Sejarah Modal Bangsa Indonesia Pra-Kemerdekaan ( Masa penjajahan)


Anak-anak Bangsa Indonesia Masa Penjajah, wiki.

Dengan menyebut nama Allah swt. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan syukur atas kehadiran-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayat dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Sejarah Modal Bangsa Indonesia Pra-Kemerdekaan
( Masa penjajahan)”

Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapat bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat mempelancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah membantu kami.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun isi dan kelengkapannya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala bentuk saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata, kami berharap semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.

Yogyakarta, 2018

Penyusun,
  
DAFTAR  ISI

Halaman utama................................................................................................... i
Kata Pengantar................................................................................................... ii
Daftar Isi.............................................................................................................. iii
BAB I Pendahuluan............................................................................................ 1
A.    Rumusan Masalah..................................................................................... 1
B.     Tujuan ....................................................................................................... 2
C.     Metode Penyusunan Makalah................................................................... 2
BAB II Pembahasan........................................................................................... 3
A.    Modal Bangsa Indonesia........................................................................... 3
B.     Pengaruh Pancasila sebagai Modal Bangsa............................................... 9
C.     Pengaruh Moral Islam pada Masa ............................................................ 10
BAB III Penutup................................................................................................. 13
Simpulan................................................................................................................ 13
Saran...................................................................................................................... 13
Daftar Pustaka.................................................................................................... 14


BAB I
PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang
Penjajahan erat hubungannya dengan kolonialisme dan imperialisme. Pada masa penjajahan bangsa Indonesia telah dijajah setidaknya oleh 4 bangsa besar yaitu bangsa Belanda,Portugis,Spanyol dan Jepang. Bangsa -bangsa tersebut menjajah nusantara dengan berbagai keinginan dengan satu tujuan yang sama yaitu merampas kekayaan nusantara.
 Penjajahan pertama kali dilakukan oleh bangsa Portugis pada 1509 oleh Alfonso De Alburqueque setelahnya dilanjutkan oleh spanyol yang juga ingin merampas rempah-rempah yang terdapat di kepulauan nusantara. Namun pada 27 Juni 1596 Belanda yang tak ingin kehilangan kesempatan berlayar dan mendapatkan kekayaan tiba di Banten dan mulai memonopoli perdagangan rempah-rempah di daerah itu.
 Pada akhirnya setelah 350 tahun menjajah Indonesia ,Belanda berhasil diusir oleh Jepang. Pada 1942 di mulai lah masa penjajahan oleh Jepang hingga masa penjajahan tersebut berakhir saat dibacakannya Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Presiden soekarno dan Moh. Hatta.

      B.     Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
a)      Apakah yang menjadi modal bangsa Indonesia saat masa penjajahan?
b)      Bagaimana pengaruh pancasila sebagai modal bangsa?
c)      Bagaimana pengaruh moral Islam pada masa penjajahan ?
     C.    Tujuan
Adapun tujuan dari disusunnya makalah ini antara lain:
a)      untuk mengetahui modal bangsa Indonesia pada masa penjajahan;
b)      untuk mengetahui pengaruh pancasila sebagai modal bangsa;
c)      untuk mengetahui pengaruh moral Islam pada masa penjajahan.

C. Metode Penyusunan Makalah
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah studi pustaka dan pencarian sumber secara online (browsing).





BAB II
PEMBAHASAN
      A.    Modal bangsa Indonesia (masa penjajahan)

Ketika redaksi “Indonesia Merdeka” pada tahun1924 menulis sebuah pengantar yang berisi tentang, “Indonesia Merdeka telah menjadi suara pelajar Indonesia muda. Mungkin suara ini belum terdengar oleh penguasa, tetapi suatu waktu, suara itu pasti akan tertangkap. Suara itu tidak dapat diabaikan begitu saja, karena di belakangnya berdiri suatu kemauan yang keras untuk merebut kembali dan mempertahankan hak-hak tertentu, yakni agar dapat dibentuk suatu Negara Indonesia Merdeka, cepat atau lambat!”[1]

Anak-anak muda Indonesia telah merasakan pukulan dari kolonial dan rasial, membuat para pemuda yang belajar terpanggil karena menyadari bahwa mereka sebagai pengemban tugas untuk memberi perlindungan terhadap kemanusiaan. Kesadaran yang mendalam, bahwa kemerdekaan hanya dapat dicapai dengan segenap tenaga dan kekuatan diri. Hal ini membuat mahasiswa Indonesia mengesampingkan kepentingan mereka dan mengorbankan diri pribadi untuk mencapai kemerdekaan.[2]

Selain itu, langkah selanjutnya yang dipikirkan oleh pemuda-pemuda Indonesia adalah meyakinkan kepada seluruh masyarakat bahwa kita punya kekuatan di setiap daerah yang masing-masing mempunyai suku, ras, dan agama yang berbeda. Dengan moral yang mencerminkan sila pancasila, tertanam di setiap individu masyarakat Indonesia meyakini bahwa persatuan adalah kekuatan yang paling besar untuk meciptakan sebuah negara yang merdeka. Oleh sebab itu, nilai-nilai pancasila di ambil dari sikap moral yang ada di individu bangsa Indonesia. Dalam hal ini, nilai-nilai pancasila masih belum jelas batas-batas antara sila satu dengan sila lainnya. Masyarakat masih memahaminya sebagai nilai-nilai kehidupan yang harus dikejar, bukan prinsip-prinsip abstrak yang akan menjadi pedoman bangsa.[3]

Lalu muncullah himpunan Indonesia yang menyadari bahwa gerakan kebangsaan dapat mencapai banyak hal apabila faktor-faktor kekuasaan psikologis itu, yang merupakan tumpuan si penjajah dapat diruntuhkan.
1.      Melawan polotik memecah-belah dan menguasai
Dengan adanya himpunan Indoneseia yang menimbulkan propaganda cukup menakuti para penguasa, terbukti dengan ditariknya majalah Indonesia Merdeka tahun 1925 dari kantor-kantor pos di Indonesia. Walaupun sudah disita, gagasan tentang persatuan Indonesia sudah menyebar mencapai berbagai lapisan masyarakat.
2.      Memerangi usaha membiarkan masa Indonesia dungu
Memerangi usaha membiarkan Indonesia dungu merupakan tugas pergerakan nasional dan Tanah Air. Dengan menyebarluaskan prinsip-prinsip yang akan membebaskan rakyat banyak dar tirani mental polotik kolonial Belanda. Rakyat Indonesia harus diberi pandanga nyang luas soal pendidikan massa melalui sejarah, politik, dan lain-lain. Dengan keaadan psikis yang baik akan memperkuat dan meningkatkan kadar rakyat yang baik.
3.      Memerangi injeksi psikologis bahwa ras kulit putih lebih unggul, dan kedudukannya tak dapat diganggu-gugat
Pemerintah kolonial mengenal sistem “europees bestuur” dan pangreh praja pribumi, dimana yang kedua tunduk pada yang pertama. Maka tanpa memperdulikan apa yang dibuat Belanda dengan memberikan kepada rakyat kepercayaan akan diri sendiri dan dibuktikan kepada massa. Harus melakukan inisiatif dan berdiri pada kaki sendiri tidak bergantung pada bangsa kulit putih.
4.      Perjuangan menentang politik assosiasi
Propaganda tentang persaudaraan manusia dan assosiasi antara Barat dan Timur yang diciptakan Belanda lagi-lagi membuat para pemuda tidak bisa lepas.[4]   

     B.     Pengaruh pancasila sebagai modal bangsa

Setelah Proklamasi Kemerdekaan di tanda tangani Soekarno-Hatta dan kemudian di ucapkan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945, maka Negara Indonesia ada. Proklamis kemerdekaan itu merupakan norma yang pertama sebagai penjelmaan pertama dari sumber segala sumber hukum yaitu Pancasila yang merupakan jiwa dan pandangan hidup Bangsa Indonesia. Pada anggal 18 agustus 1945 sumber dari segal sumber hukum Negara Indonesia itu dijelmakan dalam Pembukaan UUD 1945 dan pembukaan kecuali merupakan penjelmaan sumber dari segala sumber hukum sekaligus juga merupakan Pokok Kaidah Negara yang Fundamental seperti yang di uraikan oleh Notonegoro. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Proklamasi Kemerdekaan merupakan penjelmaan pertama dari pancasila sebagai sumber hukum yang menegaskan berdirinya Negara Indonesia dan pembukaan merupakan penjelmaan kedua pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang memberi tujuan, dasar dan perangkat untuk mencapai tujuan. Keduanya itu berasal dari sumber yang sama tetapi ternyata memiliki fungsi yang sedikit berbeda meskipun tidak dapat dipisahkan. Maka ada yang menyebut Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu sebagai Norma Pertama (Joeniarto, 1966:9), sedangkan menurut Notonegoro Pembukaan merupakan Pokok Kaidah Negara Fundamental dan sekaligus Sumber Tertib Hukum Negara Indonesia yang tertulis.

1.      Transformasi Pancasila dalam Kehidupan Bernegara
Setiap sila-sila dalam pancasila sama sekali tidak dapat dipisahkan. Sila-sila tersebut kemudian masuk pada gandung dari pasal-pasal UUD 1945 yang membentuk negara dengan jelas dan menciptakan pasal-pasal yang mengandung dari sila-sila pancasila. Sila ke-4 dengan tegas dapat ditetapkan merupakan sila yang harus menjiwai pasal-pasal yang berkaitan dengan negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasal-pasal UUD 1945 memberi norma hidup bernegara yang jelas yaitu wilayah negara akan ditentukan bersama dengan negara-negara tetangga.[5]

2.      Transformasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa
Konsep bangsa yang digunakan untuk merumuskan sila sila ketiga
terutama konsep E. Renan yaitu sekelompok manusia yang mempunyai keinginan bersama untuk bersatu dan tetap mempertahankan persatuan, sedangkan faktor-faktor yang mendorong manusia yang ingin bersatu itu bermacam-macam. Maka untuk melacak pasal-pasal yang mentransformasikan sila ke-3 itu orang harus mengingat unsur-unsur konsep bangsa tersebut. Dalam hal ini keinginan bersama untuk bersatu beserta faktor-faktornya.
Norma-norma itulah yang harus diikuti agar orang-orang Indonesia dapat hidup berbangsa sesuai dengan pancasila. Dalam hal ini pengajaran dan kebudayaan merupakan penunjang hidup berbangsa yang amat strategis, sebab lewat kedua hal itu sifat-sifat kesukuan yang mempunyai daya tolak menolak yang memecah belah dapat diperlemah atau bahkan dihilangkan. Sedangkan sifat-sifat kesukuan yang mempunyai daya tarik menarik dan saling melengkapi untuk mencapai kesempurnaan dapat dikembangkan dan disebarluaskan.[6]

3.      Transformasi Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat
Hidup bermasyarakat ialah hidup bersama. Kehidupan bersama ini dapat dilihat dari beberapa segi. Segi ekonomi menampakkan kegiatan berproduksi, pembagian dan penggunaan barang dan jasa, segi kehidupan politik menampakkan kegiatan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat, segi agama dsb. Dalam kehidupan bersama itu selalu nampak unsur-unsur sosial yang menjadi objek studi sosiologi. Unsur-unsur sosial yang pokok ialah norma-norma sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan sosial. Unsur-unsur itu terjalin menjadi satu sama lain dan keseluruhannya disebut struktur sosial. Pengaruh timbal balik antara segi-segi kehidupan tersebut disebut proses sosial.[7]

C.     Pengaruh Moral Islam pada Masa Penjajahan
            Pada masa kolonial belanda  yang pendidikan islam di sebut juga dengan bumiputera, karena yang memasuki pendidikan islam seluruhnya orang pribumi indonesia . Pendidikan islam pada masa penjajahan belanda ada tiga macam yaitu:
         1)      Sistem pendidikan peralihan hindu islam
          2)      Sistem pendidikan surau( langgar)
          3)      Sistem pendidikan pesantren
Sistem Pendidika n Peralihan Hindu Islam
            Sistem ini merupakan  sistem pendidikan yang masih menggabungkan antara sistem pendidikan Hindu dengan islam. Pendidikan di laksanakan dengan menggunakan dua yakni: sistem keraton dan sistem pertapa.

Sistem Pendidikan Surau
            Surau merupakan istilah yang banyak digunakan di asia tenggara seperti sumatera selatan , semenanjung mlaysia petani. Namun yang paling banyak dipergunakan di pergunakan di minangkabau. Surau berasal dari India yang merupakan tempat yang digunakan sebagai pusat pembelajaran dan pendidikan Hindu Budha.
            Dalam lembaga pendidikan surau tidak mengeal  birokdiasi formal,sebagaimana yang di jumpai pada lembaga pendidikan modern.Sistem pendidikan di surau tidak mengenal jenjang atau tingkatan kelas, muridnya diberikan kebebasan utuk memilih belajar pada kelompok mana yang ia kehendaki

Sistem Pendidikan Pesantren
Asal usul Pesantren
Pertama pesantren adalah institusi pendidikan islam, yang memang berasal dari tradisi islam.Pesantran lahir dari pola kehidupan tasawuf yang kemudian berkembang diwilayah islam, seperti timur tengah dan afrika utara yang dikenal dengan sebutan zawiyat. Kedua pesantren merupkan kelanjutan dari tradisi Hindu Budha yang sudah mengalami proses islamisasi. Mereka melihat adanya hubungan antara perkataan pesantren dengan kata shastri dari bahasa sanskerta.
Pengaruh Kebijakan Kolonial Belanda  Terhadap Pendidikan Islam
            Setidaknya  ada dua kebijakan belands yaitu: politik etis dan Ordonansi( peraturan pemerintah) Guru/ Sekolah Liar.

a). Politis etis
            Secara konsep politik etis sangat baik karena adanya keberpihankan kepada kaum pribumi.Namun dalam pelaksanaannya kolonial belanda bekerjasama dengan kaum liberal( pemegang saham), tetap mengeksplotir daerah jajahannya untuk kepentingan ekonominya. Dalam menjalankan politik etis belanda menerapkan trilogy program, yaitu meliputi: edukasi( pendidikan), irigasi( pengairan) dan transmigrasi( pemindahan penduduk dari daerah padat ke daerah perkebunan jawa). Di samping trilogi program tersebut, penjajah belanda menerapkan prinsip assosiasi,asimilasi dan  unifikasi
b). Ordonasi Guru/ Sekolah Liar
            Sehubungan dengan berdirinya madarasah dan sekolah Agama yang diselenggarakan oleh kalangan Islam pembaru, Adanya kekhawatiran pemerintah tersebut cukup beralasan. Tetapi setelah melihat perkembangan lebih lanjut, seperti peningkatan jumlah madrasah dan sekolah-sekolah swasta sebagai istitusi pendidikan diluar sistem persekolahan pemerintah, kalangan pemerintah semakin hati-hati terhadap sikap netral mereka selama ini. Adanya latar belakang tersebut pula barangkali, yang mendorong pemerintah Belanda merubah sikapnya dalam menghadapi kemungkinan buruk yang bakal timbul dari penigkatan jumlah madrasah dan sekolah-sekolah agama. Sebagai tindakan pencegahan, langkah itu dilakukan melalui pengawasan terhadap sekolah-sekolah liar. Sejak adanya penurunan sikap tersebut, dalam rangka pengawasan dikeluarkan ordinansi tanggal 28 Maret 1923 Lembaran negara no 136 dan 260. Bahkan dalam orodinansi yang dikeluarkan tahun 1932, dinyatakan bahwa semmua sekolah yang tidak di bangun pemerintah atau tidak memperoleh subsidi dari pemerintah, diharuskan minta izin terlebih dahulu, sebulum sekolah itu didirikan.


BAB III
PENUTUP


DAFTAR PUSTAKA
Hatta Muhammad. 1976. Indonesia Merdeka. Jakarta: Bulan Bintang.
Suwarno. 2002. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Ramayulis,Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Kalam Mulia,2011
Zuhairini, dkk Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : BumiAksara 2011
http://niezz-azza.blogspot.com/2012/05/makalah -pendidikan-islam-pada-masa.html 

Baca Juga: Prinsip-prinsip Kewarganegaraan


[1] Muhammad Hatta, Indonesia Merdeka, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlmn. 09.
[2] Ibid, hlmn. 24.
[3] Dr. P.J. Suwarno, S.H., Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), hlmn. 12.
[4]  Op.cit, hlmn. 98-123
[5] Dr. P.J. Suwarno, S.H., Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), hlmn. 126-129
[6] Ibid, hlmn. 132
[7] Ibid, hlmn.133-136

0 komentar:

Post a Comment