Dinasti Abbasiyah Priode 1, data:image |
A. Sejarah
Singkat Berdirinya Daulah Abassiyah
Dinasti Abbasiyah merupakan kekhalifahan terlama yang pernah memimpin
sepanjang sejarah Islam, yaitu pada tahun 750-1258 M. Naiknya dinasti ini ke
dalam tahta kepemimpinan Umat Islam saat itu tidak lepas dari banyak faktor.
Diantaranya adalah adanya sebagian umat yang memandang bahwa Dinasti Umayyah
tidak berlaku adil dan hanya memihak kepada sebagian kelompok saja. Ada juga
sebagian kelompok yang merasa hak-haknya dirampas seperti kelompok Syiah. Dan
juga orang-orang non-arab (Mawalli) yang tidak diberlakukan secara
adil dengan dibebankan membayar pajak lebih besar dari orang arab.
Faktor-faktor tersebutlah yang membuat Bani Abbasiyyah mendapatkan banyak
dukungan dari berbagai pihak sampai memastikan kursi kekhalifahan pada waktu
itu berpindah tangan dari Bani Umayyah kepada Bani Abbasiyah dengan melalui
perebutan wilayah sampai menyisakan satu wilayah kekuasaan Bani Umayyah, yaitu
Andalusia.
Nama Bani Abbasiyah sendiri disandarkan kepada paman Nabi Muhammad yang
termuda, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib. Hal ini menunjukan pertalian yang erat
antara keluarga Bani Abbas dengan Nabi Muhammad Saw. Sementara itu, Pada
awalnya kekhalifahan Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai pusat
pemerintahan, dengan Abu as-Saffah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama.
Khalifah penggantinya, Abu ja’far al-Mansur (754-775) memindahkan pusat
pemerintahan ke baghdad.
Dinasti ini mengalami masa kejayaan pada awal-awal masa kepemimpinannya.
Yaitu pada masa Harun Ar Rashid yang pernah memerintah pada tahun 786-809 M dan
putranya yaitu Al Ma’mun yang menjabat pada tahun 813-833 M.
Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam
mengembangkan pemerintahan. Sehingga dapatlah dikelompokkan masa daulah
Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan, yaitu :
1.
Periode I (132 H/750 M-232/847 M)
Pengaruh Persia
2.
periode II (232 H/874 M-334 H/9445 M)
Pengaruh turki pertama
3.
periode III (334 H/9445 M-447 H/1055 M)
pengaruh Persia dua
4.
periode IV (447 H/1055-M-334 H/1055 M),
pengaruh turki dua
5.
periode V (590 H/1194 M-656 H-1258 M)
kekuasaan aktif sekitar bagdad
B. Penguasa
Dinasti Abbasiyah Periode I dan Kebijakan-kebijakannya
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa
keemasannya. Periode pertama terjadi pada tahun 132 H/750 M – 232 H/847 M. Secara
politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain kemakmuran masyarakat
mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode
ini berakhir, pemerintahan Bani Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik
meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang.
Para Penguasa
Periode I antara lain :
1. Abdullah Ibn
Muhammad Ibn Ali Bin Abdillah Ibn Abbas
Abu Abbas as Shaffah lahir di Humaymah. Ia merupakan
pendiri dinasi Abassiyah. Kepemimpinannya identik dengan tangan besi, Ia
dikenal sebagai seseorang yang bermoral tinggi dan mempunyai loyalitas. Menurut
as Syuyuti ia adalah manusia yang sopan dan selalu menepati janji.
Namun, ia hanya menjabat selama empat tahun, yaitu
dari 750 M sampai 754 M. Diantara kebijakannya yaitu : Mengeluarkan dekrit pada
Gubernur supaya tokoh-tokoh Umayah yang memiliki darah biru ditumpas, ia juga
membunuh rival dari dinasti Tersebut. Ia sampai menggali kuburan para khalifah
umayah( kecuali Umar Bin Abul Aziz). Selain itu ia juga disibukkan untuk menguatkan
pilar pilar negara, serta ia
mengonsolidasikan berbagai kekuatan untuk kejayaan Dinasti Abbasiyah.
2. Abu Ja’far Al Mansur
Abu
Jafar Abdullah bin Muhammad Al-Mansur adalah Khalifah kedua Bani Abbasiyah,
putera Muhammad bin Ali bin Abdullah ibn Abbas bin Abdul Muthalib, dilahirkan
di Hamimah pada tahun 101 H. Ibunya bernama Salamah al-Barbariyah, adalah
wanita dari suku Barbar. Al-Mansur adalah saudara Ibrahim Al-Imam dan Abul
Abbas As-Saffah. Al-Mansur memiliki kepribadian kuat, tegas, berani, cerdas,
dan otak cemerlang.
Ia
tampil dengan gagah berani dan cerdik menyelesaikan berbagai persoalan yang
tengah melanda pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Al-Mansur juga sangat mencintai
ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan menjadi pilar bagi
pengembangan peradaban Islam di masanya. Diantara kebijakannya antara lain :
Memindahkan ibu kota Abbasiyah dari Kufah ke Baghdad, ia melakukan pembangunan di kota tersebut hingga menghabiskan 18 juta dinar. Di ibu kota tersebut ia melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Yang mana dalam membenahi administrasi pemerintahan dan kebijakan politik ia melakukan beberapa hal seperti : mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen, membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata, ia menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya untuk menghimpun seluruh informasi dari daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan berjalan dengan lancar sekaligus menjadi pusat informasi khalifah untuk mengontrol para gubernurnya.
Memindahkan ibu kota Abbasiyah dari Kufah ke Baghdad, ia melakukan pembangunan di kota tersebut hingga menghabiskan 18 juta dinar. Di ibu kota tersebut ia melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Yang mana dalam membenahi administrasi pemerintahan dan kebijakan politik ia melakukan beberapa hal seperti : mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen, membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata, ia menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya untuk menghimpun seluruh informasi dari daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan berjalan dengan lancar sekaligus menjadi pusat informasi khalifah untuk mengontrol para gubernurnya.
Untuk
memperluas jaringan politik, Al-Mansur menaklukkan kembali daerah-daerah yang
melepaskan diri, dan menertibkan keamanan di daerah perbatasan. Dia juga
melakukan perdamaian dengan kaisar Constantine V, membuat Byzantium membayar
upeti tahunan, serta menjalin kerjasama dengan Raja Pepin di Prancis.
3. Muhammad Al Mahdi Ibn Al Manshur
Al-Mahdi
dikenal sebagai sosok dermawan, pemurah, terpuji, disukai rakyat serta banyak
memberikan hadiah-hadiah. Selain itu, ia juga mengembalikan harta-harta yang
dirampas secara tidak benar. Ia lahir pada 129 H. Ada juga yang mengatakan 126
H. Ibunya bernama Ummu Musa binti Al-Manshur Al-Himyariyah.
Khalifah Al-Mahdi berkuasa sekitar sepuluh tahun. Dia menggalakkan
program penulisan kitab ilmu pengetahuan, meneruskan kebijakan ayahnya. Namun
dia sangat keras terhadap orang zindiq, yaitu aliran yang pada masa itu
mencampuradukkan ajaran Islam dengan Zoroaster. Kaum Zindiq ini dikejar dan
dibunuh.Misalnya muncul tokoh Hasyim bin Hakim yang dikenal dengan Al-Muqanna’
yang menutupi wajahnya akibat cacat. Dia menganggap dirinya sebagai Nabi dari
Khurasan. Dia dikepung oleh pasukan Al-Mahdi sehingga, konon, dia melakukan
bunuh diri massal bersama pengikutnya dengan cara membakar diri.
Kebijakan Al-Mahdi yang pro ilmu pengetahuan juga didukung oleh penemuan
kertas dari China. Sebelumnya yang digunakan itu papirus dari Mesir. Sejak
penemuan kertas, kota Baghdad menjadi ramai dengan pabrik kertas yang digunakan
sebagai bahan untuk menulis kitab.
Al-Mahdi juga membangun jaringan pos antara Irak dan Hijaz. Ini membuat
komunikasi antarkota menjadi lebih terjalin, tidak lagi mengandalkan utusan
atau melempar burung dengan pesan diikat di kaki burung. Sayang, pada masa itu
belum ada Whatsapp dan pesan pendek.
Al-Mahdi juga pecinta seni. Banyak sekali berbagai syair yang tumbuh
pesat pada masanya, dan sebagian diulas oleh Imam Suyuthi dalam Tarikh
al-Khulafa. Al-Mahdi bisa sangat royal memberikan berbagai hadiah jikalau
ada pihak yang membacakan sya’ir indah memuji-muji dirinya dan kekuasaannya.
Penaklukan di masa Khalifah Al-Mahdi meliputi daerah Hindustan (India)
dan penaklukan besar-besaran terjadi di wilayah Romawi. Selain itu, Al-Mahdi
juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menyimpang dari ajaran Islam,
yaitu mereka yang menganut ajaran Manawiyah Paganistik (penyembah cahaya dan
kegelapan) atau lebih dikenal dengan sebutan kaum Zindiq. Setelah itu
sebutan Zindiq dialamatkan kepada siapa saja yang mulhid atau para ahli bid’ah.
Gerakan lain yang muncul pada masa kepemimpinannya adalah gerakan Muqanna
Al-Khurasani yang menuntut dendam atas kematian Abu Muslim Al-Khurasani. Selain
itu, gerakan ini merupakan percobaan Persia untuk merebut kembali kekuasaan dan
pengaruh dari bangsa Arab, khususnya Bani Abbasiyah. Al-Muqanna mengajarkan
kepada para pengikutnya tentang pengembalian ruh ke dunia dalam jasad yang
lain, yang lebih dikenal dengan reinkarnasi. Tentu saja gerakan ini sangat
sesat dan menyesatkan.
4. Musa
Al Hadi Ibn Muhammad Ibn Ja’far Al Manshur
Al Hadi menjabat Khalifah Abbasiyah keempat menggantikan ayahnya,
Khalifah Al-Mahdi. Ia menjalankan pemerintahan hanya satu tahun tiga bulan
(169-170 H). Ia dilahirkan di Ray pada 147 H. Ketika ayahnya wafat, Musa
Al-Hadi sedang berada di pesisir pantai Jurjan di pinggir laut Kaspia.
Saudaranya, Harun Ar-Rasyid, bertindak mewakilinya untuk mengambil baiat dari
seluruh tentara. Mendengar berita wafatnya sang ayah, Musa Al-Hadi segera
kembali ke Baghdad dan berlangsunglah baiat secara umum.
Pusat perhatian umat Musa Al-Hadi
ketika menjabat khalifah adalah membasmi kaum Zindiq. Kelompok ini berkembang
sejak pemerintahan ayahnya, Al-Mahdi. Secara umum kelompok ini lebih mirip
ajaran komunis yang ingin menyamakan kepemilikan harta. Tetapi mereka sering
tidak menampakkan ajarannya secara terang-terangan. Ini yang menyulitkan kaum
Muslimin membasminya.
Walau demikian, di akhir
pemerintahan Al-Mahdi, kelompok ini semakin merebak dengan melakukan kegiatan
bawah tanah. Untuk itu, Khalifah Musa Al-Hadi tidak mau ambil resiko. Dengan
tegas ia memerintahkan pasukannya untuk membasmi kelompok ini sampai ke
akar-akarnya.
Tantangan terhadap Khalifah Musa
Al-Hadi tak hanya muncul dari kaum Zindiq. Di daerah Hijaz muncul sosok Husain
bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ia mendapatkan sambutan dari
masyarakat karena masih keturunan Ali bin Abi Thalib. Bahkan kelompok ini
sempat memaklumatkan berdirinya Daulah Alawi di Tanah Hijaz.
Karena gubernur setempat tak mampu
mengatasinya, Musa Al-Hadi segera mengirimkan pasukan cukup besar dari Baghdad
yang dipimpin oleh Muhammad bin Sulaiman. Mulanya pihak Sulaiman menawarkan
perdamaian. Namun karena tak mencapai kata mufakat, akhirnya terjadilah
pertempuran di suatu tempat antara Madinah dan Makkah.
Tak terlalu banyak perkembangan yang
terjadi di masa pemerintahan Musa Al-Hadi. Usia pemerintahannya pun tidak
terlalu lama. Ia meninggal dunia pada malam Sabtu 16 Rabiul Awwal 170 H. Konon
kemangkatannya itu tidak wajar. Ibunya, Khaizuran yang masih keturunan Iran,
dianggap terlalu sering mencampuri urusan pemerintahan. Hal itu tidak disenangi
oleh sang khalifah.
Konon sering terjadi pertentangan
antara keduanya, ia pun dibunuh. Imam As-Suyuthi memaparkan banyak versi
tentang tewasnya Musa Al-Hadi. Ada yang mengatakan sang khalifah jatuh dari
jurang dan tertancap pada sebatang pohon. Ada juga yang mengatakan ia meninggal
karena radang usus hingga perutnya bernanah. Riwayat lain mengatakan, ia
diracun oleh ibunya sendiri.
Sebagaimana diketahui, ibunya adalah
orang yang sangat berpengaruh dan sering mengurusi hal yang sangat penting
seputar istana. Para utusan banyak yang datang ke kediaman ibunya. Melihat hal
itu, Musa Al-Hadi marah. Terjadi pertengkaran antara dirinya dan ibunya.
Seperti dikisahkan As-Suyuthi, Musa
Al-Hadi mengirimkan makan beracun kepada ibunya. Begitu menerima makanan itu,
ibunya langsung memberikannya kepada seekor anjing. Seketika binatang itu mati!
Setelah mengetahui niat busuk
anaknya, sang ibu berencana untuk membunuh anaknya yang durhaka itu. Dengan
menggunakan selendang, ia membungkam wajah Musa Al-Hadi hingga kehilangan nafas
dan mati. Musa meninggalkan tujuh orang anak laki-laki.
5. Harun
Ar Rasyid
Harun Ar Rasyid merupakan kalifah kelima, ia terlahir pada 17 Maret 763 M
di Rayy, Teheran, Iran. Dia adalah putera dari Khalifah Al-Mahdi bin Abu Ja’far
Al-Mansur khalifah Abbasiyah ketiga. Ibunya bernama Khaizuran seorang wanita
sahaya dari Yaman yang dimerdekakan dan dinikahi Al-Mahdi.
Sejak belia, Harun Ar-Rasyid ditempa
dengan pendidikan agama Islam dan pemerintahan di lingkungan istana. Salah satu
gurunya yang paling populer adalah Yahya bin Khalid. Berbekal pendidikan yang
memadai, Harun pun tumbuh menjadi seorang terpelajar. Harun Ar-Rasyid memang
dikenal sebagai pria yang berotak encer, berkepribadian kuat, dan fasih dalam
berbicara.
Ketika tumbuh menjadi seorang
remaja, Harun Ar-Rasyid sudah mulai diterjunkan ayahnya dalam urusan
pemerintahan. Kepemimpinan Harun ditempa sang ayah ketika dipercaya memimpin
ekspedisi militer untuk menaklukk Bizantium sebanyak dua kali. Ekspedisi
militer pertama dipimpinnya pada 779 M - 780 M.
Harun
banyak memanfaatkan kekayaannya untuk keperluan social. Rumah sakit, lembaga
pendidikan, dokter, dan farmasi didirikan. Pada masannya paling tidak sudah
terdapat 800 orang dokter. Disamping itu pemandian-pemandian umum juga
dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada masa khalifah
ini. Kesejahteraan social, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusastraan berada pada masannya.
Kebijakan-kebijakan
Harun menjadikan Baghdad sebagai kota literasi. Baghdad tumbuh sebagai kota
buku. Industri kertas mengubah wajah Baghdad. Pendidikan dan situasi
intelektual bertumbuh secara pesat dan menakjubkan. Harun menghendaki arus
peradaban merujuk ke tulisan. Agenda keilmuan dan administrasi pemerintahan
mulai menggunakan kertas. Sistem perdagangan juga berlangsung melalui
pencatatan-pencatatan di kertas. Harun menggerakkan kekuasaan dan peradaban
dengan literasi. Kebijakan Harun mengakbibatkan gairah intelektual bersebaran
dari Baghdad. Kaum terpelajar menggunakan buku dan kertas untuk sebaran ilmu,
selain itu ia juga membangun majlis al-Muzakarah : lembaga pengkaji
masalah-masalah keagamaan yang diselenggarakan dirumah-rumah, masjid-masjid dan
istana.
6. Muhammad
Al-Amin Ibn Harun Ar-Rasyid
Jumadil Akhir 194 H –
Muharram 198 H
Al-Amin
diangkat menjadi khalifah pada usia 23 tahun. Masa kekhalifahanya hanya
berlangsung sebentar kurang lebih sekitar 4 tahun, itupun dipenuhi pertikaian
dengan saudara kandungnya sendiri, Al-Ma’mun.
Pada
mulanya, Harun Ar-Rasyid menetapkan
Muhammad Al-Amin sebagai khlifah yang akan menggantikannya kelak. Secara
usia jelas Al-Ma’mun lebih berumur daripada Al-Amin. Kelebihan Al-Amin hanyalah
posisinya yang merupakan anak dari Zubaydah, istri Ar-Rasyid yang bernasab
tinggi dan paling dicintai.
Upaya
Ar-Rasyid untuk menghilangkan kecemburuan Al-Ma’mun, ialah dengan menyertakan
nama Al-Ma’mun sebagai khalifah penggantinya setelah Al-Amin dan memberikan
kekuasaan penuh atas wilayah Khurasan dan Rayy. Alih-alih ingin meredam
kecemburuan Al-Ma’mun keputusan Ar-Rasyid ini justru mendatangkan masalah yang
lebih buruk. Ditambah dengan memberi saudara ketiga kekuasaan penuh atas
wilayah Jazirah dan Armenia. Semua ini membuat Al-Amin merasa kekuasaannya
semakin dikurangi secara otomatis kekuasaan wilayah yg di genggamnya pun
semakin sedikit. Ditambah lagi hadirnya sosok Fadhl Ibn Rabi’ yang mengahasut
Al-Amin untuk membunuh Al-Ma’mun, meski sebenarnya Al-Amin tak berniat
membunuhnya.
Pertikaian
antar dua saudara ini berujung pada perang. Al-Amin yang mempunyai keyakinan
dapat mengalahkan saudaranya tetapi dalam kesehariannya ia hanya sibuk
bersenang-senang dan sebenarnya ia juga tidak memiliki rencana yang matang.
Berbeda dengan Al-Ma’mun yang berusaha mengumpulkan semua ulama ke majlisnya
sehingga mereka memihak kepadanya. Pada akhirnya Al-Amin terbunuh oleh salah
satu panglima perang Al-Ma’mun. orang-orang pun membaiat Al-Ma’mun sebagai
khalifah baru
7. Al-Ma’mun
Ibn Harun Ar-Rasyid
Pada awal
masa kepemimpinan Al-Ma’mun terjadi banyaknya kekacauan yang ditimbulkan oleh
perdana menterinya sendiri, yaitu Fadhl Ibn Sahl. Fadhl membuat fitnah dan
menghasut Al-Ma’mun untuk kepentingan pribadinya sendiri. Akibat ulah dari
Fadhl munculah banyaknya pemberontakan dan kekacauan kian merajalela. Mulai
banyak terjadi tindakan pembegalan, merampas para perempuan dan budak,serta
memungut pajak secara paksa. Tentunya banyak yang sedih melihat kekacauan kota
dan lemahnya kekhalifahan pusat dalam melindungi rakyat. Dengan keadaan yang
seperti itu membuat beberapa reformis dari setiap kota pun keluar dan sepakat
mengadakan perlawanan terhadap kaum fasik dan perusak.
Perlahan
tipu muslihat Fadhl pun terbongkar dan Al-Ma’mun pun mulai sadar bahwa di
negerinya sedang terjadi kekacauan. Akhirnya Al-Ma’mun membuat gerakan
penangkapan pada Fadhl, yang berujung dengan di eksekusinya Fadhl di tengah
perjalanannya menuju Baghdad. Peristiwa yang terjadi anatara Khalifah
(Al-Ma’un) dan menterinya (Al-Fadhl) menjadi pelajaran berharga pada Al-Ma’mun
dalam memilih memteri dan menentukan kriteria-kriterianya.
Dalam
perjalanan kepemimpinannya Al-Ma’mun terjadi perkembanga ilmu pengetahuan,
seperti pada ilmu kalam, yang membahas tentang prinsip-prinsip dasar agama
(ushul ad-din) dan sepenuhnya rasional. Dalam hal ini faktor pendorong
berkembangnya ilmu pengetahuan adalah kebijakan khalifah Al-Ma’mun yang
memberikan ruang dalam kebebasan berpendapat serta diizinkannya perdebatan dan
adu argumen.
8. Al-Mu’tashim
Billah Abi Ishaq Muhammad Ibn Ar-Rasyid Ibn Al-Mahdi
Al-Mu’tashim
menduduki kursi khilafah pada usia 39 tahun. Pembaiatanya dilakukan diwilayah
kekuasaan Byzantium sehingga pasukan muslim kembali pulang ke baghdad.
Al-Mu’tashim dikenal
memiliki keberanian, kekuatan, ambisi besar dan suka tantangan. Kekuatan
fisiknya sangat mengagumkan. Ia dapat mengangkat beban beberapa kg yg tak
sanggung diangkat oleh sejumlah orang lainya. Al-Mu’tashim tidak seperti
saudara-saudaranya yang ahli sastra. Waktu mudanya lebih suka dihabiskan untuk
bermain-main. Oleh sebab itu, konon, khalifah Al-Mu’tashim sangat lemah dalam
hal baca tulis.
Pernah
suatu ketika terjadi perang, Al-Mu’tashim membutuhkan banyak pasukan, karena
tidak percaya pada pasukan local maka ia mangambil jasa kaum turki sebagai
pasukanya. Akhirnya budak-budak turki di datangkan dan diperbanyak hingga
jumlah mereka melampaui batas. Mereka pun juga di beri tempat tinggal di
Baghdad. Karena karakter mereka kasar, suka memacu kuda dan tidak pedula dengan
apa yang didepanya, baik laki-laki, perempuan, dewasa atau anak kecil semua di
tabrak. Penduduk pun mengadu pada Al-Mu’tashim. Kemudian Al-Mu’tashim membangun
sebuah kota yang di beri nama Sarra Man Ra’a (Samarra). Kota ini di huni
olehnya beserta pasukan turki.
Lama
kelamaan orang Turki di beri kendali pemerintahan oleh Al-Mu’tashim dan semakin
menyingkirkan unsur orang Arab dari kepemimpinan, bahkan menghapus nama-nama
mereka dari arsip-arsip resmi. Artinya, Al-Mu’tashim telah menjadikan Bani
Abbasiyah di bawah kendali kekuasaan unsur Turki yang keras hatinya, berbuat
semaunya, dan tidak jelas nasabnya.
9. Al Watsiq Billah Abi Ja’far Harun Ibn Al
Mu’tashim Ibn Al Rasyid
Ia menjabat
pada usia 41 tahun, ia adalah khalifah dan penyair.
Al-Watsiq memiliki wawasan yang luas dan memiliki syair-syair yang indah. Ia
juga banyak mengetahui tentang berbagai persoalan. Dia memiliki suara yang bisa
diubah menjadi seratus macam, ahli memainkan musik, serta ahli meriwayatkan
syair dan kisah kasih.
Al Watsiq
terpengaruh pemikiran Mu’tazilah. Ia seringkali menyerikan doktrin kemakhlukan
Al Quran. Pada 231 H, Al-Watsiq mengirimkan surat kepada Gubernur Basrah,
memerintahkannya untuk kembali menguji para imam dan para muadzin tentang
masalah Al-Qur'an yang dianggap makhluk. Dalam hal ini dia melanjutkan pendapat
pendahulunya yang menganggap Al-Qur'an itu makhluk. Namun dia bertobat di akhir
masa jabatannya.
Pada tahun
ini, Ahmad bin Nashr Al-Khazai, seorang ahli hadits dibunuh. Ia dibawa dari
Baghdad menuju Samarra dengan tangan diborgol. Al-Watsiq bertanya tentang
Al-Qur'an bukan makhluk. Ahmad bin Nashr juga ditanya tentang apakah Allah dilihat
dengan mata kepala sendiri di Hari Kiamat atau tidak. Ahmad menjawab dengan
sebuah hadits yang menyatakan bahwa Allah bisa dilihat.
Mendengar
semua jawaban itu, Al-Watsiq berkata, "Engkau berbohong!"
"Sebenarnya
engkau sendiri yang berbohong," balas Ahmad.
Al-Watsiq
berkata, "Celaka kamu! Apakah Allah akan dilihat sebagaimana dilihatnya
makhluk yang serba terbatas dan Allah juga menempati satu tempat, serta bisa
dipandang oleh orang-orang yang melihat. Sesungguhnya aku tidak percaya kepada
Tuhan yang memiliki sifat-sifat demikian sebagaimana yang engkau
sebutkan."
Orang-orang
Muktazilah yang hadir di tempat itu mengatakan bahwa Ahmad bin Nashr halal
untuk dibunuh. Karena itulah Al-Watsiq memerintahkan kepada pengawalnya untuk
segera membunuh Ahmad.
10. Al
Muttawakkil ‘Alallah Ibn Al Mu’tashim Ibn Al Rasyid
Berbeda dengan semua keturunannya, ia dikenal membenci Ali Bin Abi Thalib
dan semua keturunannya. Ia pernah memerintahkan pembongkaran makam Husain Ibn
Ali Ibn Abi Thalib dan penghancuran sekitar makam. Penduduk diberi waktu selama
tiga hari, untuk kemudian menjadikan komplek tersebut sebagai lahan pertanian,
dibajak dan ditanami. Khalifah juga melarang adanya pendalaman ilmu kalam.
Pengetahuan yang boleh dan wajib dipelajari hanyalah Al Quran dan Sunnah.
Semakin hari, Al Muttawakkil menyadari bahwa pengaruh turki semakin
dirasakan. Mereka semakin jauh ikut campur urusan pemerintahan, juga mengatur
pasukan. Untuk itu, Al Mutawakkil berupaya mengurangi jumlah pasukan dari
mereka. Sempat ingin memindahkan ibo kota pemerinahan ke damaskus, juga
menyingkirkan beberapa petinggi militer. Akan tetapi rencanannya gagal karena
terdahului oleh pembunuhan mereka.
BAB III
PENUTUP
Dinasti Abbasiyah menurut sejarawan dibagi selama 5 periode, hal itu
sesuai dengan corak pemerintahan yang ada, Pada periode pertama terdapat
sepuluh penguasa dengan ciri khas dan kebijakan masing-masing. Periode ini
identic dengan pengaruh Persia. Periode pertama berakhir pada tahun 847 M.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, A
Oasim, Shaleh. A Muhammad. 2015. Buku
Pintar SEJARAH ISLAM Jejak Langkah Peradaban Islam. Jakarta : Zaman
Yatim, Badri. 2010. Sejarah
Peradaban Islam Dirasah II.Jakarta : Rajawali Pers
http://punyalembak.blogspot.com/2016/04/sejarah-peradaban-islam-dinasti.html
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/17/02/09/ol392a313-khalifah-dinasti-abbasiyah
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/25/lk7c0a-daulah-abbasiyah-muhammad-almahdi-775785-m-khalifah-ketiga
https://www.kompasiana.com/fatimahmutiaraazzahra/5ca1b2dc95760e38b5002a22/kebijakan-khalifah-harun-ar-rasyid-di-bani-abbasiyah
http://kpidakwah.blogspot.com/2010/11/sejarah-singkat-dinasti-abbasiyah.html
https://vhianra.wordpress.com/2012/03/15/ringkasan-materi-awal-berdirinya-dinasti-abbasiyah/
http://kutaradja92.blogspot.com/2013/12/sejarah-berdirinya-dinasti-abbasiyah.html
https://bincangsyariah.com/khazanah/dinasti-abbasiyah-pelopor-pengembangan-ilmu-pengetahuan-dalam-sejarah-islam/
0 komentar:
Post a Comment