Dinasti Abbasiyah Priode 2

Dinasti Abbasiyah Priode 2, blogger.

Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode sebelumnya telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Setiap khalifah cenderung ingin lebih terlihat mewah dari pendahulunya. Kehidupan mewah tersebut kemudian ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kecenderungan bermewah-mewahan, ditambah dengan kelemahan khalifah dalam memimpin dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara asal Turki yang semula dianggkat oleh Khalifah Al-Mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan. Usaha mereka pun berhasil sehingga pada periode kedua Dinasti Abbasiyyah yang sesungguhnya memegang kekuasaan adalah Bangsa Turki sedangkan Khalifah hanya dijadikan boneka atau simbol semata.

     B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana latar belakang dominasi Bangsa Turki terhadap pemerintahan Dinasti Abbasiyyah?
2.      Siapa saja para Khalifah yang memimpin Dinasti Abbasiyyah pada periode kedua?

     C.    Tujuan
1.      Mengetahui latar belakang terjadinya dominasi Bangsa Turki terhadap pemerintahan Dinasti Abbasiyah
2.      Mengetahui para khalifah Dinasti Abbasiyah periode kedua dan kebijakannya dalam memerintah.







BAB II
PEMBAHASAN
          A.    Dominasi Bangsa Turki Terhadap Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
Pada masa Al-Mu’tashim Unsur Turki mulai memasuki pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Orang-orang Turki pada masa Al-Mu’tashim dijadikan sebagai pelayan, hamba, tentara, dan komandan. Bangsa Turki adalah orang-orang yang sangat kuat. Mereka terlatih perang, naik kuda dan senjata. Sehingga Al-Mu’tashim senang terhadap mereka. Walaupun demikian, Al-Mu’tashim hanya menganggap mereka hamba dan pembantu yang berada dibawah kekuasaannya.[1]
Pilihan Khalifah Al-Mu’tashim terhadap unsur Turki dalam ketentaraan terutama dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa Al-Ma’mun dan sebelumnya[2]. Pada akhirnya Al-Mu’tashim pun merasakan bahaya dari Bangsa Turki dimana rakyat Baghdad dibuat marah oleh perilaku mereka. Bangsa Turki pernah menunggang kuda di Pasar untuk kemudian menginjak-injak anak kecil dan orang tua. Kemudian, terjadilan pertumpahan darah di sana. Untuk merendam gejolak yang terjadi akhirnya Al-Mu’tashim membangun kota Samarra untuk bangsa Turki. Dengan demikian orang-orang Turki memiliki tanah dan rumah sendiri. mereka pun menguasai tempat yang mereka diami dan akhirnya kekuasaan mereka pun terus bergerak.
Setelah Al-Mu’tashim meninggal pada tahun 227 H pemerintahan dilanjutkan oleh Al-Watsiq. Al-Watsiq menyerahkan segala urusan pemerintahan kepada para menteri dan para komandan yang berkebangsaan Turki. Al-Watsiq juga tidak memberikan gelar putra mahkota kepada siapapun sampai ia meninggal. Hal ini merupakan kesempatan Bangsa Turki untuk memilih khalifah yang tepat lalu terpilihlah Al-Mutawakkil sebagai khalifat selanjutnya.[3]
Demikianlah Bangsa Turki menjadi orang-orang yang menguasai khilafah. Kesalahan-kesalahan politik dari para khalifah Dinasti Abbasiyah pun datang silih berganti yang membukakan jalan yang luas untuk Bangsa Turki menempatkan orang-orang mereka. Hal tersebut menjadikan mereka pemilik ibu kota negara serta berhak menentukan khalifah. Sebenarnya, ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari tiga belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat khalifah yang meninggal secara wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahta dengan paksa sehingga  wibawa khalifah pun merosot tajam.

      B.     Para Khalifah yang memerintah Dinasti Abbasiyyah Periode Kedua
Periode kedua Dinasti Abbasiyyah merupakan periode kemunduran Dinasti abbasiyyah. Hal itu terjadi dikarenakan Khalifah yang memimpin lemah dan hidup bermewah-mewahan, luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyyah yang harus dikendalikan  sementara komunikasi sangat lambat, ketergantungan yang berlebih terhadap tentara militer yang terdiri dari orang-orang Turki, dan kesulitan keuangan dikarenakan gaji tentara sangat tinggi. Adapun khalifah-khalifah pada periode ini diantaranya yaitu :
1.      Al-Mutawakkil (232 H/847 M – 247 H/861 M)
Al Mutawakkil adalah putra dari khalifah Al-Mu’tashim yang menjabat sebagai Khalifah pada tahun 232 H/847 M setelah menggantikan saudaranya Al-Watsiq. Al Mutawakkil memerintah selama 14 tahun 9 bulan.
Sejak masa pemerintahan al-Mutawakkil telah ada usaha-usaha menjauhi kekuasaan orang-orang Turki. Ia juga menentang faham mu’tazilah, ia membebaskan orang-orang ahlussunnah yang dipenjarakan pada peristiwa mihnah. Para tawanan perang pun baru dapat ditebus jika telah memberi kesaksian bahwa Alquran bukanlah makhluk Allah. Ia mendekati para petani dan pedagan, memperbaiki kanal, menunda pembayaran pajak tanaman sampai buahnya matang, akan tetapi kekuasaan khlaifah belum begitu kuat sehingga ia kembali didominasi oleh oragn-orang turki. Revolusi revolusi yang terjadi pada era ini adalah revolusi Babak al-Kharmi, revolusi al-Maziar, revolusi Zang, dan revolusi Arab. Sementara itu, kondisi ekonomi yang awalnya sangat melimpah dan kaya mulai mengalami penyusutan karena banyaknya pengeluaran, khususnya keharusan memberi gaji atau upah bagi tentara turki.[4]
Usaha perbaikan ekonomi telah dimulai oleh khalifah pertama dari periode ini, ia menangguhkan pembayaran pajak tanaman hingga tanaman tersebut matang. Akan tetapi, sebelum kebijakan ini menjadi sebuah tradisi atau kebijakan, khalifah al-Mutawakkil telah dibunuh. Dengan demikian, keadaan ekonomi-politik kembali seperti sebelumnya bahkan menjadi lebih parah.
2.      Al-Muntashir
Al-Muntashir ialah khalifah Abbasiyah di Baghdad dari 861 hingga 862M. Al-Muntashir naik secara mulus ke tahta kekhalifahan pada 861 dengan dukungan faksi Turki setelah pembunuhan ayahandanya oleh seorang perwira Turki. Berlawan dengan pendirian ayahnya Khalifah Al Mutawakkil yang lebih memihak sunni, Al-Muntashir atas saran dari wazir Ahmad ibn Khashib mengeluarkan dekrit yang mengizinkan para pengikut sekte Syi’ah untuk melakukanziarah kembali kepada tempat-tempat yang terpandang suci oleh sekta syiah sehinggaAl-muntashir sangat di puji-puji oleh golongan syiah.
Al-Muntashir meninggal pada tahun 248 H/862 M menjelang hari raya Idul Adha di usia 26 tahun. Masa pemerintahannya hanya berlangsung selama enam bulan. Masih belum pasti penyebab kematiannya namun ada yang mengatakan penyebabnya adalah karena diracun.[5]
3.      Al-Musta’in
Al-Musta’in naik menjabat khalifah dalam usia 27 tahun pada tahun248 H/862 M menggantikan Khalifah Al-Muntashir atas penunjukan dari bangsa Turki. Di masa pemerintahannya banyak terjadi kerusuhan dan pembebasan diridari kekuasaan-kekuasaan setempat. Terjadi pula kudeta terhadap Al-Muntashir hingga akhirnya Al-Muntashir diturunkan dari jabatannya dan diangkatlah Al-Mu’tazz sebagai khalifah. kemudian ia pun dikirim ke kota Wasith dan disana ia pun dibunuh orang. Masa pemerintahannya berlangsung hanya tiga tahun dan berakhir pada tahun 252 H/ 866 M. [6]
4.      Al-Mu’tazz
Al-Mu’tazz mulai menjabat sebagai khalifah pada tahun 252 H/ 866 M dan berusia 20 tahun pada saat itu. ia langsung dari kegelapan relung penjara naik memegang tambuk kekuasaan. Saudaranya Al-Muayyad yang sama-sama keluar dari penjara kemudian diangkatnya menjadi Panglima Besar kerajaan. Al-Muayyad sangat dihormati dan dimuliakan oleh penduduk ibukota Baghdad. Hal ini menilbulkan kecemburuan khalifah Al-Mu’tazz. Menjelang pengunjung tahun 252 H/866 M khalifah Al-Mu’tazz memerintahkan untuk menangkap adiknya tersebut. akhirnya Al-Muayyad di tangkap dan dipenjarakan sampai meninggal.
Pada masa pemerintahannya terjadi berbagai kerusuhan diantaranya yaitu kerusuhan yang dilakukan oleh golongan khawarij. Golongan khawarij tersebut melakukan pemborantakan di wilayah Mosul, Irak Utara dibawah pimpinan Musamir Al-Khariji. Kerusuhan ini terjadi selama enam tahun lamanya dengan kemenangan yang silih berganti hingga akhirnya Musamir Al-Khariji tewas dalam pertempuran pada tahun 258 H/ 872 M dan sisa-sisa pengikutnya porak poranda. Pada masa ini pula lahir dua buah dinasti baru yaitu dinasti shaffariah dalam wilayah Iran dan dinasti thuluniah di Mesir. Al –Mu’tazz meninggal pada usia 24 tahun karena siksaan yang sangat kejam yang dilakukan kaum pemberontak dari tentara ibu kota Samarra yang menyerbu ke dalam istana secara langsung.
5.      Al-Muhtadi
Al-Muhtadi adalah putra dari Khalifah Al-Watsiq. ia diangkat menjadi khalifah menggantikan Al-Mu’tazz pada usia 37 tahun. Ia bukanlah seorang militer akan tetapi seorang ulama yang menyerahkan kehidupannya untuk kepentingan agama dan sikap hidupnya taat dan warak.[7]
Pada masa awal pemerintahannya, Al-Muhtadi mengeluarkan dekrit yang melarang segala jenis hiburan kepelesiran dan seluruh perbuatan munkarat. Ia pun menyingkirkan seluruh penyanyi wanita (al-Mughniat) dari istana khalifah. Pada masanya juga muncul gerakan Zangi di Basrahyang lambat laun semakin meluas.
Akhir dari kekuasaannya yaitu kekalahannya dalam melawan panglima Musa ibn Begha salah satu kaum elite yang dirugikan oleh Al-Muhtadi. Pasukan Al-Muhtadi merasa tidak sebanding dengan pasukan Musa ibn Begha yang ahli dalam strategi perang. Namun Al-Muhtadi tetapmemaksakan melawan hingga maka terjadilah kudeta. Al-Muhtadi berusaha melarikan dirinamun berhasil tertangkap dan di bunuh. Al-Muhtadi memerintah hanya selama 11 bulan. Ia meninggal pada usia 38 tahun pada tahun 256 H/870 M.
6.      Al-Mu’tamid
Al-Mu’tamid naik menjabat sebagai khalifah pada tahun 256 H/869 M pada usia 26 tahun. Ia kemudian mengangkat saudaranya Al-Muwaffik sebagai pelaksana kekuasaan (al Sultan) dan juga sebagai panglima besar (Al Qaid). Kerjasa sama yang teramat baik diantara dua saudara itu menyebabkan Khalifah Al-Mu’tamid dapat memerintah selama 23 tahun 6 bulan lamanya.
Kebijakan awalnya atas usulan dari Al-Muwaffiq yaitu memindahkan ibukota kembali ke Baghdad. Guna untuk memelihara ketertiban di ibukota dan menghindarkan berbagai kemungkinan maka tokoh-tokoh terkuat pada unsur Turki itu berangsur-angsur ditunjuk dan diangkat sebagai pejabat-pejabat wilayah. Semenjak ibu kota dipindahkan kembali ke Baghdad keadaan kota Samarra tidak pernah lagi menjadi tempat kedudukan para Khalifah dan menjadi kota peristirahatan. Khalifah Al-Mu’tamid berusaha menghidupkan keagungan kota Baghdad kembali. Namun dimasanya juga banyak terjadi penyerangan-penyerangan dan perebutan wilayah.
Selain itu, perkembangan lain pada masa Al-Mu’tamid yaitu pelayaran dagang dengan pesiar India dan Asia Tenggara bagi mengangkut rempah-rempah yang amat dibutuhkan negara-negara dingin di Eropa makin bertambah lancar. Didalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan hidup tokoh-toh seperti Abu Isa at-Turmudzi, Adu Daud as-Sijistani, Ibnu Majah al Qazwini dan Ahmad An-Nisai dimana mereka tersebut adalah orang-orang yang ahli dalam bidang ilmu hadist. Pada masanya juga hidup ahli hukum yang terkenal yaitu Abu Sulaim Daud Al Asfihani,. Dan dalam bidang astronomi dan aljabar yaitu al-Battani.Al-Mu’tamid meninggal pada tahun 278 H/892 M selisih enam bulan setelah meninggalnya Al-Muwaffiq. Pada masa pemerintahannya itu campur tangan bangsa Turki dapat diatasi dan dikuasai.[8]
7.      Al- Mu’tadhid
Al Mu’tadhid adalah Khalifah Bani Abbasiyah Baghdad dari 892 hingga 902. Sebelum ia iangkat sebagai khalifah, ia sudah memiliki kekuasaan tinggi, dan berlanjut sebagai khalifah ia sanggup mengatur pemerintahan. Mesir kembali ke pangkuan khilafah. Di Mesopotamia, sang Khalifah sudah lama memerangi Khawarij. Di ujung kawasan ini, yang sudah lama gonjang-ganjing, sebagian karena gerombolan pemberontak, sebagian karena persaingan antara Mesir dan jenderal negeri, masalah itu harus diselesaikan.
Al-Mu'tadhid adalah penguasa pemberani dan energik. Ia juga begitu toleran terhadap masyarakat Syi'ah yang dibuktikan dengan hadiah besar kepada mereka dari pangeran Tabaristan, ia tidak menunjukkan sikap yang tak menyenangkan, seperti yang dilakukan pendahulunya; namun hanya perintah untuk melakukannya secara terbuka. Tidak seperti terhadap Bani Umayyah, ia memerintahkan Bani Umayyah dicela di doa umum dan melarang semua sebutan yang memuji mereka di debat-debat kelompok agama. Baghdad dipermalukan atas hal ini; dan pada akhirnya khalifah menarik titahnya tersebut. Setelah pemerintahan yang makmur selama 10 tahun, al-Mu'tadhid mangkat; dan al-Muktafi, puteranya dari seorang budak Turki, naik tahta..
8.      Al-Muktafi
Al-Muktafi adalah khalifah ke-17 Bani Abbasiyah (902-908). Abu Muhammad Ali bin al-Mu'tadhid al-Muktafi adalah anak al-Mu'tadhid (892-902) dengan seorang budak Turki. Dengan pimpinan ar Raqqah saat kematian ayahandanya, ia kembali ke ibukota, di mana ia dikagumi khayalak karena kemurahan hatinya, dan menghapuskan penjara-penjara rahasia ayahandanya. Selama masa pemerintahannya yang sekitar 6 tahun, khilafah mendapat ancaman dari sejumlah bahaya yang dengan gagah berani dihadapi dan dipecahkan. Yang paling utama berasal dari Qaramitha, salah satu cabang Ismailiyah yang mulai berkembang selama tahun-tahun terakhir.
Setelah masa pemerintahan bergolak selama 6-7 tahun, al-Muktafi bisa melihat-lihat dan mengetahui bahwa khilafah lebih aman daripada masa pemerintahan al-Mu'tasim Billah. Salah satu tindakan terakhirnya aalah kematian pangeran Samaniyan, yang mengakui suksesi puterandanya di Khorasan, dan menyampaikan padanya bendera yang ditempelkan dengan tangannya sendiri.
9.      Al-Muqtadir
Al-Muqtadir adalah khalifah ke-18 Abbasiyah (908–932). Setelah khalifah sebelumnya, al-Muktafi, dikurung selama beberapa bulan di kamarnya, terjadi intrik yang menyangkut masa depan khilafah. Dari 2 calon, adinda al-Muktafi yang disukai khalifah dan keturunan al-Mu'tazz yang baru berusia 13 tahun, akhirnya dipilih al-Muqtadir.
Sejak masa pemerintahannya, Abbasiyah terus menurun. Di saat yang sama, banyak nama terkenal di bidang sastra dan IPTek bermunculan. Yang terkenal: Ishaq bin Hunain (anak Hunain bin Ishaq), dokter dan penerjemah tulisan-tulisan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab; Ibnu Fadhlan, penjelajah; Muhammad bin Jabir bin Sinan al-Battani, astronom;Thabari, sejarawan dan agamawan; Abu Bakr ar-Razi, filsuf yang memberikan sumbangan mendasar dan abadi di bidang kedokteran dan kimia; Abu Nashr Muhammad al-Farabi, kimiawan dan filsuf; Abu Nashr Mansur, matematikawan; Al-Haitsam, matematikawan; Abu Raihan al-Biruni, matematikawan, astronom, fisikawan; Omar Khayyam, penyair, matematikawan, dan astronom. Pada tahun 932 Al-Muqtadir dibunuh oleh penjaga kota di Mosul. Ia digantikan oleh saudaranya al-Qahir.
10.  Al-Qahir
Setelah Khalifah Al-Muqtadir terbunuh, diangkatlah Al-Qahir menjadi khalifah ke 19 pada tahun 320 H/932 M atas dukungan para panglima dan pembesar istana. Al-Qahir tidak cakap mengurus politik, pelit, kaku, dan keras. Aktivitas pertamanya adalah melenyapkan pemerintahan para wanita dan menjemput paksa ibu dari Al-Muqtadir untuk meminta uang dalam jumlah besar. Dia menggantung kaki wanita ini dan menyiksanya dengan kejam serta mengambil dari wanita ini sejumlah tiga puluh ribu dinar.[9]
Khalifah Al-Qahir sebenarnya berada dalam cengkraman dan kekangan dari panglima Muknas Al-Khadim. Panglima Muknas Al-khadim menjadikan Ibnu Muqlah sebagai perdana menteri yang bertugas memberikan gaji terhadap para tentara. Untuk itu, Khalifah Al-Qahir memiliki rencana untuk terbebas dari cengkraman panglima Muknas yaitu dengan mendekati kawan-kawan dari khalifah Al-Muqtadir. Al-Qahir memecah belah antar sesame tentara dan berusaha menjauhkan Ibnu Muqlah dari kekuasaan. Al-Muqlah akhirnya mengetahui rencana khalifah dan berusaha melakukan konspirasi namun Al-Qahir dapat mengetahuinya dan langsung mengusir Al-Muqlah. Khalifah lantas memanggil Muknas untuk menghadapnya sesampainya Muknas kepadanya, Ia lantas menangkap dan membunuhnya. Dengan demikian Khalifahlah yang memiliki kendali dalam segala urusan.[10]
Melihat kondisi yang demikian Al Muqlah tidak tinggal diam. Ia memprovokasi para tentara dan masyarakat untuk menggulingkan khalifah. Dalam provokasinya, dinyatakan bahwa khalifah membuka istananya untuk memenjarakan para komandan, khalifah adalah pemabuk dan sebagainya. Masyarakat pun bangkit untuk menggulingkan khalifah yang saat itu ternyata sedang mabuk. Akhirnya mereka mmenjarakan khalifah. Khalifah Al-Qahir turun dari jabatannya pada tahun 322 H/934 M dan meninggal pada tahun 338 H/ 950 M dalam usia 30 tahun dan masa hidupnya yang terakhir adalah sebagai pengemis di ibukota Baghdad.[11]
11.  Al-Radhi
Ahmad bin Al-Muqtadir dibaiat sebagi khalifah dengan julukan Ar-Radhi pada tahun 322 H/934 M. Ia kemudian mengangkat Ibnu Muqlah sebagai seorang menterinya. Akan tetapi, Ibnu Muqlah tidak dapat mengurus keuangan dengan baik, ia tidak mampu memberikan gaji dan bonus kepada para prajurit. Akhirnya banyak terjadi pergantian perdana menteri namun tidak ada satupun menteri yang dapat mengatasi kritis keuangan dan memberikan harta sebagaimana yang menjadi tuntutan.
Al-Radhi khawatir akan keselamatan dirinya dari pemberontakan yang kemungkinan dilakukan oleh para tentara. Sebab, ia tidak menemukan seorang menteri pun yang bisa membuat kondisi keuangan stabil. Ia menemukan bahwa akar permasalahan dari kekacauan ini disebabkan dualisme kekuasaan antara para menteri dan para tentara. Muhammad bin Ra’iq menawarkan diri jika dia diberi kekuasaan penuh untuk mengurus tentara beserta istri-istrinya, pengumpulan pajak, dan pengaturan administrasi negara, maka dia berjanji akan menyetabilkan segala urusan dan mengatasi segala persoalan negara. Al-Radhi terpaksa menerima tawaran tersebut. akhirnya Ibnu Ra’iq menerima seluruh kekuasaan yang ada dan dia diberi julukan sebagai Amirul Umara. Namun tetap saja tidak ada yang sanggup untuk memecahkan berbagai masalah kritis ekonomi. Terutama didepannya banyak masalah yang datang dari orang-orang baru yang rakus. Orang-orang Hamdan ketika itu ingin mendapatkan kekuasaan di pemerintahan. Sedangkan para pemberontak seringkali menyerang rumah khalifah. Dimasa khalifah Ar-Radhi, Ibnu Ra’iq dan para pengikutnya pun tidak bisa melawan mereka.[12]
Akhirnya tentara Dailam masuk ke Baghdad dipimpin oleh orang-orang Baweh. Mereka menguasai pusat negara, menjadikan khalifah dibawah kendali mereka, dan menguasai segala urusan yang ada di Irak.
12.  Al-Muttaqi
bergelar Abu Ishaq, dengan nama lengkap Ibrahim bin al-Muqtadirbin al-Mu'tadhid bin al-Muwaffaq Thalhah bin al-Mutawakkil merupakan Khalifah Bani Abbasiyahdi Baghdad dari tahun 940 sampai 944. Dia dilantik sebagai khalifah setelah kematian saudaranya. Saat dilantik, ia berumur tiga puluh empat tahun. Ibunya adalah mantan budak yang bernama Khalub, ada pula yang menyebutkan nama ibunya adalah Zahrah.
13.  Al-Mustakfi
Al-Abu al-Qasim, dengan nama asli  Abdullah bin al-Muktafi bin al-Mu'tadhid merupakan Khalifah BaniAbbasiyah di Baghdad daritahun 944 sampai 946. Dia diangkat oleh Tuzun, seorang jenderal Turki yang menurunkan dan membutakan khalifah sebelumnya al-Muttaqi.
Dia dilantik pada bulan Safar tahun 333 H atau September 944, pada saat berumur 41 tahun. Tuzun meninggal pada masa pemerintahannya. Dia kemudian dicopot dari jabatan dan dipenjarakan hingga meninggal dunia pada tahun 338 H/ 950 M.




BAB III
PENUTUP
      A.    Kesimpulan
Dinasti Abbasiyah periode kedua dipengaruhi oleh dominasi bangsa Turki. Unsur Turki pertama kali masuk ketika Khalifah Al-Mu’tashim berkuasa. Untuk menghindari persainga antara bangsa Arab dan Persia maka Khalifah Al-Mu’tashim memilih bekerjasama dengan orang-orang Turki. Orang-orang Turki ini adalah orang-orang yang kuat, pandai berkuda, terlatih perang dan senjata sehingga khalifah Al-Mu’tashim menjadikan mereka sebagai tentara kerajaan. Dengan kebangkitan bangsa Turki ini mereka ingin untuk menguasai Dinasti Abbasiyah. Setelah khalifah Al-Mu’tashim dan Al-watsiq meninggal tidak ada lagi khalifah yang benar-benar dapat menagatasi kekuatan dari orang-orang Turki ini sehingga pemerintahan yang sebenarnya berada didalam kekuasaan bangsa Turki. Mereka bebas memilih dan memberhentikan khalifah ketika mereka tidak menyukainya lagi atau merasa terancam.
Terdapat tiga belas orang khalifah yang memerintah pada periode kedua ini, diantaranya yaitu Al-Mutawakkil (232-247 H./847-861 M.), Al-Muntashir (247-248 H./861-862 M.), Al-Musta‘în (248-252 H./862-866 M.), Al-Mu‘tazz (252-256 H./866-869 M.), Al-Muhtadî (256-257 H./869-870 M.), Al-Mu‘tamid (257-279 H./870-892 M.), Al-Mu‘tadid (279-290 H./892-902 M.), Al-Muktafî (290-296 H./902-908 M.), Al-Muqtadir (296-320 H./908-932 M.), Al-Qâhir (320-323 H./932-934 M.), Ar-Râdlî (323-329 H./934-940 M.), Al-Muttaqî (329-333 H./940-944 M.), Al-Muktafî (333-335 H./944-946 M.). Dari ketiga belas khalifah ini hanya pemerintahan Al-Mu’tamid bangsa Turki dapat dikuasai itupun sebenarnya karena dibantu oleh saudaranya Al-Muwaffiq yang lebih cakap dalam pemerintahan. Ketiga belas khalifah ini sejatinya adalah khalifah yang lemah dan kurang cakap dalam pemerintahan, mereka berkuasa untuk menambah kekayaan diri dan hidup bermegah-megahan sehingga pada periode ini Dinasti Abbasiyah tidak banyak mengalami kemajuan dan justru mengalami kemunduran yang signifikan.
           


DAFTAR PUSTAKA
Al-Isy, Yusuf. 2007. Dinasti Abbasiyah. Terjemahan oleh Arif Munandar. Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar.
Muhammad Amin. Pengaruh Persia, Turki ddan Byzantium dalam Perandaban Bani Abbasiyah. Hal. 68. Pada tanggal 11 Mei.
Sou’yb, Yusuf. 1997. Sejarah Daulah Abbasiyah II. Jakarta : Bulan Bintang.
Yatim, Badri. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT Raja Grafiindo.
http://amanahru.blogspot.com/2014/06/periodeisasi-daulah-bani-abbasiyah.html

Baca Juga: Dinasti Abbasiyah Priode 1


[1] Yusuf Al-Isy, Dinasti Abbasiyah (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm.102
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : PT Raja Grafiindo, 2004), hlm.62
[3] Yusuf Al-Isy, Dinasti Abbasiyah (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm.105
[4] http://amanahru.blogspot.com/2014/06/periodeisasi-daulah-bani-abbasiyah.html
[5] Yusuf Sou’yb,  Sejarah Daulah Abbasiyah II. (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), hlm.37
[6] Ibid, hlm.52
[7] Ibid, hlm.53
[8]Ibid, hlm.86
[9] Ibid, hlm.132
[10] Yusuf Al-Isy, Dinasti Abbasiyah (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm.190
[11] Yusuf Sou’yb,  Sejarah Daulah Abbasiyah II. (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), hlm.141.
[12] Yusuf Al-Isy, Dinasti Abbasiyah (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm.193

0 komentar:

Post a Comment