Sejarah Berdirinya Muhammadiyah dan Strategi Dakwahnya


Lambang Muhammadiyah, davidtriyadi
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai islam di indonesia selalu menarik untuk diperbincangkan, mengingat ajaran-ajaran yang diterapkan oleh masyarakat cukup unik dan beragam. Islam di indonesia dikatakan unik karena masih mempertahankan aspek-aspek budaya tradisional dan agama pra Islam (Hindu-Budha).[1] Hal ini disebabkan adanya penyebaran agama islam yang masuk indonesia melalui proses akulturasi dan sinkritisme.
Dampak dari proses akulturasi dan sinkritisme tersebut kemudian menyebabkan munculnya praktek-praktek yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Misalnya saja masyarakat jawa, mereka begitu kental dengan kehidupan mistik dan banyak mengamalkan ritual keagamaan yang bersendikan pada nilai-nilai budaya lokal. Masyarakat Jawa pada umumnya masih kental dengan tradisi-tradisi keagamaan yang sinkretik, seperti percaya kepada orang (tokoh) yang mempunyai kesaktian, percaya kepada roh-roh leluhur, percaya dengan Nyi Roro Kidul, dan percaya kepada benda-benda pusaka yang mempunyai kekuatan. Sementara itu, Islam versi Keraton Yogyakarta merupakan gambaran Islam yang telah tercampur dengan adat istiadat Kerajaan Hindu-Budha serta kepercayaan animisme dan dinamisme, sebagaimana yang telah berlaku di lingkungan kerajaan. Dalam lingkungan kerajaan (Keraton Yogyakarta) masih terdapat kepercayaan menganggap sakral benda-benda keramat seperti memandikan pusaka-pusaka yang ada di keraton.[2]
Dari fenomena keislaman masyarakat indonesia yang unik dan beragam tersebut, nampaknya telah menyita perhatian KH. Ahmad Dahlan untuk segera meluruskan paham keislaman tersebut kembali pada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Salah satu usaha yang mereka lakukan adalah mengadakan pembeharuan dengan pemurnian ajaran islam. Usaha pemurnian ajaran islam ini dilakukan melalui pendidikan dan dakwah. Dalam memahamkan islam kepada masyarakat indonesia terutama masyarakat jawa, bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilakukan. Karena tradisi yang ada pada masyarakat sudah mengakar. Oleh karena itu untuk meraih kesuksesan dalam pemurnian ajaran islam, kemudian didirikanlah Muhammadiyah sebagai media pendekatan sekaligus pengembangan, terutama dalam berdakwah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Sejarah lahirnya Muhammdiyah
2.      Strategi dakwah yang digunakan Muhammadiyah

C.    Tujuan
1.      Mengetahui sejarah berdirinya Muhammdiyah
2.      Dan Strategi dakwahnya

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Muhammadiyah
Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912 M, tepatnya pada tanggal 18 November atau 8 Dzulhijjah 1330 H oleh K.H. Muhammad Dahlan atau Muhammad Darwis di kota santri Kauman Yogyakarta. Muhammadiyah merupakan sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Pergerakan tersebut diaplikasikan melalui beberapa aspek, seperti agama, pendidikan dan sosial.
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad SAW. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”
Sebagai gerakan yang berlandaskan agama, Muhammadiyah bertujuan untuk memurnikan Islam dari pengaruh tradisi dan kepercayaan lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam kaitan ini usaha-usaha pembaharuan Islam yang dilakukan Muhammadiyah banyak berkaitan dengan masalah ubudiyah dan muamalah. Namun, meskipun tujuannya adalah pembaharuan Islam, Muhammadiyah konsisten dengan semboyan “kembali kepada ajaran yang murni yakni Qur’an dan Sunnah” . Hal ini berarti bahwa dalam masalah yang berkaitan dengan ubudiyah, kaum muslimin hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh Qur’an dan sunnah, bukan dari yang lain. Berdasarkan ide ini Muhammadiyah menggangap bahwa kehidupan beragama orang-orang Islam di Jawa pada waktu itu adalah kurang murni. Ajaran Islam yang mereka lakukan itu bercampur dengan berbagai unsur kepercayaan tradisional sehingga mengkaburkan ajaran yang sesungguhnya. Banyak orang Islam di Jawa mempunya kepercayaan ganda, selain percaya pada Tuhan Allah, banyak orang Islam di Jawa percaya kepada selain Allah, yaitu percaya kepada kekuatan roh nenek moyang yang dianggap bisa menggangu kehidupan mereka. Dan untuk menghindari gangguan ini, mereka melakukan ritual-ritual tertentu dalam bentuk sesaji, Menurut Mahammadiyah, keyakinan seperti ini adalah salah, oleh karena itu harus dihilangkan.
Di dalam pemikiran keagamaan, Muhammadiyah hanya berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pokok. Muhammadiyah juga gigih mempertahankan pendapat bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan menolak tentang ide taqlid. Menurut Deliar Noer, hal ini bukan berarati Muhammadiyah secara membabi-buta menolak pendapat para imam madzab, tetapi menggangap bahwa fatwa dan pendapat para imam begitu juga ide-ide yang merupakan subjek untuk penelitian selanjutnya. Bagi Muhammadiyah, kebenaran dari fatwa, ide dan amalan pada prinsipnya harus didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah.[3]
Berdirinya Muhammadiyah mengundang reaksi dari beberapa pihak, dari pemerintahan kolonial Belanda dan dari beberapa kelompok masyarakat Indonesia. Reaksi itu ada yang positif da nada pula yang negatif. Sikap positif ditunjukkan oleh “Kaum Muda” (Kelompok Pembaharu) yang memiliki ide yang sama dengan Muhammadiyah. Sedangkan reaksi negatif datang dari pemerintah kolonial Belanda, sebagian kelompok Nasionalis, dan kelompok tradisionalis, yang masing-masing kelompok mempunyai alasan sendiri.[4]
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah K.H. Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. K.H. Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Sahih, dengan membuka ijtihad.



B.Strategi Dakwah Muhammadiyah
Menurut kamus bahasa Indoesia, strategi berarti siasat perang, ilmu siasat. Memang pada mulanya strategi berasal dari peristiwa peperangan (militer) yaitu suatu siasat mengalahkan musuh. Namun pada akhirnya strategi berkembang untuk kegiatan organisasi termasuk keperluan ekonomi, sosial, budaya dan agama. Dewasa ini istilah strategi sudah digunakan semua jenis organisasi dan ide-ide pokok yang terdapat dalam pengertian semula tetap dipertahankan, hanya aplikasiya disesuaikan jenis organisasi yang menerapkannya. Menurut A. Arifin, Strategi adalah keputusan kondisional tentang apa yang akan dilaksanakan guna mencapai tujuan.
Sedangkan dakwah berarti mengajak dan menyuruh umat manusia baik perorangan maupun kelompok kepada agama Islam, pedoman hidup yang diridhoi Allah dalam bentuk amar ma‟ruf nahi munkar dan amal sholeh dengan cara lisan maupun guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi, strategi dakwah adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan dakwah tertentu.
Pola pengembangan strategi dakwah Muhammadiyah tidak jauh dari pendirinya yaitu K.H. Ahmad Dahlan. Staregi dakwah Muhammadiyah menggunakan pendekatan kultur yang lebih menekankan pada bidang sosial dan pendidikan.
1) Bidang Sosial
Berawal dari praktek surat al-Ma’un, K.H. Dahlan mengajak kepada masyarakat untuk menyayangi anak yatim dan membantu fakir miskin, dengan tujuan agar menyadarkan umat Islam tentang pentingnya konsistensi pemahaman Islam dengan pengamalan (menyantuni orang miskin, yatim piatu), sekaligus melakukan pelembagaan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tanpa terjebak pada formalisme, Islam dihadirkan bukan ajaran dogmatik atau statis, tetapi hadir ditengah-tengah kenyataan masyarakat untuk memecahkan dan menjawab persoalan aktual. Lebih khusus lagi dalam melakukan emansifasi atau pembebasan masyarakat kaum dhu’afa (lemah, terlemahkan) dan mustadh’afin (tertindas, ditindas).
Kemudian lahirlah kelembagaan Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) pada tahun 1922, yang kemudian kini berubah menjadi pelayanan kesehatan dan sosial, termasuk lembaga-lembaga Panti Asuhan.[5] Muhammadiyah mempelopori pendayagunaan modal yang ada, yang berasal dari zakat, infaq dan sadaqah, kedalam bentuk berusaha yang permanen dalam rangka meringankan beban sosial dan memberikan bantuan bagi yang memerlukannya.
   Bidang Pendidikan
Di bidang pendidikan, Muhammadiyah sangat berkeinginan untuk mencetak “elite” muslim terdidik yang memiliki identitas Islam yang kuat, mampu mem berikan bimbingan dan keteladanan terhadap masyarakat, dan juga sekaligus sebagai kekuatan untuk mengimbangi tantangan kaum elite sekular berpendidikan Barat yang dihasilkan oleh sistem pendidikan Belanda pada waktu itu (Soebardi dan Lee: 1982). Keinginan ini kemudian dirumuskan dalam program pembaharuan pendidikan Muhammadiyah yang meliputi dua aspek pokok yaitu: cita-cita dan teknik penyelenggaraan pendidikan. Dari segi cita-cita Muhammadiyah ingin keilmuan dan memanfaatkannya secara praktis dalam kehidupan sehari-hari (Wirjosukarto: 1962).
Sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah mendapat sambutan baik dari masyarakat maupun pemerintah. Dari masyarakat, demikian seperti digambarkan oleh Nakamura, lewt penelitiannya di Kota gede, Yogykarta, banyak orang dari kalangan luas yng memiliki orientasi keagamaan serta status sosial yang berbeda mengirim anak-anak mereka ke sekolah Muhammadiyah, termasuk diantaranya beberapa keluarga priyayi (Nakamura: 1976). Dari pihak pemerintah, sekolah Muhammadiyah bahkan mendapat bantuan karena dianggap memenuhi syarat (Poerbakawatja: 1970).[6]
Sebagai gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut: pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan islam, dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual. Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah. Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma‟ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan dengan berdialog. Ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (pembaharuan). Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan masyarakat. Keempat, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. Membentuk bagian khusus wanita yaitu “Aisyah”. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberikan kursus kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta memberi bantuan kepada orang sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan “Aisyah” ini berjalan baik, terutama karena banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini. Di samping “Aisyiah”, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
Sepanjang sejarah Muhammadiyah, sejak kelahiranya sampai Indonesia merdeka penuh, diwarnai oleh kegiatan-kegiatan dan amalan-amalan yang positif. Sehingga kepeloporanya diakui baik kawan maupun lawan, dan manfaat kehadiranya dirasakan oleh masyarakat luas.  Dengan ikut berperannya Muhammadiyah dalam tatanan sosial, pendidikan dan budaya akan lebih memudahkan untuk melakukan pengembangan dakwahnya. Muhammadiyah ingin menghadirkan Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidupan. Apalagi Islam yang murni itu sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala kemunkaran).


BAB III
PENUTUP
  A.  Kesimpulan
Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912 M, tepatnya pada tanggal 18 November atau 8 Dzulhijjah 1330 H oleh K.H. Muhammad Dahlan atau Muhammad Darwis di kota santri Kauman Yogyakarta. Muhammadiyah merupakan sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Pergerakan tersebut diaplikasikan melalui beberapa aspek, seperti agama, pendidikan dan sosial.
Strategi dakwah Muhammadiyah dalam pembaharuan Islam menggunakan metode kultural yang lebih menekankan kepada bidang sosial dan bidang pendidikan. Dalam bidang sosial Muhammadiyah membentuk PKU, Aisyah, Panti Asuhan dan Rumah Sakit guna menunjang mengembangkan pendekatan dakwahnya. Di bidang pendidikan, seperti yang kita ketahui bersama, Muhammadiyah merupakan salah satu tonggak utama dalam meningkatkan taraf pendidikan umat Islam. Muhammadiyah membangun sekolah-sekolah dan universitas yang sudah menyebar di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Muhammadiyah ingin menghadirkan Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidupan. Apalagi Islam yang murni itu sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala kemunkaran).
  B.  Daftar Pustaka
1.      Syamsuddin Din. Muhammadiyah Kini dan Esok. Jakarta. Pustaka Panji Mas. 1990.
2.      Syarifah Husna Barokah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Bawah Kepemimpinan ahmad Syafi’I Ma’arif Periode 1998-2003. Surakarta. Universitas Sebelas Maret. 2003.
3.      Karim M Rusli. Muhammadiyah Dalam Kritik dan Komentar. Jakarta. Rajawali. 1986.
4.      Mark. R. Woodward. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta. Lkis. 1999.
5.      B. Soelarto. Garebeg Di Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta. Kanisius. 1993.
http://www.muhammadiyah.or.id/content-178-det-sejarah-singk



[1] Mark. R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta: Lkis,1999), hlm. 352.
[2] B. Soelarto, Garebeg Di Kasultanan Yogyakarta, (Yogyakarta, Kanisius, 1993), hlm. 19.
[3] Din Syamsuddin, Muhammadiyah Kini dan Esok, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990, hlm. 41-44.
[4] Ibid., hlm. 50.
[5] Haedar Nashar, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, hlm. 127.
[6] Din Syamsuddin, Muhammadiyah Kini dan Esok, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990, hlm. 42-44.

0 komentar:

Post a Comment