Pengarang :
Daniel Dhakidae
Penerbit :
PT Ikrar Mandiri, Jakarta
Tahun :
2003
Jumlah halaman :
828 halaman
B. Pengantar
Buku ini merupakan
kajian komprehensif atas fenomena yang terjadi antara cendikiawan Indonesia
dengan pemerintahan Orde Baru. Buku ini melalui riset kritis menggunakan metode
discourse analysis atau analisis wacana. Dengan menggunakan pendekatan tersebut
Daniel tidak mengkaji cendikiawan layaknya buku-buku dengan tema yang sama.
Jika buku lain lebih menekankan pada pembahasan biografi dan pemikiran
cendikiawan, maka buku ini lebih menekankan pada hubungan kaum cendikiawan
dengan pemerintah, yang tidak bisa lepas dari modal, kekuasaan dan kebudayaan.
Seperti yang tampak dalam wacana politik yang direproduksikan. Kekuasaan
dilihat sebagai kemampuan mengubah sesuatu secara transformatif ketika
kekuasaan mengubah medan kecendekiaan dan cendikiawan mengubah kekuasaan itu
sendiri. Kekuasaan muncul dalam dua wajah sekaligus, yaitu wajah destruktif dan
produktif. Kekuasaan membunuh jutaan orang, namun kekuasaan juga memproduksikan
modal, buruh,
dan bahasa. Hal-hal ini yang menjadikan buku ini menarik, serius, tajam, dan
debatable.
Jika sisi menarik
sudah dipaparkan sedemikian rupa. Maka sekarang gilirannya membahas kesulitan
dalam memahami buku menurut pemakalah. Karena keterbatasan pengetahuan yang
dimiliki pemakalah khususnya dalam bidang ilmu politik, maka untuk menelaah
pembahasan yang kental dengan politik seperti ini pemakalah mengalami kesulitan,
mulai dari pendekatan hingga istilah-istilah yang dipergunakan penulis. Buku
ini berbeda dengan buku-buku sejarah konvensional pada umumnya, sehingga dalam
memahami buku ini pemakalah tidak hanya sekali dalam membaca, namun
berkali-kali agar dapat memahami esensi yang terkandung dalam buku ini.
Dari buku ini
pemakalah memperoleh pengetahuan baru mengenai penelitian menggunakan metode discourse analysis atau analisis wacana. Sesuatu
yang baru bagi pengetahuan penulis tentang metode penelitian. Metode ini
berbeda dengan metode-metode yang dikenal penulis dalam melakukan penelitian.
Jika biasanya sejarah pemikiran hanya berkaitan dengan biografi dan pemikiran suatu
tokoh, maka dengan menggunakan metode ini, penelitian dapat mengungkap bahwa
politik Indonesia adalah hasil dari wacana yang dikonstruksikan oleh modal,
kekuasaan, dan kebudayaan, dimana cendikiawan ikut terlibat di dalamnya.
Adapun
isi dari buku dijabarkan dalam beberapa bab, Bab I memeriksa komplikasi
teoritis pembahasan masalah cendekiawan. Cendekiawan, kecendikiawaan, kaum
cendekiawan adalah relasi, dan bukan definisi, yang keluar sebagai akibat dari
hubungan modal, kekuasaan, dan kebudayaan, dan karena itu hampir tidak ada
definisi yang mungkin berdaulat atas definisi lain. Bab II memeriksa wacana
politik dalam bentuk “politik etis” sebagai resultante pertarungan modal,
kekuasaan negara kolonial, dan pertarungan kebudayaan antara Inlander versus Nederlands. Bab III
memeriksa perubahan besar dalam masyarakat Indonesia yang terjadi pada tahun
1965. Bab IV memeriksa lembaga-lembaga cendekiawan Orde Baru yang memegang
peran penting di dalam Orde Baru. Bab V mengarahkan perhatian kepada suatu
lembaga lain yaitu media Orde Baru dan alat utamanya adalah bahasa. Bab VI memeriksa pergulatan dan pertarungan
agama dan kekuasaan.
C. Pembahasan
a.
Tema
Buku ini
memusatkan pembahasan pada modal, kekuasaan negara, dan lembaga sosial yang
terbentuk sebagai konsekuensinya. Terutama pada perangkat halus kaum
cendekiawan yaitu budaya wacana kritis. Kaum cendikiawan di mana pun dalam arti
itu tidak terpisahkan dari pengelolaan modal kalau kaum cendikiawan bukan modal
itu sendiri. Sehingga dalam buku ini penulis membahas bagaimana relasi
cendikiawan dengan kekuasaan, khususnya kekuasaan pada masa tertentu. Bagaimana
cendikiawan memainkan perannya dalam diskursus politik dengan modal yang mereka
miliki dalam Negara Orde Baru yang otoriter.
Bab I
Memeriksa
komplikasi teoritis pembahasan masalah cendekiawan. Tidak banyak dipersoalkan
definisi kaum cendekiawan, namun lebih kepada relasi antara cendekiawan,
kecendekiaan dan kaum cendekiawan yang keluar sebagai akibat hubungan modal,
kekuasaan dan kebudayaan, sehingga hampir tidak ada definisi yang berdaulat
atas definisi lain. Pertarungan definisi menjadi tidak penting karena perhatian
utama diberikan kepada relasi yang dihasilkan, karakter yang tampak dan peran
yang dimainkan serta kekuasaan yang ditunggangi dan kekuasaan yang dihasilkan
untuk membentuk suatu political discourse oleh kaum cendekiawan.
Bab
II
Memeriksa
wacana politik dalam bentuk
“politik etis” sebagai resultante
pertarungan modal, kekuasaan negara kolonial dan pertarungan kebudayaan antara Inlander versus Nederlander, antara
boemipoetra dan orang-orang Belanda. Zaman kolonial menjadi penting bukan hanya
digunakan sebagai latar belakang, tetapi pertarungan wacana saat itu menjadi
begitu menentukan yang dalam arti tertentu bukan saja menjadi pertarungan masa
lalu tetapi masa kini.
Bab III
Bagian Pertama: Orde baru dan
Pembasmian Komunisme
Pada
awal pembahasan ini disajikan teori tentang
siapa
yang mendalangi peristiwa kudeta 1 Oktober 1965. Terdapat lima teori yang dipaparkan
dalam pembahasan ini. Pertama teori “resmi” militer yang memaparkan bukti-bukti
bahwa dalang dari peristiwa 1 Oktober 1965 adalah PKI, tidak. Teori yang kedua adalah
teori yang dikembangkan Benedict Anderson, yang menyatakan bahwa kudeta
dijalankan oleh kelompok perwira muda dalam angkatan darat khususnya sayap militer dengan
basis divisi Diponegoro di Semarang. Teori
ketiga adalah yang mengatakan bahwa peristiwa tesebut didalangi oleh CIA (Central Intelligence of
America), yang sudah lama membina
hubungan dengan angkatan darat. Teori yang keempat
dibahas penulis adalah versi Professor Wertheim yang mengatakan bukan PKI dan
bukan perwira muda menengah angkatan darat, akan tetapi Soeharto sendirilah
yang menjadi otak kudeta tersebut. Teori yang terakhir adalah versi Wieringa
yang mengajukan “tesis dua kudeta”, yaitu kudeta pertama dilakukan oleh perwira
menengah Angkatan Darat, dan kudeta kedua yang dikerjakan oleh Soeharto sendiri
ketika dia menumpas para pelaku kudeta yang membunuh enam jenderal dan seorang
perwira. Kudeta tesebut mencapai puncaknya pada kudeta kedua ketika Soekarno
menyerahkan “kekuasaan” dengan surat perintah sebelas Maret 1966.
Bagian kedua Neo-Fasisme
militer
Awal
bagian kedua ini membahas tiga
tokoh utama kudeta yang semuanya berasal dari militer. Dalam menyajikan
pembahasannya tersebut penulis menggunakan tiga pertimbangan untuk memaparkan
fakta sejarah peristiwa tersebut. Hal ini dilakukan untuk melihat faktor-faktor
yang mungkin mempengaruhi proses interogasi. Pembahasan berikutnya “Peninjauan
Kembali Fasisme dan Neo-Faisisme” lebih ditekankan pada peninjauan penggunaan
konsep Fasisme. Dalam penelitian ini penulis menyamakan penggunaan konsep
fasisme, lebih mirip membongkar loteng dan membuka benda antik yang lama
ditinggalkan dalam keadaan lusuh. Penulis juga mengembangkan tinjauan ini
dengan menggunakan dua pendekatan fasisme.
Pertama adalah pendekatan idealis fasisme dilihat sebagai suatu perangkat ide. Teori ini dikemukakan
oleh Roger Griffith, ia menyebutkan persyaratan
minimum untuk menyebut sesuatu itu fasisme. Kedua, adalah teori pendekatan
Marxis, teori ini sedikit berbeda dibanding teori sebelumnya. Fasisme adalah
bilamana fasisme dilihat sebagai suatu bentuk gerak massa khusus, sambil
memiliki sepasang ide dan di sana ideologi dan gerakan itu berintreraksi.
Fasisme harus dilihat sebagai suatu bentuk gerak sosial yang terjadi pada
tingkat kapitalisme tertentu. Pembahasan
berlanjut mengenai
Golkar sebagai Partai Neo-Fasis Orde Baru. Di sini penulis menganggap partai
politik sebagai salah satu perlengkapan fasisme, sehingga dibahas lebih mendalam bagaimana
sejarah berdirinya Golkar. Orde baru menggunakan Golkar sebagai ujung tombak
politik terutama sebagai mesin politik pemilihan umum dengan birokrasi sipil,
militer, dan golongan karya sendiri sebagai partai.
Bagian tiga: Soeharto sang fasis dan Pembangunan Kharisma
Bagian
ini membahas secara spesifik sosok flashback latar belakang Soeharto yang merupakan anak dari Kertosudiro, seorang
petugas desa pengatur air, yang bertani di atas tanah lungguh/jabatan. Ketika
naik ke pentas nasional dan menjadi “pendiri” Orde Baru tidak ada seorang pun
yang mengenal siapa itu Soeharto, pada 1965. Namun, perlahan-perlahan karisma
seorang Soeharto terbentuk dengan media, dan militer yang dikendalikannya.
Bab IV
Organisasi Profesional
dan Aliansi Kekuatan Baru
Bagian
pertama Ilmu-ilmu Sosial sebagai kekuasaan
Penulis
memberikan gambaran suatu bentuk menjalankan kerahasiaan yang khas adalah
menutup fakta yang berhubungan dengan kudeta, melarang pertukaran pikiran
tentang itu dan dibungkus dari luar oleh cerita-cerita kemasan bahwa PKI-lah
satu-satunya yang mengatur segala kudeta. Perlawanan terhadap hal tersebut
dilakukan dengan membongkar rahasia tersebut, antara lain perlawanan dari Soe
Hok Gie dan H.C Princen. Protes yang paling keras dilakukan oleh H.C Princen,
dengan terbuka ia melaporlan bahwa 860 orang mati dibunuh secara masal pada tahun 1968.
Pembunuhan tersebut dikerjakan oleh pihak militer hanya karena adanya tuduhan
tunggal bahwa orang-orang ini adalah bagian dari anggota PKI yang berusaha comeback. Namun Princen akhirnya
diinterogasi militer atas keterangan yang dia berikan, penulis menjadikan ini
sebagai salah satu contoh pemerintahan Orde Baru dan militer tidak tahan kritik
dan juga memang tidak terlatih menerima kritik.
Dalam ilmu-ilmu sosial
berlangsung hal yang hampir serupa,
bermunculan organisasi seperti ISEI dan Himpunan Indonesia untuk pengembangan ilmu-ilmu sosial HIPISS.
Jika HIPIIS hampir sebagian besar pengurusnya adalah campuran antara ilmuwan,
dosen universitas, dan birokrat. Maka hal tersebut sangat jauh berbeda dengan
ISEI, yang kekuatan birokrat dominan di dalamnya. Hubungan tersebut begitu
rapatnya antara para ketua ISEI dengan kaum birokrat Orde baru sehingga tidak
ada seorang pun yang mampu membedakan siapa ketua ISEI dan siapa pejabat
negara, karena ketua adalah pejabat dan pejabat adalah ketua. Sehingga ISEI
mempunyai pengaruh dalam hubungannya dengan para ekonom dan pada gilirannya itu
lebih dihubungkan dengan Presiden.
Bagian Kedua:
Dunia Penelitian, Dunia Tertakluk
Krisis Ilmu didefinisikan
penulis sebagai kegiatan yang tidak lagi memenuhi tujuannya, akan tetapi tidak
mampu lagi merumuskan apa yang akan dipenuhi dengan kegiatan yang dikerjakan.
Dapat dilihat cengkeraman kekuasaan Orde Baru dalam keilmuwan, di dalam
masyarakat hal tersebut bisa dilihat dari jumlah penjara dan penghuni penjara
yang tidak pernah sebesar di bawah rezim Orde Baru. Normalisasi kampus harus
dilihat dalam hubungan dengan pen-disiplinan perguruan tinggi. Semua aksi
protes mahasiswa sejak awal tahun 1970-an dianggap sesuatu yang tidak normal
karena itu semua dikembalikan ke dalam kampus dengan penjagaan ketat terhadap
campur tangan dari luar. Kampus tidak boleh berhubungan dengan orang luar
kecuali melalui rektor. Setiap orang yang akan memberikan ceramah di kampus
harus mendapatkan persetujuan rektor. Dengan begitu kampus menjadi suatu
wilayah tertutup hampir seperti wilayah penjara.
Hal yang sama berlaku
untuk pers dengan pengawasan
ketat sehingga surat kabar tidak bisa melepaskan
dirinya. Surat kabar sudah ditentukan untuk diterbitkan dengan jumlah halaman
tertentu.
BAB V
Media,
Bahasa, dan neo-Fasisme Orde Baru
Surat kabar menempati
suatu posisi di antara modal kekuasaan, sembari mengolah informasi, mengolah
teks, dalam prosesnya mengolah dirinya sendiri menjadi teks dan dalam suatu
putaran lain menjadikan dirinya modal dan karena itu juga menjadi kekuasaan.
Karena itu surat kabar dan kekuasaan Orde Baru menjadi kawan dan sekaligus
lawan, menjadi mitra dan sekaligus pesaing ketika kekuasaan dengan penuh
kecemburuan mengawasi sambil mengelusnya.
Pemerintah memegang
kekuasaan atas surat kabar karena mereka mengendalikan hal penting surat kabar: mekanisme surat
izin/lisensi, SIUPP (Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers) adalah unsur paling
penting dalam penerbitan.
Bagian kedua: Bahasa dan Kekuasaan
Pembahasan bagian ini
mengarahkan perhatian kepada bahasa dan kekuasaan. Pada awal pembahasan ini
penulis mengambil kutipan dari profesor Benedict Anderson, mengatakan bahwa
bahasa politik Indonesia adalah a
hodge-podge of irrational gobbledygook yang hampir tidak bisa diterjemahkan
lurus ke dalam bahasa Indonesia selain sebagai kekacauan irasional yang hampir
tak terselamatkan. Dalam pembahasan ini penulis ingin memeriksa hubungan bahasa
dengan kekuasaan, bukan soal persaingan bahasa. Dapat dikatakan bahasa adalah
ekspresi kekuasaan itu sendiri, atau kekuasaan adalah ekspresi bahasa dalam
bentuknya yang telanjang.
Bagian
ketiga: Cendikiawan dalam Pembiasan Prisma
PRISMA yang
terbentuk dalam bentuk jurnal dengan memberikan pemikiran-pemikiran alternatif tentang
pembangunan. Sejak 1969 Indonesia Raya sudah mempersoalkan
kepentingan-kepentingan yang meruyak di dalam Pertamina. Militer terutama Komando Daerah Militer, KODAM, menguasai berbagai bidang ekonomi dan bisnis setelah menguasai
politik sejak kudeta Soeharto terhadap Soekarno yang berlangsung tanggal 11
Maret 1966. Pada tingkat tertinggi perusahaan-perusahaan minyak, perusahaan yang bergerak di bidang distribusi pangan,
dan perdagangan berada di tangan militer. Ketika Soeharto jatuh pada Mei 1998
maka PRISMA mendapat pukulan dengan ditinggalkan modal dan para pendukungnya,
yaitu kaum akademik, peneliti, sastrawan.
BAB VI
Orde Baru menjadi produsen rumah ibadah terbesar
sejarah di Indonesia. Masjid Istiqlal diberi nama Istiqlal oleh Bung Karno yang
memiliki arti “merdeka”, menempati wilayah yang begitu padat dengan sejarah. Disitu sebenarnya berada benteng Belanda yang disebut
sebagai benteng Frederik Hendrik yang
dibangun untuk menjadi suatu garis pertahanan yang ampuh pada masa Belanda menurut
rencana Van den Bosch pada tahun 1834. Kubah masjid berdiameter 45 m, tinggi
menaranya hampir 70 m. Simbol bulan bintang yang berada dipuncak terbuat dari
besi anti karat berdiameter 3 m, dan beratnya 2,5 ton. Luas halaman 7 H, menjadi ruang
parkir juga untuk 800 mobil. Bedug terbuat dari kayu meranti merah Kalimantan
Timur dari batang kayu yang kono berusia 3 abad. Bedug bergaris tengah 2 m, dan
1,71 m di bagian belakangnya, memiliki berat 2,3 ton. Sedikit di Timur Laut berdiri gereja Katedral
resmi Keuskupan Agung dan Kardinal Jakarta. Di titik paling selatan berdiri
gereja Imanuel yang didirikan atas inisiatif Hervormde Kerk dan gereja
Lutheran. Bila ditarik garis lurus, hampir sempurna dari kedutaan Vatikan
kearah Barat Laut akan menembus jantung Monumen Nasional. Monumen ini berdiri
diatas tanah sarat dengan beban sejarah. Monumen ini merupakan lambing kekuatan
Indonesia, dalam bentuk lingga yang tertanam didalam yoni. Keperkasaan lingga
dimahkotai oleh sinar dari nyala obor kemerdekaan setinggi 14 m dengan garis
tengah 6 m, terbuat dari 77 lempengan perunggu seberat 14,5 ton dan dilapisi
emas murni seberat 32 kg. Semua kompleks bangunan tersebut bersama-sama
membentuk suatu segitiga sama kaki yang membuka ke Barat Daya, dengan titik
puncak katedral, Sekretariat Negara di kaki Barat dan kedutaan Vatikan di kaki
Selatan.
Pertemuan para cendekiawan muslim
pertama tahun 1984 yang diselenggarakan oleh MUI,
dua universitas Islam dan 4 lembaga swadaya masyarakat, yang dimotori oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF).
ICMI mengambil keuntungan dari politics
of inclusion dengan memperoleh posisi sekutu dalam diskursus agama Orde
Baru dimana agama adalah kekuasaan dan menghapuskan apa saja kesan adanya
dikotomi antara agama dan bukan agama dari satu proses kepada proses lain.
Ikatan cendekiawan ini gabungan dari bermacam-macam unsur, yang hampir-hampir
merupakan suatu impossible mix dari
bermacam-macam kelompok yaitu kabinet, gubernur, jenderal aktif, para wartawan,
penulis, akademisi, dan politisi professional. Pendirian ICMI mencerminkan apa
yang dipikirkannya yaitu terjadi ketika terjadi pelembutan sikap penguasa terhadap Islam, para elit Islam memberikan
tempat kepada kaum cendekiawannya untuk menyatakan dirinya.
Bagian Tiga:
Kemahakuasaan dan Kemahadaulatan: Negara Organik dan Kaum Kristen
Jika Belanda
menjalankan Islamic Politicy maka
Hindia Belanda menjalankan Catholic
Politicy, tidak mendukung katolik agama karena terutama tidak mampu memukul
sampai keakar-akarnya akan tetapi senantiasa melihatnya dengan sedikit
menghina, dan merendahkannya sebisa-bisanya. Kaum Protestan jauh lebih mendapatkan perhatian seiring dengan dijadikannya agama resmi para pejabat birokrasi Hindia Belanda. Di Jawa politik gereja
Katolik yang sudah bergerak bersama Protestan bukan menjadi underdog lagi, namun mengembangkan diri dalam berbagai bidang
seperti pendidikan, rumah sakit, dan lain-lainnya.
Bagian IV:
Kaum Kiri, Tubuh Politikal, dan Perubahan Politik
Tahun
1965 mengubah seluruh paham tentang kiri karena kiri identik dengan
pengkhianatan dan bukan semata-mata dengan Marxisme. Marxisme bertentangan
langsung dengan Pancasila, baik secara ideologi maupun sebagai suatu urutan
waktu dengan suatu koinsidensi yang sangat tepat, 30 September dikutuk sebagai
tanggal pengkhianatan dan 1 Oktober sebagai tanggal keramat karena justru hari
itu Indonesia diselamatkan oleh Pancasila, dan disebut dengan hari kesaktian
Pancasila. Setelah pengambilalihan Pancasila dengan monopoli tafsiran
sepenuhnya ditangan Orde Baru dan melewati proses penataran yang intensif dan
menjadi the Sovereign, akan tetapi
Soeharto perlahan mengambil alih the
Sovereign buat dirinya sendiri dengan beberapa gerakan dan menjadikannya
Bapak Pembangunan. Sejak Oktober 1982 juga diedarkan lencana Bapak Pembangunan
yang diambil alih oleh sektor pemuda yang mempopulerkan lencana “Bapak
Pembangunan” yang berbentuk bulat, bergambarkan presiden Soeharto dengan latar
belakang merah putih.
Cikal
bakal sapu jagad adalah radikalisme paham sekularisasi dalam Islam versi
liberal kiri tahun 1970an oleh Nurcholish Madjid. Disayap lain Hasan Hanafi
pengagum Shariati menjalankan Islam kiri versi juga tidak kalah popular di
Indonesia. Ia memproklamirkan Islam Kiri dengan definisi jelas bahwa dalam Islam kiri
memperjuangkan permusuhan penindasan bagi orang-orang miskin, dan tertindas, ia juga
memperjuangkan persamaan hak dan
kewajiban masyarakat.
Kekerasan
fisikal menjadi penutup babak kekerasan Orde Baru dengan alasan, pertama jenis kekejaman fisikal hampir
berada diluar bayangan siapapun, kedua
efek psikologis yang bertahan sangat lama, ketiga
efek politis yang luas justru diolah dan dikembangkan karena kerahasiaan.
b.
Kerangka teori
Kajian dalam buku Daniel
Dhakidae ini menggunakan menggunakan pendekatan discourse analysis atau analisa
wacana. Tentu saja ini merupakan metode
yang berbeda dengan buku-buku pembahasan bertema cendekiawan lainnya, yang
lebih menekankan pada biografi serta pemikiran tokoh-tokohnya. Dengan
pendekatan ini
penulis dapat mengkaji bahwa politik Indonesia adalah hasil wacana yang
dibangun oleh modal, kekuasaan, dan kebudayaan dimana cendekiawan ikut terlibat di
dalamnya. Dengan menggunakan pendekatan Michael Foucault meskipun ada nama-nama
yang disebut sepanjang buku ini, tidak ada satu pun nama besar itu diperiksa
karya besarnya. Karena yang lebih penting di sini adalah kenapa pikiran itu
dipakai pada saat mana dan apa konsekuensi sosial, politik, ekonomi, dan
kebudayaannya. [1]
Untuk mengkaji berbagai fenomena pada
masa itu penulis menggunakan teori dari para ahli untuk menguatkan argumennya.
Salah satu contohnya ketika penulis mengkaji wacana politik yang muncul dari
peristiwa pemberontakan PKI tesebut. Penulis memunculkan teori Karl. D Jackson dan Dwight J. King. Masing-masing dari keduanya mempunyai konsep
utama yang kontra satu sama lain. Dalam penelitian
ini penulis menyamakan penggunaan konsep fasisme, lebih mirip membongkar loteng
dan membuka benda antik yang lama ditinggalkan dalam keadaan lusuh. Sehingga
untuk mengembangkan tinjauan ini dengan menggunakan dua pendekatan fasisme,
untuk menggambarkan pemerintahan masa itu.
Pertama adalah pendekatan idealis fasisme dilihat sebagai suatu perangkat ide. Teori ini dikemukakan oleh
Roger Griffith. Ia menyebutkan persyaratan minimum untuk menyebut sesuatu itu
fasisme. Kedua, adalah teori pendekatan Marxis, teori ini sedikit berbeda
dibanding teori sebelumnya. Fasisme adalah bilamana fasisme dilihat sebagai
suatu bentuk gerak massa khusus, sambil memiliki sepasang ide dan di sana
ideologi dan gerakan itu berintreraksi. Fasisme harus dilihat sebagai suatu
bentuk gerak sosial yang terjadi pada tingkat kapitalisme tertentu.
c.
Sumber
Dalam buku ini
penulis menggunakan sumber yang beraneka ragam. Sumber yang digunakan dapat
dikategorikan sebagai berikut: Arsip, Buku, Ensiklopedia, Kamus Umum, Kamus
Khusus, Pamflet, hingga kitab suci, dan buku-buku ibadah. Dari segi kuantitas
sumber yang digunakan sangatlah kaya, contohnya sumber buku, terdapat lebih
dari 100 buku yang digunakan sebagai sumber penelitian. Mayoritas buku tersebut
berbahasa asing, dan relevan dengan topik penelitian. Selain itu, untuk
memperkaya pembendaharaan kata dalam penelitian tersebut penulis menggunakan
kamus umum dan kamus khusus.
Contoh sumber-sumber
yang digunakan penulis:
a.
Buku berbahasa
Indonesia, seperti Sularto, St. (ed.). Dialog
dengan Sejarah, Soekarno Seratus Tahun, Penerbit Kompas, Jakarta, Juni
2001.,
b.
Buku berbahasa
asing pun juga digunakan, seperti Weber, Max. Economy and Society, Edited by Guenther Roth and Claus Wittich,
University of California Press, Berkeley, Los Angels, London, 1978 (1956).
c.
Harian umum,
seperti Indonesia Raya, Jakarta
d.
Majalah berita dan
surat kabar mingguan, seperti Detik,
Jakarta
e.
Jurnal, seperti Horison
f.
Ensiklopedi,
seperti Suwandono, Drs., Ensiklopedi Wayang Purwa, Balai Pustaka, Jakarta,
1991.
g.
Kamus umum,
seperti Kamus Dewan, Edisi Ketiga,
cetakan keempat, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1998.
h.
Kamus khusus,
seperti Browning, W.R.F., A Dictionary of
the Bible, Oxford University Press, New York, London, 1996.
i.
Penerbitan khusus
dan pamphlet, seperti Bach Markus-Passion,
2000 Erato Disque, Paris, France.
j.
Kitab suci dan
buku-buku ibadah, seperti Biblia Vulgata,
Biblia Sacra Vulgatae Editionis, San Paolo, 1995, Milano.
d.
Metode penelitian
1.
Heuristik
Dalam penulisan buku ini, penulis melakukan
pengumpulan data dengan menggunakan sumber rujukan beberapa buku berbahasa
Indonesia, juga menggunakan buku berbahasa asing. Di samping itu jurnal, surat
kabar, kamus, penerbitan khusus, ensiklopedia, kitab suci, dan buku ibadah juga
ia gunakan. Sumber-sumber dalam penelitian ini
kemudian diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: sumber yang berkaitan langsung
dengan kata kunci penelitian ini atau biasa disebut sumber primer contohnya
“Catatan Kronologis di sekitar Peristiwa Gerakan 30 September” yang diterbitkan
Seksi Penerangan KOTI dan sumber-sumber yang sifatnya sebagai pendukung atau
sekunder.
2.
Verifikasi
Setelah sumber sejarah
dalam berbagai kategorinya ini terkumpul, maka tahap selanjutnya dalam metode
penelitian ini adalah melakukan verifikasi/kritik terhadap sumber tersebut.
Tahapan kritik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mencermati dan
melakukan perbandingan data dari satu sumber dengan sumber lainnya. Hal ini
dilakukan untuk menguji kredibilitas sumber yang digunakan. Jika terjadi
perbedaan data sumber satu dengan yang lainnya, maka dicari sumber berikutnya
yang menguatkan salah satu dari kedua data tersebut. Kritik Intern dalam
penelitian ini juga dilakukan dengan membangun suatu alur kronologis sebuah
peristiwa yang dijelaskan dalam setiap sumber. Jika dalam kritik intern ini
ditemukan alur yang janggal maka perlu diuji, dan dikomparasikan dengan sumber
lain.
3.
Interpretasi
Interpretasi
sejarah sering juga disebut dengan analisis sejarah.
Interpretasi adalah cara untuk menetapkan makna yang berhubungan dengan
fakta-fakta sejarah yang diperoleh setelah ditetapkan kritik ekstern dan intern
dari data yang berhasil dikumpulkan. Meskipun
interpretasi sering disebut sebagai biang subjektivitas, namun hal
tersebut merupakan keniscayaan, karena tanpa penafsiran sejarawan, data tidak
bisa berbicara.[2]
Pada buku ini tidak menjelaskan apa itu cendikiawan, namun di dalam buku ini
mengkaji berbagai konsep yang digunakan dalam menguatkan penelitian. Salah
satunya adalah konsep minimum fasisme yang dikomparasikan dengan pemerintahan
Orde Baru saat itu.
4.
Historiografi
Penulisan adalah
kegiatan menyusun atau menyampaikan fakta-fakta sejarah menjadi karya sejarah. Dalam
penulisan sejarah, kronologi merupakan salah satu aspek terpenting dalam penulisan.
Karena hal tersebut, historiografi
menjadi tolak ukur mutu penulisan sejarah. Apakah penelitian itu berlangsung
sesuai dengan prosedur yang dipergunakan atau tidak, apakah sumber atau data
yang mendukung penarikan kesimpulan memiliki validitas dan reliabilitas yang
memadai atau tidak.[3]
D.
Kesimpulan
Karya
Daniel Dhakadie ini menyajikan pemaparan yang komprehensif atas
fenomena yang terjadi antara cendikiawan Indonesia dengan pemerintahan Orde
Baru. Buku ini melalui riset kritis menggunakan metode discourse analysis atau analisis
wacana. Melalui pendekatan tersebut penulis
tidak mengkaji cendikiawan layaknya buku-buku dengan tema yang sama yang
menekankan pada pembahasan biografi dan pemikiran cendikiawan, namun buku ini lebih
menekankan pada hubungan kaum cendikiawan dengan pemerintah, yang tidak bisa
lepas dari modal, kekuasaan dan kebudayaan. Kekuasaan dilihat sebagai kemampuan
mengubah sesuatu secara transformatif ketika kekuasaan mengubah medan
kecendekiaan dan cendikiawan mengubah kekuasaan itu sendiri.
Dari buku ini dipaparkan pengetahuan baru
mengenai penelitian menggunakan metode discourse
analysis atau analisis
wacana. Buku dijabarkan dalam beberapa bab, bab I memeriksa
komplikasi teoritis pembahasan masalah cendekiawan, bab II memeriksa wacana
politik dalam bentuk “politik etis” sebagai resultante pertarungan modal,
kekuasaan negara kolonial, dan pertarungan kebudayaan antara Inlander versus Nederlands, bab III
memeriksa perubahan besar dalam masyarakat Indonesia yang terjadi pada tahun
1965, bab IV memeriksa lembaga-lembaga cendekiawan Orde Baru yang memegang peran
penting di dalam Orde Baru, bab V mengarahkan perhatian kepada suatu lembaga
lain yaitu media Orde Baru dan alat utamanya adalah bahasa, bab VI memeriksa pergulatan dan pertarungan
agama dan kekuasaan.
A. Identitas Buku
Kedua
Judul : Inteligensia
Muslim dan Kuasa (Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad
ke-20)
Pengarang : Yudi Latif
Penerbit : Mizan
Tahun : 2005
Jumlah
halaman : 755
Terbitan/cetakan : Cetakan I
Studi
ini memiliki cakupan dan argumen historis yang kritis dalam upaya memahami
masyarakat Indonesia dan perkembangan politiknya terkini. Karya ini merupakan
kajian sosiologis yang fundamental dengan fokusnya pada inteligensia Muslim
Indonesia. Argumen dalam karya ini menyediakan wacana Islam kritis dalam ruang
publik yang memungkinkan Muslim untuk mendefinisikan diri mereka sendiri dan
memberikan arah kepada bangsa Indonesia. Kajian ini menawarkan persepsi baru
terhadap sejarah Indonesia, dengan memperhitungkan baik sentralitas ide maupun
peran figur-figur kunci di Indonesia yang telah menghidupkan diskursus
intelektual yang berlangsung. Diawali dengan potret konteks kolonial yang di
dalamnya intelektual Muslim mendapatkan pendidikan dan menciptakan ruang
aktualisasi bagi diri mereka sendiri di tengah masyarakat kolonial. Pembahasan
selanjutnya bergerak ke abad 20 dengan kemunculan inteligensia dan pelbagai
pergulatannya dalam mencari pengakuan dan otoritas politik. Pemaparan pada
karya ini memperlihatkan keterlibatan yang intens dari penulisnya, karena Yudi
Latif sendiri adalah seorang intelektual yang telibat di dalamnya.
B. Komparasi
Kedua Karya
Persamaan dari kedua buku yang
dibahas di atas adalah sama-sama membahas tentang peran cendekiawan Muslim
dalam dunia perpolitikan Indonesia. Sedangkan perbedaan pada kedua karya
tersebut adalah bahwa karya Daniel Dhakidae memaparkan peran kaum intelektual,
baik intelektual Muslim maupun dari kalangan lain yang pemiliki peran politik
pada masa Orde Baru beserta intrik-intrik serta teori yang berusaha melihat
ulang beberapa peristiwa bersejarah di Indonesia. Buku karya Yudi Latif lebih
menajamkan pemaparan kepada kaum intelektual khususnya Muslim dalam peranya
pada masa Orde Baru serta masa reformasi melalui partai politik dalam rangka
mencapai pengakuan dan otoritas politik. Yudi Latif memaparkan peran
intelektual Muslim secara rinci seolah para pembaca menyaksikan sendiri
peristiwa tersebut, karena ia adalah salah satu tokoh intelektual Muslim yang
ikut terjun didalamya secara langsung.
Daftar Pustaka
Abdurahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Dhakidae, Daniel.
Cendekiawan dan
Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta:
Ikrar
Mandiri. 2003.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Tiara Wacana. 2013.
[1]
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan
Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: Ikrar
Mandiri, 2003), hlm. 26
[2] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2013), hlm. 78
[3] Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007). hlm. 76
Ini di post tanggal berapa buat dijadikan referensi
ReplyDelete