Mu'tazilah, www.tongkronganislami.net |
BAB I
PENDAHULUAN
Banyak
aliran dan mahzab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari
timbulnya aliran politik berlatar belakang politik, yang kemudian alira
tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi),
hingga bermacam mahzab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu keislaman lainnya. Namun
dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam, tidak sedikit yang
mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi umat, khususnya aliran
yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu
diantaranya adalah Mu’tazilah.
Aliran
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dn bersiat filosofis dari persoalan-persoalan yang dibawa kaum
Murji’ah dan Khawarij. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga
mendapat nama “Kaum Rasionalis Islam”. Oleh karena itu, perlunya dibahas dan
dikaji lebih dalam lagi tentang pemikiran Mu’tazilah, dengan tujuan agar
diketahui penyimpangannya dari agama Islam.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari
uraian diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian dari Mu’tazilah?
2. Apa
sebab munculnya aliran Mu’tazilah?
3. Apa
pokok ajaran dari aliran Mu’tazilah?
4. Siapa
tokoh dari aliran Mu’tazilah?
5. Bagaimana
perkembangan aliran Mu’tazilah?
1.3
TUJUAN
PENULISAN
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui
pengertian dari Mu’tazilah
2. Mengetahui
sebab munculnya aliran Mu’tazilah
3. Mengetahui
pokok ajaran dari aliran Mutazilah
4. Mengetahui
perkembangan aliran Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN MU’TAZILAH
Nama
Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala
yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau
menjauhkan diri, pemberian nama Mu’tazilah dihubungkan dengan peristiwa yang
terjadi ketika Wasil bin Atha’ yang tidak sependapat dan memisahkan diri dari
gurunya, Hasan Al-Bashri.[1]
Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian disetujui leh pengikut
Mu’tazilah dan digunakan sebagai nama dari aliran teologi mereka.
Kenapa
Hasan al-Bashri mengatakan “I’tazala anna
washil” bukan dengan “In’azala anna
washil” ini dikarenakan konotasi yang kedua menunjukkan perpisahan secara
menyeluruh, sedangkan Washil terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan
mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.
Aliran
Mu’tazilah menyebutu dirinya sendiri sebagai “Ahlul Adli wat Tauhid” (golongan keadilan dan ketauhidan), sebutan
ini diambil dari dua prinsip dari lima prinsip yang menjadi dasar semua ajaran
dan kepercayaan aliran Mu’tazilah. Dua prinsip tersebut ialah Keadilan Tuhan
dan Keesaan-Nya.[2]
2.2 SEBAB MUNCULNYA ALIRAN MU’TAZILAH
Aliran Mu’tazilah
pertama kali muncul di kora Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, tahun
105-110 H. Tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya ialah seorang penduduK Bashrah
mantan murid Hasan al-Bashri yang bernama Wasil bin Atha’ al-Makhzumi
al-Ghozzal.
Terjadi perbedaan pendapat antara Hasan al-Bashri dengan Wasil
bin Atha’ mengenai orang yang berbuat dosa besar (Murtakib al-Kabair). Mengenai
pelaku dosa besar Khawarij menyatakan kafir, sedangkan Murji’ah menyatakan
mukmin. Ketika al-Hasan sedang berpikir, tiba-tiba Wasil tidak setuju dengan
kedua pendapat tersebut. Menurutnya, pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi ia berada dinatara posisi keduanya (al manzilah baina al manzilataini). Kemudian ia berdiri dan
meninggalkan Hasan al-Bashri karena tidak setuju dengan pendapat gurunya dan
membentuk pengajian baru. Sedangkan Imam Abu Zahrah berpendapat terdapat tiga
sebab lahirnya aliran Mu’tazilah[3],
yaitu:
a) Golongan
Mu’tazilah mulai timbul sebagai satu kelompok di kalangan pengikut Ali, mereka
mengasingkan diri dari masalah-masalah politik dan beralih pada masalah aqidah
ketika Hasan turun dari jabatan khalifah untuk digantikan oleh Muawiyah bin Abu
Sufyan.
b) Adanya
perbedaan pendapat antara Wasil bin Atha’ sebagai pendiri aliran Mu’tazilah
dengan Hasan al-Bashri, gurunya. Wasil bin Atha’ kemudian meninggalkan Hasan
al-Bashri, meghindari kajian-kajiannya dan membentuk forum kajian baru di
masjid yang sama.
c) Menurut
pendapat Ahmad Amin dalam bukunya Fajr Islam yang ditemukan dari catatan
al-Maqrizi, bahwa diantara sekte Yahudi yang berkembang pada waktu itu dan
sebelumnya, ada satu sekte yang bernama Frosyen
yang berarti Mu’tazilah (mengasingkan
diri), diantara mereka ada yang mengatakan bahwa sekte tersebut membicarakan
masalah al-Qadr, dan berpendapat bahwa tidak semua perbuatan manusia diciptakan
manusia sendiri. Jadi bisa dikatakan Mu’tazilah digunakan untuk memberi nama
umat Islam yang sedang mengasingkan diri.
2.3 POKOK AJARAN ALIRAN
MU’TAZILAH
Adapun pokok ajaran aliran Mu’tazilah dikenal dengan
al-Ushul al-Khamsah berarti lima ajaran dasar Mu’tazilah. Menurut Muhammad Abed
al-Jabiiri seorang filosof kelahiran Maroko, sebagaimana dikutip dari Adeng Muchtar
Gazali menanggapi doktrin Mu’tazilah yang menggambarkan bukan hanya sebagai
doktrin dari aliran teologi saja, namun juga mengandung secara implist
muatan-muatan sosial politik.[4]
Doktrin itu pada awalnya merupakan ungkapan teologis dari sebuah gerakan
oposisi terhadap kekuasaan Umayyah yang korup. Lima ajaran dasar yaitu:
a) Al-Tauhid (Pengesaan
Allah)
Tauhid
dalam pandangan Mu’tazilah berarti meng-Esakan Allah dari segala sifat dan
af’alnya yang menjadi pegangan bagi akidah Islam. Dalam mempertahankan paham keesaan Allah SWT, mereka
meniadakan segala sifat Allah, yaitu bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat yang
berdiri di luar Dzat-Nya Kaum Muktazilah
enggan mengakui adanya sifat Tuhan dalam pengertian sesuatu yang melekat pada
Dzat Tuhan. Jika Tuhan dikatakan Maha Mengetahui maka itu bukan sifat-Nya tapi
Dzat-Nya. Muktazilah juga meyakini bahwa Al Qur’an adalah mahluk.
b) Al-Adl (Keadilan
Tuhan)
Paham keadilan
yang dikehendaki Muktazilah adalah bahwa Allah SWT tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan
perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintahNya dan
meninggalkan larangan-laranganNya dengan qudrah (kekuasaan) yang
ditetapkan Allah SWT pada diri manusia itu. Allah tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang
dikehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya dan
tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarangNya.
c)
Al Wa’d wa al
wa’id (janji dan ancaman)
Al Wa’du WalWa’id
(janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah SWT untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d)
bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam surga, dan melaksanakan
ancaman-Nya (alwa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik)
agar dimasukkan ke dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi
Allah SWTuntuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah
d)
Al Manzilah
bain al Manzilatain (posisi diantara tempat)
e) Adalah suatu tempat antara surga dan neraka sebagai
konsekwensi dari pemahaman yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah fasiq, tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan
kafir, dia tidak berhak dihukumkan mukmin dan tidak pula dihukumkan Kafir.
f)
Amar ma’ruf
nahi mungkar
Dalam
pandangan Muktazilah, dalam keadaan normal pelaksanaan al amru bil ma’ruf
wan nahyu ‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan
tertentu perlu kekerasan.
2.4
TOKOH ALIRAN MU’TAZILAH
Tokoh aliran
Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan
ajaran-ajaran sendiri yang berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya atau tokoh
pada masanya. Dari segi geogrsfis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu
Mu’tazilah Baghdad dan Basrah.[5]
Menurut Ahmad Amin, pengaruh filsafat Yunani pada aliran Mu’tazilah Baghdad
lebih nampak, karena adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di
Baghdad. Sedangkan Mu’tazilah Basrah lebih menekan segi teori dan keilmuan.
Tokoh
aliran Basrah antara lain Wasil bin Atha’, Abdul Huzail al-Allaf, dan
al-Jubbai. Sedangkan tokoh aliran Baghdad adalah Bisyr bin al-Mu’tamir dan
al-Chayyat.
a)
Wasil bin Atha’ (80-131
H/699-748 M)
Ialah seorang yang
pertama kali meletakkan kerangka dasar ajaran Mu’tazilah. Ada tiga ajaran pokok
yang dicetuskannya, yaitu paham al-Manzilah
bain al-Manzilatain, paham Qadariyah, dan paham peniadaan sifat-sifat
Tuhan. Dua dari tiga ajaran tesebut kemudian menjadi doktrin Mu’tazilah.
b)
Abdul Huzail al-Allaf
(135-226 H/752-840 M)
Puncak
kebesarannya dicapainya pada masa al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi
muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama dan aliran-aliran pada masanya.
Hidupnya penuh dengan perdebatan dengan orang yang zindiq (orang yang pura-pura masuk Islam), skeptis, Majusi,
Zoroaster, dan menurut riwayat ada 3000 orang yang masuk Islam di tangannya. Ia
banyak membaca buku dan banyak haalan tentang syair bahasa Arab. Ia banyak
berhubungan dengan filosof dan buku filsafat. Boleh jadi pertalian antara
filsafatlah yang menyebabkan ia sanggup mngatur dan menysun ajaran Mu’tazilah.
c)
Al-Jubabai (wafat 303
H/915 M)
Merupakan guru Abu
Hasan al-Asyari. Pendapatnya yang masyhur mengenai kalam Allah, Sifat Allah,
kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah ia menerangkan bahwa
Allah tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan
mengetahui berati hal tersebut melalui esensi-Nya bukan dengan sifat-Nya.
Tentang kewajiban manusia ia membaginya menjadi dua, yaitu: kewajiban yang
diketahui manusia melalui akal (wajibah
aqliah) dan kewajiban melalui ajaran yang dibawa para nabi dan rasul (wajibah syariah).
d)
Bisyr bin al-Mu’tamir
(wafat 226 H/840 M)
Ia pendiri aliran
Mu’tazilah di Baghdad. Pandangannya mengenai kesusasteraan, sebagaimana ynag
banyak dikutip oleh al-Jahiz dalam bukunya al-Bayan wat-Tabyin, menimbulkan
dugaan bahwa dia adalah orang yang pertama mengadakan ilmu Balaghah. Beberapa
penapatnya mengenai Mu’tazilahan ialah soal tawallud
yang dimaksudkan untuk menmcari batas-batas pertanggungjawaban manusia atas
perbuatannya.
e)
Al-Chayyat (wafat 300 H/
912 M)
Merupakan
pengarang buku al-Intisar yang
dimaksudkan untuk membela aliran Mu’tazilah dari serangan Ibnu ar-Rawandi.
Berpendapat bahwa kehendak bukanlah suatu sifat yang melekat pada zat Tuhan dan
Tuhan berkehendak dengan zat-Nya.
2.5
PERKEMBANGAN ALIRAN MU’TAZILAH
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat
simpati dari umat Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam, karena mereka
sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang bersifat rasional dan filosofis.
Alasan lain adalah kaum muktazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah
Rasulullah dan para sahabat. Aliran Muktazilah baru memperoleh dukungan yang
luas, terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Al
Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/ 813-833M).[6]
Kedudukan Muktazilah semakin kuat setelah al-Ma’mun
menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun
sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan Ilmu pengetahuan dan
filsafat.
Peristiwa yang paling menggemparkan dalam sejarah
perjalanan Mu`tazilah ini adalah peristiwa Al-Quran ialah makhluk. Sebuah
peristiwa yang telah menelan ribuan korban dan kaum muslimin, yaitu mereka yang
tidak setuju pada pendapat bahwa Al-Quran adalah
kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan.
Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika Al-quran
itu dikatakan kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain
Allah SWT dan hukumnya Musyrik. Mereka yang
tidak sependapat tetap tetap bersikukuh pada pendapat mereka, bahwa Al-Quran
adalah kalamullah sebagaimana yang dipahami oleh para salaf. Termasuk
ulama yang mendapatkan ujian berat dari peristiwa Al-Quran makhluk ini adalah
Imam Syafi`ie dan Imam Ahmad.
Khalifah
al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintahan
(mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut Al Ma’mun
orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran adalah kadim tidak dapat dipakai
untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintah
yang diperiksa melainkan juga tokoh-tokoh masyarakat.Sejarah mencatat banyak
tokoh dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali, bahkan ada
ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan ajaran muktazilah. Peristiwa ini sangat menggoncang umat Islam dan baru
berakhir setelah al-Mutawakkil (memerintah 232-247H/ 847-861M).
Dimasa
Al Mutawakkil, dominasi aliran muktazilah menurun dan menjadi semakin tidak
simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan
pemakaian mazhab Muktazilah
sebagai mazhab resmi Negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah. Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Muktazilah muncul
kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak berlangsung lama.
Selama
berabad-abad, kemudian Muktazilah
tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini ialah
buku-buku mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Muktazilah ditemukan kembali dan dipelajari di berbagai
perguruan tinggi Islam seperti universitas al-Azhar.
Seperti telah
disebutkan sebelumnya bahwa pergerakan kaum Mu'tazilah yang meminjam
tangan-tangan penguasa dan dengan menggunakan kekerasan dalam melancarkan faham
dan ajarannya telah menimbulkan kebencian dikalangan masyarakat. Kondisi ini menjadi bumerang bagi dirinya, karena mosi
tidak percaya yang dilancarkan oleh ummat Islam bukan saja menimbulkan kondisi
yang chaos tetapi juga
membahayakan bagi stabilitas negara.
Menyadari kondisi
ini dan untuk menyelamatkan posisinya, pada tahun 234 hijriyah setelah al-Mutawakkil
naik ke singasana
kekholifahan menggantikan al-Watsik, dia mengemumkan tentang batalnya
pendapat tentang kemahlukan Al Qur’an. Dia juga mengecam pendapat itu dan
menetapkan untuk mengahiri perdebatan seputar kemahlukan Al Qur’an. Dia mencabut kebijakan pendahulunya yang telah
menjadikan Mu'tazilah sebagai madzhab negara. Dia lebih menampakkan kecondongannya
pada madzhab Ahlus Sunnah (muhadditsin)
Al Mutawakkil juga memberikan ruang yang lebar dan atmosfir
kebebasan kepada kelompok sunni untuk menyampaikan pandangan-pandangannya yang
bertolak belakang dengan Mu'tazilah. Dan mulai saat itulah pengajian-pengajian
yang dimotori oleh para muhadditsin kembali semarak dilakukan dan mendapatkan
tempat dihati masyarakat dan kalangan istana.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sejarah munculnya
aliran Mu’tazilah oleh para kelompok dan aliran Mu’tazilah muncul di kota
Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah tahun 105-110 H, tepatnya pada masa
khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
Pelolpornya adalah Wasil bin Atha’ karena terjadinya perbedaan pendapat antara dia
dengan gurunya, Hasan al-Bashri.
Mu’tazilah memiliki lima ajaran dasar, perintah berbuat baik dan
larangan berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan hanya oleh kaum
Mu’tazilah saja namun juga seluruh kaum muslimin. Aliran mu’tazilah diangap
sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam, dengan demikian kurang
disenangi oleh sebagian besar umat Islam. Pandangan demikian timbul karena kaum
Mu’tazilah dianggap tidak percaya dengan wahyu dan hanya mengakui kebenaran
dari rasio.
Sebagai pengetahuan kaum Mu’tazilah tidak hanya memakai argumen
rasional saja, yang condong kearah filsafat Yunani saja, namun juga memakai
ayat-ayat Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi. 1995. Pengantar Teologi Islam. Al-Husna Zikra:
Jakarta
Hidayati, Wiji.
2013. Ilmu Kalam. Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta
Nasution, Harun.
1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah. Universitas Indonesia: Jakarta
Putra, Muhammad Arif. Aliran Mu’tazilah. Diakses pada 20 November 2017 pukul 2.27
http://otaklapar.blogspot.com/2016/03/aliran-mutazilah.html
Nurhidayat, Muhammad. Mu’tazilah: Pengertian, Asal-usul, dan ajaran pokok. Diakses pada
21 November 2017 pukul 15.42
http://artikelpiyekabare.blogspot.co.id/2014/01/mutazilah.html
Baca Juga: Khawarij
[1] Nur Hadi, Ilmu Kalam, Bandung, 2013, hlm.
98
[2] Hanafi, Pengantar teologi Islam,
Al-Husna Zikra, Jakarta, 1995, hlm. 69
[3] Wiji Hidayati, llmu Kalam, Fak. Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013, hlm. 42
[4] Wiji Hidayati, Ilmu Kalam, hlm.
41
[5] Hanafi, Pengantar Teologi Islam, hlm. 70
[6] Nur Hadi, Ilmu Kalam, Bandung, 2013,
hlm. 65
0 komentar:
Post a Comment