Asal Usul Dinasti Abbasiyah

Asal Usul Dinasti Abbasiyah, kiblat.net


A.  Latar Belakang Masalah
Peradaban Islam dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah saw, para sahabat (Khulafaur Rasyidin), masa kekhalifahan Islam sampai kehidupan umat Islam masa kini. Agama Islam telah berhasil membawa bangsa Arab yang sebelumnya bodoh dan terbelakang menjadi bangsa yang maju peradabannya. Bahkan kemajuan peradaban Islam pun turut mewarnai kemajuan perabadan bangsa lain, misalnya bangsa Eropa.
Salah satu dinasti yang turut memberikan perkembangan peradaban bagi dunia adalah Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan kekhalifahan yang memimpin dunia Islam dalam waktu terpanjang yaitu pada tahun 750 – 1258 M. Dinasti ini memulai sejarahnya dengan berhasil menumbangkan kekuasaan Dinasti Umayyah melalui sebuah pertempuran di Damaskus dibawah pimpinan Abu Abbas as-Shaffah. Selanjutnya kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dunia.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana asal-usul berdirinya Dinasti Abbasiyah ?
2.    Apa sistem politik yang dipakai oleh Dinasti Abbasiyah ?
3.    Bagaimana struktur dan birokrasi pemerintahan Dinasti Abbasiyah ?
C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk menjelaskan latar belakang berdirinya Dinasti Abbasiyah di Baghdad, Irak.
2.    Untuk menjelaskan sistem politik yang digunakan oleh Dinasti Abbasiyah.
3.    Untuk menguraikan struktur pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
4.    Untuk menyebutkan birokrasi pemerintahan yang ada pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Asal-Usul Dinasti Abbasiyah
Sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik, dinasti Umayyah mengalami masa kemunduran sebab khalifah-khalifah yang berkuasa adalah orang-orang yang lemah dan cenderung bertabiat buruk. Hal ini menyebabkan semakin kuatnya golongan oposisi yang menentang pemerintahan dinasti Umayyah. Puncaknya ialah pada tahun 132 H/750 M, dinasti Umayyah digulingkan oleh Abu Abbas as-Saffah yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Khalifah terakhir dinasti Umayyah yaitu Marwan bin Muhammad melarikan diri ke Mesir, kemudian ditangkap dan dibunuh disana.[1]
Dinasti Bani Abbas atau dikenal sebagai dinasti Abbasiyah merupakan sebuah dinasti yang didirikan oleh keturunan al-Abbas, paman Rasulullah saw. Pendirinya yaitu Abdullah as-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Abu Abbas mendapat julukan as-Saffah yang artinya penumpah darah. Julukan ini diucapkannya sendiri pada saat khotbah penobatannya di masjid Kufah. Orang-orang Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep kekhalifahan sejati, yaitu gagasan negara teokrasi yang menggantikan pemerintahan sekuler (mulk) dinasti Umayyah. Sebagai ciri khas keagamaan dalam istananya, dalam berbagai kesempatan seperti penobatan khalifah dan shalat jum’at, khalifah akan mengenakan jubah (burdah) yang pernah dikenakan oleh Nabi Muhammad saw. Pemerintahannya berlangsung selama 4 tahun, kemudian Abu Abbas as-Saffah menderita penyakit cacar air dan meninggal pada tahun 754 M.[2]
Rentang waktu kekuasaan dinasti Abbasiyah sangat panjang, yaitu dari tahun 132 H/750 M hingga tahun 656 H/1258 M. Selama itu pula pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya[3]. Sejarawan membagi masa pemerintahan dinasti Abbasiyah menjadi 5 periode, yaitu :
1.    Periode pertama (132 H/750 M s.d. 232 H/847 M), disebut sebagai periode pengaruh Persia Pertama.
2.    Periode kedua (232 H/847 M s.d. 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki Pertama.
3.    Periode ketiga (334 H/945 M s.d. 447 H/1105 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi disebut juga pengaruh Persia Kedua.
4.    Periode keempat (447 H/1105 M s.d. 590 H/1195 M), masa kekuasaan Dinasti Saljuk disebut juga pengaruh Turki Kedua.
5.    Periode kelima (590 H/1194 M s.d 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di Baghdad.[4]
Periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah berhasil mencapai puncak keemasannya. Para khalifah merupakan tokoh yang kuat dan menjadi pusat dari kekuasaan politik dan agama secara sekaligus. Masyarakat juga mencapai puncak kemakmuran yang tertinggi. Landasan bagi pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan pun terbentuk hingga berakhirnya periode pertama ini.[5]
          Abu Abbas as-Saffah sebagai pendiri dinasti ini dan khalifah Abu Ja’far al Manshur pada masa pemerintahannya dengan keras menghadapi lawan politiknya dari Bani Umayyah, Khawarij dan juga Syiah. Untuk mengamankan kekuasaannya, dinasti ini menyingkirkan tokoh-tokoh besar seperti Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali yang menjabat sebagai gubernur di Syria dan Mesir. Mereka dibunuh oleh Abu Muslim al-Khurasani atas perintah khalifah kedua, yaitu Abu Ja’far al Manshur. Abu Muslim al-Khurasani sendiri pada akhirnya dibunuh oleh khalifah al-Manshur pada tahun 755 M karena dikawatirkan akan menjadi pesaing baginya.[6]
          Ibu kota negara yang pada mulanya berada di Hasyimiyah kemudian dipindahkan ke Baghdad dengan tujuan untuk memantapkan dan menjaga stabilitas negara. Pemindahan ibukota kerajaan ini dilakukan oleh khalifah al-Manshur pada tahun 762 M. Di ibukota yang baru ini khalifah al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Ia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia juga menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat yaitu Khalid bin Barmak yang berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Posisi hakim diserahkannya kepada Muhammad ibn Abdul Rahman. Selain itu jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Umayyah ditingkatkan tugasnya untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar.[7]
          Perluasan wilayah pun dilakukan dalam rangka menundukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat. Benteng-benteng yang berada di Asia, kota Malatia, Coppadocia dan Sisilia pada tahun 756-758 M. Bala tentara Abbasiyah melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Perdamaian dengan kaisar Constantine V dilakukan melalui kesepakatan gencatan senjata dan Byzantium membayar upeti tahunan. Selain itu bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami, Oksus dan India. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar pemerintahan dinasti Abbasiyah dibangun oleh Abu Ja’far al-Manshur dan mencapai masa keemasannya selama pemerintahan 7 khalifah sesudahnya. Namun puncak popularitas tertinggi dicapai pada masa pemerintahan khalifah Harun al Rasyid (786-809 M) dan puteranya khalifa al-Ma’mun (813-833 M).[8]

B.  Birokrasi dan Sistem Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
Bentuk pemerintahan dinasti  Abbasiyah berbeda daripada kekhalifahan dinasti Umayyah sebelumnya, hal itu seperti :
1)   Dipindahnya ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Hal ini dilakukan untuk menghapuskan dominasi suku Arab dan memberikan ruang bagi suku-suku di wilayah luar Arab.
2)   Dalam penyelenggaraan negara, pada dinasti Abbasiyyah terdapat jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen, ini tidak ada pada masa dinasti Umayyah.
3)   Pada kemiliteran dibuatlah ketentaraan yang profesional dan sistem yang menjadikan kemiliteran lebih tertata.[9]
Pada masa al-Mansur, khalifah mempunyai kekuasaan penuh dalam negara dan memimpin atas keinginannya. Khalifah menetapkan dasar-dasar hukum di semua wilayahnya serta mengatur administrasi. Ia juga yang memilih dan mengangkat putra mahkota, pekerja, menteri, hakim, penanggung jawab pajak, surat dan lain sebagainya.[10]
Kemudian perkembangan ketentaraan pada dinasti Abbasiyah, dalam sistem pemerintahan mulai diadakan pembaharuan-pembaharuan dalam ketentaraan diantaranya adalah dengan:
    1)      Keanggotaan pasukan tentara tidak hanya dari orang Arab melainkan juga orang non-Arab (Mawali).
       2)      Memberikan gaji dan hadiah kepada tentara, misalnya: khalifah hadiahkan sebidang tanah untuk menghargai jasa tentara. Hal ini dikenali sebagai Al-Iqtha'.
     3)      Membagi tentara menjadi empat bagian yaitu : Mudhariyyah, Rabi’iyyah, Yamaniyyah, dan Khurasaniyyah. Hal ini dilakukan agar pasukan dapat bergerak bersama-sama dan saling mengawasi satu sama lain.[11]
Ada pula penanggung jawab surat, meraka adalah penjabat yang memiliki kekuatan tersendiri, mereka bertugas mengirim berita kepada khalifah tentang keadaan gubernur, hakim, komandan dan penarik pajak di masing-masing wilayah. Mereka pula yang mengawasi jalan dan keamanan, mengirimkan harta dan titipan. Bisa dibilang mereka adalah mata-mata khalifah.[12]
Adapun dalam menunjang pemerintahannya khalifah, dibentuklah diwan-diwan pemerintahan meliputi :
1)   Diwanul Kitaabah (Sekretaris Negara) yang tugasnya menjalankan tata usaha negara.
2)   Nidhamul Idary al-Markazy yaitu pembagian wilayah kekuasaan dalam beberapa provinsi yang dinamakan Imaarat, dengan gubernurnya yang bergelar Amir atau Hakim. Kepala daerah hanya diberikan hak otonomi terbatas; yang mendapat otonomi penuh adalah “al-Qura” atau desa dengan kepala desa yang bergelar Syaikh al-Qariyah. Hal ini jelas untuk membatasi kewenangan kepala daerah agar tidak menyusun pasukan untuk melawan Baghdad.
3)   Amirul Umara yaitu panglima besar angkatan perang Islam untuk menggantikan posisi khalifah dalam keadaan darurat.
4)   Memperluas fungsi Baitul Maal, dengan cara membentuk tiga dewan; Diwanul Khazanah untuk mengurusi keuangan negara, Diwanul al-Azra’u untuk mengurusi kekayaan negara dan Diwan Khazaainus Sila, untuk mengurus perlengkapan angkatan perang.
5)   Organisasi kehakiman, Qiwan Qadlil Qudha (Mahkamah Agung), dan al-Sutrah al-Qadlaiyah (jabatan kejaksaan), Qudhah al-Aqaalim (hakim propinsi yang mengetuai Pengadilan Tinggi), serta Qudlah al-Amsaar (hakim kota yang mengetuai Pengadilan Negeri).
6)   Diwan al-Tawqi, dewan korespondensi atau kantor arsip yang menangani semua surat-surat resmi, dokumen politik serta instruksi ketetapan khalifah, dewan penyelidik keluhan departemen kepolisian dan pos.
7)   Diwan al-Nazhar fi al-Mazhalim, dewan penyelidik keluhan adalah jenis pengadilan tingkat banding atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang diputuskan secara keliru pada departemen administratif politik.
8)   Diwan al-Syurthah, departemen kepolisian yang dikepalai oleh seorang pejabat tinggi yang diangkat sebagai shahih al syurthah yang berperan sebagai kepala polisi dan kepala keamanan istana.
9)   Diwan al-Barid, departemen pos, yang dikepalai oleh seorang pejabat yang disebut shahih al-Barid, tugas departemen pos tidak terbatas pada memberikan layanan terbatas untuk surat-surat pribadi akan tetapi juga dimanfaatkan untuk mengantar para gubernur yang baru dipilih ke provinsi mereka masing-masing, juga untuk mengangkut tentara dan barang bawaannya.[13]



BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpuln-kesimpulan sebagai berikut :
1.    Dinasti Abbasiyah melanjutkan kekuasaan dinasti Umayyah. Penyebutan nama Abbasiyah merujuk pada para pendiri dan penguasa dinasti ini merupakan keturunan al-Abbas, salah seorang paman Nabi Muhammad saw. Pendirinya ialah Abu Abbas as-Saffah dan peletak dasar kekuasaannya adalah Abu Ja’far al-Manshur sebagai khalifah pertama.
2.    Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang yaitu dari tahun 132 H/ 750 M sampai dengan tahun 656 H/ 1258 M.
3.    Pemerintahan dinasti Abbasiyah membawa kegemilangan bagi dunia Islam. Baik dalam bidan administrasi, agama, sosial, ilmu pengetahuan dan pemerintahan. Puncaknya ialah pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan khalifah al-Ma’mun.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Isy, Yusuf. Dinasti Abbasiyah, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007).
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993).



[1] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 48.
[2] Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 128.
[3] Badri Yatim, op. cit., hlm. 49.
[4] Dedi Supriyadi, op. cit., hlm. 127-128.
[5] Badri Yatim, op. cit., hlm. 50.
[6] Ibid, hlm. 50.
[7] Ibid, hlm. 51.
[8] Ibid, hlm. 51.
[10] Yusuf Al-Isy, Dinasti Abbasiyah (Jakarta : PUSTAKA AL-KAUTSAR,2007), hlm. 36-37
[11] Yusuf Al-Isy, Dinasti Abbasiyah, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2007), hlm. 38
[12] Ibid. hlm. 39

[13] Griya Ilmu, http://ratnatus.blogspot.com/2012/08/sistem-pemerintahan-dan-politik-pada.html, , diakses pada 06 Mei 2019  pukul 13.14


0 komentar:

Post a Comment