Benteng Qiet Bey, simasaktiumroh.com |
I.
Keturunan Bani Thoulon
Kerajaan
Bani Thoulon berdiri di Mesir pada tahun 254 H. Thoulon, seorang tawanan
perang, dibawalah ia menghadap kepada Khalif Al-Ma’mun. Karena Thoulon
merupakan pria yang tegap gagah-perkasa dan nampaknya layak menjadi pasukan
perang, maka diangkatlah ia oleh Khalifah untuk menjadi pengawal istana. Karena
baik kelakuannya dan banyak jasanya, akhirnya ia diangkat menjadi kepala
pengawal istana. Kemudian ia memperoleh seorang putera bernama Ahmad yang
semakin dewasa usianya. Puteranya diangkat pula menjadi pembantu pengawal, di
bawah didikan ayahnya.
Pada
tahun 254 H, Ahmad ibn Thoulon diangkat oleh Khalif Al-Mutawakkil menjadi wali
negeri di Mesir. Setelah beberapa lama ia memimpin negeri itu, ia mulai
memperteguh kedudukannya. Ia membeli beberapa orang budak bangsa Dailam dan
bangsa Zanji (Negro) dan mencari orang-orang Arab yang sudah tunduk kepadanya.
Setelah dirasa cukup kuat kedudukannya, ia menyatakan secara terang-terangan
pemutusan hubungan dengan khalifah di Bagdad. Di atas mimbar pada hari Jum’at, ia
berhenti mengucap pujian-pujian kepada Khalifah, dan diganti dengan pujian
kepada dirinya sendiri, sebagai raja Mesir. Hasil cukai juga tidak dikirimkan
lagi ke Bagdad.
Almu’
tadhid Bil-Lah mengirim tentara untuk menaklukkan Mesir kembali, tetapi tidak
berhasil, karena Ahmad ibn Thoulon sudah kuat. Rakyat Mesir mendukung
pemerintahannya. Karena selama itu, rakyat Mesir membayar pajak yang amat berat
namun tidak ada yang dialokasikan untuk Mesir sendiri, semua dikirim ke Bagdad.
Pada masa pemerintahan Ahmad ibn Thoulon, hasil-hasil itu dipergunakan untuk
membangun Mesir sendiri, sehingga negeri Mesir makmur.
Setelah
kuat kedudukannya di Mesir, kemudian Ahmad ibn Thoulon memperluas kekuasaannya
ke negeri Syam. Selama dia memimpin peperangan, tanggung jawab kenegaraan dan mengatur
negeri dipasrahkan pada puteranya, Abbas. Tetapi Abbas tidak setia pada
ayahnya. Ketika ditinggalkan ayahnya, perbendaharaan istana diangkut lari ke
Barqah. Setelah pulang, Ahmad sangat murka, sehingga disusun pasukan tentara
untuk memerangi anaknya. Akhirnya puteranya dapat dikalahkan kemudian
diasingkan ke Iskandariyah.
Pembantu
Khalifah di Bagdad yang bernama Talhah Al-Muwaffaq berusaha mengembalikan
kekuasaan Khalifah di Mesir. Maka terjadi peperangan besar pada tahun 269 H antara
Ahmad dengan Al-Muwaffaq. Ahmad kalah, sehingga Syam tidak bisa
dipertahankannya lagi. Setelah pulang ke Mesir, akhirnya Ahmad ibn Thoulon mangkat
dan digantikan dengan 4 orang amir berturut-turut. Namun keempat raja tersebut
tidak kuat lagi mempertahankan kekuasaannya, sehingga pada tahun 296 H (904 M),
Mesir jatuh kembali ke tangan Bani Abbas. Berarti, keturunan Thoulon berkuasa
di mesir hanya selama 46 tahun.
II.
Keturunan Ikhsyidi
Pada
tahun 285 H, pada saat Mesir berada di bawah pemerintahan Amir harun ibn
Khamarawaihi ibn Ahmad ibn Thoulon, Khalifah Al-Mu’tadhid ingin menguasai Mesir
kembali. Belum sampai mengirimkan angkatan perang untuk merebut Mesir, ia telah
lebih dulu mangkat. Ia kemudian digantikan oleh khalifah Al-Muktafi Billah.
Pada tahun 291 H, Khalifah dapat megalahkan kaum Qaramitah. Karena merasa
kekuatannya mulai teguh seperti semula, maka Khalifah melanjutkan cita-cita
pendahulunya yang ingin merebut kembali Mesir. Pada tahun 292 H, dikirimnya balatentara
besar di bawah pimpinan Panglima Muhammad ibn Sulaiman. Balatentara Amir Harun
tidak sanggup menghadapi serangan tersebut, dan ia sendiri gugur dalam perang.
Yang masih hidup ialah pamannya, Syaiban ibn Thoulon. Syaiban menyerahkan diri
kepada Sulaiman dan meminta diberi perlindungan. Tetapi kemudian ia melarikan
diri, yang berarti habislah kekuasaan Bani Thoulon di Mesir dan jatuhnya Mesir
ke tangan Bani Abbas.
Meski
begitu, kekuasaan Khalif Bani Abbas juga tidak bertahan lama di Mesir.
Kekuatannya di pusat pun telah jatuh. Setelah mengetahui keadaan yang seperti
itu, wali negeri di Mesir, Abu Bakr ibn Muhammad ibn Thagj memutuskan untuk
memisahkan diri dari Khalifah pada tahun 323 H, dan Khalifah Ar-Raddi di Bagdad
terpaksa mengakui kekuasaan itu. Abu Bakr tidak hanya menguasai Mesir, tetapi
juga menguasai Syam, Mekah, dan Madinah.
Amir
Abu Bakr berasal dari Farghanah, bangsa Turki. ‘Ikhsyidi merupakan gelar
raja-raja disana. Oleh karena itu, dipakaikan gelar ‘Ikhsyidi’ sebagai
kebesarannya.
Karena
perang saudara dan telah terlena oleh kemewahan hidup, kerajaan keturunan
Ikhsyidi tidaklah lama memerintah di Mesir, hanya 32 tahun, mulai 323 H sampai
355 H.
III.
Keturunan Fathimiyah
(‘Ubaidiyah)
Sebagaimana
diketahui bahwa yang mula-mula berdiri ialah kerajaan keturunan ‘Ubaidiyun di
Afrika. Kepala perangnya yang gagah dan berani bernama “Jauhar” berasal dari
pulau Sicilia memerintahkan untuk menaklukkan Mesir dan merebutnya dari
kekeuasaan keturunan Ikhsyid. Jauhar dibantu oleh seorang panglima bernama
Ja’far ibn Falah. Kedua balatentara kekuatan itu menyerang keturunan Ikhsyid di kampung Ramlah, sampai
keturunan Ikhsyid tidak dapat mempertahankan diri.
Karena
telah kuat kekeuasaaannya di Mesir, maka Jauhar mempersembahkan kepada Sri
Baginda Almu ‘izzu Li Dinillah untuk memindahkan ibukota kekuasaannya dari
Afrika ke Mesir. Didirikanlah negeri “Al-Qahirah” (yang menang), dan masjid
“Al-Azhar” (yang gemilang), untuk mengajarkan faham yang dijadikan mazhab resmi
kerajaan, yaitu Syi’ah. Nama kerajaan dirubah dari “‘Ubaidiyah” menjadi “Fathimiyah”,
dimaksudkan pada Fathimiyah puteri Nabi Muhammad saw, sebab raja-raja itu
mengaku keturunannya. Pada zaman pemerintahan Fathimiyah, negeri Mesir
sangatlah makmur dan maju, menjadi tandingan Bagdad dan Cordova. Keturunan
Fathimiyah memerintah Mesir selama 280 lamanya.
IV.
Keturunan Salahuddin
Kerajaan
Fathimiyah telah lemah kekuasaannya. Rajanya, Al-‘Adhid Li Dinillah telah tua
dan sakit-sakit, sehingga tidak sanggup lagi melawan serangan kaum Salib.
Nuruddin, raja di negeri Syam memerintahkan Salahuddin, kepala perang di
bawahnya untuk menduduki negeri Mesir dengan tentaranya. Sejak dia datang
disana, dihentikan khutbah Jum’at memuji Khalif Fathimiyah, dan dikembalikan
memuji Bagdad. Ketika Khalif Fatimiyah sudah mangkat, maka bulatlah kekuasaan
Salahuddin di Mesir.
Setelah
kuat kedudukannya di Mesir, Salahuddin mengundang keluarganya hidup bersama di Mesir.
Banyak muncul fitnah terhadap Salahuddin. Ia dituduh hendak merampas Mesir
untuk dirinya sendiri, terlepas dari Nuruddin. Karena fitnah-fitnah yang beredar
dapat diterima akal oleh Nuruddin, ia membentuk balatentara untuk menyerang
Mesir dan Salahuddin. Salahuddin pun telah bersiap pula. Dalam keadaan seperti
itu, padahal sebenarnya musuh-musuh islam telah menyusun tenaga untuk
melanjutkan peperangan merampas negeri Islam. Belum sampai penyerangan Nuruddin
dilancarkan, pada tahun 569 H Nuruddin telah mangkat terlebih dahulu.
Karena
putera raja Syam masih kecil, maka Salahuddin mengakui dirinya sebagai raja
Mesir dan pelindung Raja Syam. Akhirnya dengan terang-terangan ia menyatakan
kekuasaan penuh atas Mesir dan Syam, sebab ia juga telah mengalahkan Saifuddin
Ghazi dan Almalikus-Saleh.
Pada
tahun 572 ia kembali ke Mesir dan mengangkat Thauran Syah menjadi wali di Syam.
Dan ketika ia sedang berada di Syam, ia memerintahkan wazir(perdana
menterinya)nya untuk menjalankan titah(perintah)nya di Mesir.
Keturunan
Salahuddin memerintah negeri Mesir selama 117 tahun dengan nama “Daulat
Salahiyah”. Selama memerintah Mesir, ditaklukkan pula negeri Arab, terutama Yaman.
Sehingga keluarganya juga memerintah di Syam dan di Yaman.
V.
Kerajaan Mamalik Bahriyah
Najmuddin
Ayyub seorang raja keturunan Salahuddin mempunyai beberapa puluh orang hamba
sahaya sebegai pengiring, yang ditempatkan di pulau Raudlah. Karena pulau Raudlah
terletak di laut, maka kaum mamalik disebut bangsa “Bahriyah”, yang artinya
lautan. Maka budak-budak itu dapat berkuasa di pulau tersebut. Dengan begitu,
berdirilah kerajaan Mamalik Bahriyah di Mesir pada tahun 648 H. Mamalik adalah
kata jamak yang artinya budak-budak atau hamba sahaya-hamba sahaya.
Keturunan Salahuddin yang paling akhir
tidak ada laki-laki. Hanya seorang perempuan bernama Sajaratud-Durr. Pada masa
itu fatwa para ulama, tidak boleh perempuan menjadi seorang raja. Maka
diangkatlah ‘Izzudin Aibek Al-Jasyamkir menjadi “penilik dan pelindung”. Pada
tahun 648 H ‘Izzudin menikah dengan Sajaratud-Durr, dan oleh Al-Asyrat
Muhzirudin Musa, ia diakui langsung sebagai sulthan.
Dalam
pemerintahan raja Mamalik yang bernama Ruknuddin Baibars Albundoqdari, terjadi
penyerangan besar oleh tentara Tartar. Kota bagdad hancur dan Khalifah
terbunuh. Raja Ruknuddinlah yang kemudian sanggup menangkis seranagan Tartaar
dan mengatur seranagan keluar Mesir hingga Mesir terlepas dari bahaya Tartaar.
Pada tahun 660 H, empat tahun setelah
Bagdad jatuh, datang seorang ke negeri Mesir yang mengaku dirinya keturunan sah
dari Bani ‘Abbas, khalifah yang telah musnah itu. Namanya adalah Ahmad ibn
Az-Zahir ibn An-Nashir Li Dinillah. Sulthan Baibars beserta puluhan ulama yang
pandai menyelidiki sah atau tudaknya pengakuan tersebut. Ternyata, hasilnya
adalah sah. Beliau adalah saudara dari ayah khalifah yang terbunuh di Bagdad
itu.
Untuk
kemaslahatan kerajaannya, Ruknuddin mengadakan sebuah perjanjiann dengan
keturunan Bani ‘Abbas itu. Ruknuddin mengakuinya sebagai khalifah, menyambung
keturunan nenek moyangnya. Keturunan Bani ‘Abbas juga harus mengakui pula
kerajaan Baibars. Dia dipandang sebagai kepala agama tertinggi, tetapi tidak
berkuasa dalam pemerintahan. Mereka saling menyetujui perjanjian itu. Tiap raja
Mesir kerajaan Mamalik yang akan naik tahta, khalifahlah yang menobatkannya.
Tiap pergantian khalifah, rajalah yang menobatkannya.
Khalifah yang tidak berkuasa ini bertahan
lebih dari 200 tahun dan menghasilkan 15 khalif. Barulah berakhir setelah
Sulthan Turki Usmani, Sulthan Salim menyerang Mesir dan Syam pada tahun 922 H.
Kota Mekah dan Madinah diambil dari tangan khalifah penghabisan pada saat itu,
sehingga gelar “khalifah” berpindah dari keturunan Bani ‘Abbas (Arab) ke tangan
Bani Usman (Turki).
VI.
Mamalik Jarakisyah
Keturunan
terakhir dari Mamalik Bahriyah adalah Haji As-Salih Zainuddin ibn Asyraf
Sya’ban yang masih belum dewasa, saat itu usianya masih 6 tahun. Maka
diangkatlah seorang bernama Almalikus-Zahir Saifuddin Barquq sebagai pemangku
raja. Karena hanya sebagai pemangku, maka banyak kaum Mamalik yang bersekongkol
ingin menumbangkannya, bila perlu membunuhnya. Karenanya, kemudian ia
mengumpulkan ahli-ahli dan orang-orang terkemuka, termasuk Khalif
Al-Mutawakkil. Menurutnya, jika perbuatan jahat dibiarkan maka negeri akan
tidak aman dan kerajaan asing dapat memasukkan pengarunya. Untuk itu, ia
meminta supaya Mesir diserahkan pada tangan yang kuat, yang ia maksud tangan
yang kuat itu tidak lain ialah dirinya. Anjurannnya itu diterima dan kemudian
ia diangkat menjadi sultan dan As-Salih Zainuddin yang masih kanak-kanak
diturunkan dari jabatannya.
Memang Barquq
merupakan orang yang kuat. Sebab belum lama ia mempimpin, ketika datang
serangan pasukan Tartaar, telah banyak negeri yang ditalukkan oleh bangsa
tartaar dengan ganas. Tiap negeri yang dijarahnya, orang-orang yang terbunuh
kepalanya disusun serupa bukit. Raja Bagdad Sulthan Ahmad ibn Idris meminta
bantuan ke Mesir, karena takut akan bahaya bangsa Tartaar. Akhirnya Barquq memberikan bantuan dan Bagdad
dapat terjaga.
Barquq dianggap sebagai pendiri
kerajaan Mamalik Al-Burjiyah atau Al-Jarkasyiyah.
VII. Muhammad
‘Ali Pasya
Kerajaan
keturunan ‘Ali Pasya itu berdiri di Mesir sejak tahun 1220 H. Yang mendirikan
kerajaan ini adalah Muhammad ‘Ali Pasya Yang Agung. Beliau dilahirkan di negeri
Qaulah, Albani, di dalam wilayah
Macedonia tahun 1182 H. Ayahnya, Ibrahim, adalah perwira di dalam balatentara
Turki yang menjaga negeri itu. Ayahnya meninggal saat ia masih berusia 4 tahun,
sehingga kemudian ia diasuh oleh pamannya. Tidak lama dalam asuhan pamannya,
pamannya pun juga meninggal, sehingga Gubernur merasa kasihan kepadanya lalu
mengangkatnya sebagai anak dan diserahkan kepada seorang sahabat ayahnya untuk
mengasuhnya. Karena sahabat ayahnya itu juga merupakan bekas perwira, maka dari
kecil ia dididik bermain senjata. Setelah usianya 18 tahun, ia menikah dengan perempuan
kaya dari kalangan kerabatnya. Maka mulailah Muhammad Ali berniaga dengan
bantuan harta isterinya. Perniagaannya sangat maju, terutama komoditas
tembakau, karena tembakau merupakan hasil utama dari negeri itu.
Ketika
Napoleon memasuki Mesir, Kerajaan Turki yang merasa haknya telah terampas,
kemudian memerintahakan Kaojak Husin Pasya, seorang kepala perang untuk
menyusun tentara mengusir Napoleon dari Mesir. Husin Pasya memerlukan tentara
yang kuat, oleh karena itu ia mengirimkan surat kepada wali kota Qaulah,
bernama Husin Aga meminta dikirim serdadu. Lalu dikirimnya 200 orang serdadu,
termasuk juga menantunya sendiri, Muhammad Ali. Dari waktu ke waktu, Ali
mendapatkan kedudukan yang semakin tinggi. Awalnya ia diangkat sebagai kapten,
kemudian ditetapkan jabatannya di bawah perintah Khisru Pasya, komandan tentara
Turki di Mesir. Karena cerdiknya, pangkatnya kian naik sampai menjabat sebagai
kolonel. Khisru Pasya menjadi iri dan takut pangkatnya terlampaui. Pernah dia berniat untuk membunuh Muhammad
Ali dengan cara yang amat curang.
Oleh
karena pimpinan tentara Turki kian lama kian kacau di Mesir, rakyat menjadi bosan. Sedangkan Muhammad Ali pandai
menarik hati rakyat. Akhirnya dengan kebijaksanaan Ali dan keinginan rakyat
Mesir sendiri, terpaksa kerajaan Turki di Istanbul menetapkan Muhammmad Ali
menjadi wali negeri di Mesir dan Khisru Pasya diturunkan dari jabatan itu.
Setelah
memperoleh jabatan itu, ia meneruskan siasatnya dengan mendekati rakyat dengan
cara mendekati pemuka-pemuka dan ulama-ulama. Pada 9 Muharram tahun 1222 H (17
Maret 1807), masuklah armada Inggris berniat untuk mengalahkannya. Namun pada 4
Rajab 1222 H, dibuatlah perjanjian damai, dan pada 17 Rajab 1222 H Inggris
keluar dari Mesir dan Muhammd Ali masuk.
Adapun
yang dianggap bahaya oleh Muhammad Ali dan mengancam kekuasaannya adalah
sisa-sisa kaum Mamalik yang masih ada. Kaum Mamalik sudah beratus tahun
memegang kekuasaan di Mesir. Mereka masih diakui kekuasaannya oleh Turki. Turki
masih menunggu saat yang baik untuk merampas kembali kekuasaan yang telah
hilang. Demi mewujudkan impiannya itu, Muhammad Ali mencari cara untuk
memusnahkan kaum Mamalik.
Dalam
sebuah jamuan yang ia selenggarakan di bentengnya di atas puncak bukit
Almokattam pada awal bulan Maret tahun 1811 M, ia mengundang semua orang
terkemuka, diundang pula prawira-prawira kaum Mamalik. Dalam acara tersebut, ia
melancarkan serangan kepada kaum Mamalik dengan kekuatan balatentaranya. Semua
habis terkena tembakan, tidak ada yang sempat melarikan diri. Puaslah hati
Muhammad Ali karena tidak ada lawan dalam menjalankan kekuasaannya.
Muhammad
Ali mendapat perintah dari Sultan Mahmud di Turki menyusun tentara untuk
memerangi kaum Wahabi di tanah Arab. Muhammad Ali sangat berbesar hati menerima
perintah itu, karena ia ingin tanah Arab berada di bawah kekuasaannya. Setelah
dirasa tidak ada pemberontak setelah kekejamannya memusnahkan kaum Mamalik, barulah ia menyusun balatentara untuk
memerangi kaum Wahabi di tanah Arab, di bawah pimpinan puteranya, Thouson.
Pada
12 Sya’ban 1226 H (3 September 1811 M) pasukan Thouson memerangi kaum Wahabi di
Arab. Namun pasukan Thouson kalah. Tidak terima dengan kekalahan itu, Muhammad
Ali mengirimkan balatentara bantuan dan dirinya sendiri ikut serta untuk
menyaksikan sendiri jalannya peperangan.
Masih
dalam suasana peperangan melawan kaum Wahabi, Muhammad Ali mendapatkan berita
bahwa Kerajaan Usmani telah mengirim seorang pembesar bernama Lathif Pasya membawa surat pengangkatan dirinya
menjadi wali negeri Mesir, akan menggantikan Muhammad Ali setelah
sepeninggalnya. Wakil Muhammad Ali di Mesir, Muhammad Alz-Ogli menangkap dan
membunuh pembesar itu. Sepulangnya Muhammad Ali dari Mesir, ia memperkuat
pertahanan wilayahnya. Rupanya ia tahu bahwa bukan hanya kerajaan Wahabi yang dianggap
berbahaya oleh Sultan Turki, melainkan juga dirinya dianggap berbahaya. Anaknya,
Thouson ia perintahkan untuk melakukan perjanjian “letak senjata” dengan Wahabi
yang saat itu dipimpin oleh Amir Abdullah ibn Sa’ud, dan berhentilah
peperangan. Thouson pun kembali ke Mesir dan beberapa lama sampai di Mesir,
Thouson meninggal.
Beberapa
waktu kemudian, setelah kaum Wahabi merasa memiliki kekuatan yang cukup, mereka
hendak melepaskan dirinya dari ikatan perjanjian yang telah disepakati. Mereka
merasa hina “bertuan” pada Muhammad Ali yang dipandang kafir menurut ajaran
gurunya, Muhammad ibn Abdul-Wahhab. Sebab itulah mereka mencoba lagi memperluas
kekuasaan. Terjadilah peperangan kedua belah pihak. Pasukan Muhammad Ali
dipimpin oleh puteranya, Ibrahim, sedangkan kaum Wahabi masih dipimpin oleh
Amir Abdullah ibn Sa’ud. Setelah dikepung beberapa hari, takluklah Amir
Abdullah ibn Sa’ud dan ia menyerah tanpa syarat. Dia dan kerabatnya ditawan dan
dikirim ke Mesir, kemudian dikirim ke Istanbul, pusat kedudukan Khalifah.
Disana Amir Abdullah ibn Sa’ud dipotong kepalanya dan digantung di pintu kota,
dituduh perusak agama yang paling besar. Setelah kejadian itu, 100 tahun
kemudian hilanglah kebesaran kaum Wahabi sampai timbul Abdul Aziz ibn Sa’ud
mendirikan kerajaan itu lagi dan melanjutkan cita-cita nenek moyangnya, yaitu
mempersatukan tanah Arab dan membersihkan dari kotoran syirik menurut pandangan
mereka.
Adapun
Ibrahim setelah usai pekerjaannya menaklukkan Wahabi, ia kembali ke Mesir dan
diberi gelar oleh Sultan Turki, “Wali Negeri Mekah”.
Setelah
mengalahkan kaum Wahabi, fokus perhatian negara Mesir adalah memperbaiki
negaranya sendiri, meliputi bidang perhubungan, jalur perniagaan, pertanian,
pendidikan, dan susunan pemerintahan.
Setelah
pekerjan itu selesai, Mesir mulai memperluas kekuasaannya lagi. Mulai pada
tahun 1234 H (1819 M) di bawah pimpinan putera Muhammad Ali yang bernama Ismail
dan dengan bantuan menantunya, Ahmad Daftar-Dar, ia dapat menaklukkan
persukuan-persukuan Arab di Siuh, memusnahkan sisa-sisa kaum Mamalik yang dulu
tersapu bersih di Benteng. Ibrahim menaklukkan pula negeri Naubah dan negeri
Sinar. Ibrahim menemukan tempat yang amat subur di pertemuan sungai Nil Putih
dengan sungai Nil Hijau, kemudian didirikanlah disitu pusat wilayah Sudan,
yaitu Negeri Kartum.
Pada
tahun 1229 H, terjadi pemberontakan bangsa Griekenland (Yunani) melawan bangsa
Turki.
Pada
tahun 1247 H (1813 M) Muhammad Ali menyerang Syam. Dalam waktu yang tidak lama,
negeri Syam bisa ditundukkan.
Melihat
kemajuan yang dahsyat itu, kerajaan Turki mengirim tentara besar untuk mempertahankan
kekuasaan. Sedangkan tentara Ibrahim berusaha memperluas kekuasaan. Setelah
bertempur di medan perang, tentara
kerajaan Turki kalah. Penaklukan dilanjutkan ke Istanbul pada 1 Desember tahun
1832 M. Tentara Turki mundur, tentara Mesir berhasil mengancam Istanbul.
Kemajuan
Mesir ini membuat kerajaan-kerajaan Eropa ketakutan. Mereka lebih senang
Istanbul dikuasai oleh Turki yang lemah, supaya menjadi hambatan kerajaan Rusia
dan Inggris. Jika Istanbul jatuh ke tangan Mesir yang kuat, maka kerajaan Eropa
akan terancam. Karena itu, kerajaan Rusia mengirimkan utusan ke Mesir, membujuk
Ali supaya menyuruh puteranya mundur, agar tidak terjadi perang besar. Maka
dibuatlah perjanjian perhentian perang dan Syam diakui menjadi bagian dari
Mesir dan terlepas dari kuasa Turki. Ibrahim kembali ke Syam, batal menyerang
Istanbul. Negeri Syam dirawat dan dimajukan olehnya. Delapan tahun ia berkuasa
di negeri itu, menghapuskan rasa permusuhan di antara penduduk beragama Islam
dengan Nasrani. Namun Inggris takut kekuasaan Ibrahim di Syam membahayakan
jalan Inggris ke India. Maka dari itu, Inggris mengirim spion untuk menghasut
dan menebar fitnah supaya menimbulkan kecurigaan pada pemerintahan Ibrahim
Pasya, sehingga timbul perkelahian antara tentara Mesir dengan tentara Turki.
Akhirnya pada 15 Juli 1840 dibuatlah perjanjian London yang menentukan bahwa
Muhammad Ali Pasya hanya berkuasa di Mesir, di bawah naungan Daulat Usmaniyah.
Sehingga kembalilah Syam ke tangan Turki.
Melihat
tentara Mesir tidak segera mundur dari Syam, armada Inggris mengepung
Iskandariyah. Setelah itu, dibuatlah perjanjian yang isinya dimenangkan oleh
pihak Turki, yaitu Muhammad Ali harus meninggalkan Syam, dan dia diakui menjadi
Raja Mesir, dengan syarat Sultan berkuasa memilih keturunan Muhammad Ali mana
yang disukainya untuk menjadi penggantinya kelak.
Maka
Muhammad Ali Pasya itulah yang mendirikan kerajaan Mesir-baru. Memanjukannya
hingga menjadi kerajaan Islam yang maju pada zamannya. Jika bukan karena siasat
licik Inggris yang takut jalannya menuju India terhalang, tentulah kerajaan
Mesir sedianya menjadi kerajaan terbesar di Timur.
Setelah
Muhammad Ali wafat, Inggris tetap terus berusaha menghalangi kemajuan Mesir. Berikut
penjelasan apa saja sebab-sebab Inggris berusaha mematahkan kekuatan-kekuatan
yang dianggapnya berbahaya. Di zaman pmerintahan Khadewy Isma’il Pasya sampai
kerajaan itu dalam masa kejayaannya, Ismail berusaha menjadikan Mesir sebagai
“Sepotong Eropa di Timur”. Usaha mebuat terusan Suez yang telah dimulai sejak
zaman Sa’id Pasya (paman Ismail) oleh insinyur dari Perancis, telah disempurnakan
di zaman Ismail. Maka kian jelaslah Mesir bagi Inggris sebagai urat leher kerajaannya
yang besar, yang berkepala di London dan berbadan di India. Khadewy Ismail
terlalu berhutang banyak ke luar negeri untuk kepentingan pembangunan Mesir,
sehingga perbendaharaan Mesir menjadi bangkrut. Bangsa Inggris dan Perancispun
ikut campur dalam keuangan Mesir. Khadewy Ismail diasingkan ke luar negeri dan
digantikan oleh puteranya, Khadewy Taufik Pasya.
Pada
masa pemerintahan Taufik ini timbul pemberontakan yang ditunggu-tunggu oleh
Inggris. Pemberontkan ini dipimpin oleh Orabi Pasya. Inggris melawan
pemberontak-pemberontak tersebut dan pada akhirnya pada tahun 1882 M, Mesir,
terutama Terusan Suez dapat diuduki oleh
tentara Inggris sampai tahun 1955 M.
Setelah
ditawan bersama teman-temannya, Orabi Pasya diasingkan ke pulau Ceylon, dan
Mesirpun dikuasai oleh Inggris.
Pemimpin-pemimpin
Mesir tidak terima dengan nasibnya. Maka timbullah pemimpin-pemimpin seperti
Mustafa Kamil dan Muhammad Ferid. Setelah perang dunia pertama, muncul Sa’ad
Zaglul Pasya yang berjuang untuk memerdekakan Mesir dengan Revolusinya yang
terkenal (1919 M).
Di
tahun 1917 M, Husain Kamil memakai gelar “Sulthan”.
Di
tahun 1922 M, Fuad I memakai gelar “Almalik Masir”. Puteranya, Faruk I naik
tahta menggantikan ayahnya yang telah mangkat (1936 M), merupakan raja Mesir
yang terakhir.
Pada
bulan Juli tahun 1952 M timbul pemberontakan tentara dan Faruk diusir dari
Mesir. Sejak saat itu, Mesir menjadi republik.
Sebelum
Raja Fuad memakai gelar raja, sejak Mesir di bawah kekuasaan Turki, gelar
raja-raja Mesir adalah “Aziz Masir” (pada zaman Muhammad Ali). Pada zaman
Ismail Pasya sampai cucunya, ‘Abbas Hilmi, raja mesir bergelar “Khadewi”.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Post a Comment