalam kitab hanya berupa syarah hadis
dan belum menjangkau kajian ulum al-hadis.
Baca Juga: Mutlaq dan Muqayyad
Proses pemahaman hadis ini juga
masih sangat bergantung dengan pendapat ulama sebelumnya. Sebagaimana kriteria
sunnah dan bid’ah yang Kiai Hasyim paparkan dalam karya tersebut. Meskipun
begitu, Kiai Hasyim ini merupakan pintu awal bagi muslim Indonesia untuk
belajar hadis lebih mendalam di tanah Indonesia dengan memasukkannya pada
kurikulum pesantren hingga masuk ke perguruan tinggi hingga saat ini.
D. Bibliografi
Asy’ari,
Hasyim. Risalah Ahlussunah Wal Jama’ah : Analisis Tentang Hadits Kematian,
Tanda-Tanda Kiamat, Dan Pemahaman Tentang Sunnah Dan Bid’ah. Edited by
Syaifullah Amin. Ciganjur: LTM PBNU, 2011.
Danarta,
Agung. “Perkembangan Pemikiran Hadis Di Indonesia Sebuah Upaya Pemetaan.” Tarjih
7 (2004).
Mukani.
Berguru Ke Sang Kiai: Pemikiran Pendidikan KH M Hasyim Asy’ari.
Yogyakarta: Kalimedia, 2016.
Putra,
Afriadi. “Pemikiran Hadis KH. M. Hasyim Asy’ari Dan Kontribusinya Terhadap
Kajian Hadis Di Indonesia.” Wawasan 1 (2016).
[1] Mukani, Berguru Ke Sang Kiai:
Pemikiran Pendidikan KH M Hasyim Asy’ari (Yogyakarta: Kalimedia, 2016). Hlm. 44.
[2] Dari sini ada loncatan yang lumayan banyak dari silsilahnya.
[10] Kiai Hasyim sempat pulang ke Indonesia lalu kembali lagi ke Makkah
dikarenakan terdapat peristiwa yang mengganggu studinya yakni istri dan anaknya
meninggal dunia.
[19] Agung Danarta, “Perkembangan Pemikiran Hadis Di Indonesia Sebuah Upaya
Pemetaan,” Tarjih 7 (2004). Hlm. 73.
[21] Afriadi Putra, “Pemikiran Hadis KH. M. Hasyim Asy’ari Dan Kontribusinya
Terhadap Kajian Hadis Di Indonesia,” Wawasan
1 (2016). Hlm. 50.
[33] Hasyim Asy’ari, Risalah
Ahlussunah Wal Jama’ah : Analisis Tentang Hadits Kematian, Tanda-Tanda Kiamat,
Dan Pemahaman Tentang Sunnah Dan Bid’ah, ed. Syaifullah Amin (Ciganjur: LTM
PBNU, 2011). Hlm. 11.
0 komentar:
Post a Comment